Kembalinya Berlian Banjar dari Negeri Kincir Angin di Belanda dan Cerita Dibalik Nama Gang Intan di Kota Bogor


Sejarawan Caroline mempertanyakan mengapa berlian yang merupakan jarahan perang ini disimpan di museum Belanda. (dok BBC Indonesia)


Diambil dari berita yang dilansir  oleh CNN Indonesia di Jakarta, konon berlian sebesar tidak kurang dari 70 karat milik Kerajaan Banjarmasin pada masa pemerintahan Sultan Adam yang dahulu dijarah oleh Belanda, kini akan dikembalikan bersama sejumlah benda seni lainnya kepada pemerintah republik Indonesia. 

Berlian hasil "jarahan perang" hampir 160 tahun lalu itu, sempat diberikan kepada Raja Willem III pada tahun 1862 sebagai hadiah, yang pada saat diterima tidak sebagus dan berkilau seperti sekarang ini. Bahkan oleh salah seorang Menteri Belanda pada sekitar tahun 1900an, Berlian itu dikatakannya sebagai "benda jelek dan kotor", karena tak pernah berhasil dijual akibat biaya pengolahan yang sangat mahal.

Jika saja benar adanya berlian itu akan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, sudah dapat dipastikan benda bernilai tinggi ini bakal diserahkan secara simbolis kepada pemerintah pusat. Dan Presiden adalah orang pertama yang dipandang paling berkompeten, sebagai penerima pusaka beharga, peninggalan kerajaan Banjarmasin yang bercorak Islam dan sudah berdiri sejak 1526.

Dan bakal dipastkan pula, meski akan menuai banyak protes dari urang banjar atau bisa jadi ada tuntutan dari ahli waris Sultan Adam, sebagai yang dipandang merasa berhak dan pantas menjadi ahli warisnya. Berlian itu nantinya akan disimpan dalam museum nasional dan disandingkan bersama artefak peninggalan-peninggalan kerajaan Banjarmasin lainnya.

Benda-benda bersejarah peninggalan kerajaan Banjarmasin dan warisan dari kerajaan lainnya, sudah berpuluh-puluh tahun lamanya bertengger membisu menjadi koleksi museum nasional di Jakarta. Sejak meleburnya seluruh kerajaan dan bergabungnya kerajaan-kerajaan di nusantara, kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Intan yang konon kadar karatnya telah berkurang sejak digondol Belanda ini, karena mengalami proses pemolesan agar menjadi kinclong. Adalah satu diantara ratusan ribu benda pusaka yang diangkut dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada akhir abad ke-19, dan itu kini disimpan di Rijksmuseum dan Tropenmuseum yang berada di kota Amsterdam.

Berlian milik kesultanan Banjarmasin yang dalam bahasa lokal dinamakan dengan Intan ini, namanya terkait erat dengan keberadaan nama tempat di kota Bogor. Kota yang jaraknya berbeda kepulauan dengan muasal intan itu bermula di Kalimantan Selatan, dan berjarak ribuan mil melintasi benua, tempat intan itu disimpan sebagai barang jarahan.

Intan, nama itu kini telah resmi menjadi nama sebuah Gang diantara jalan Lolongok dan Lolongok Tengah, yang berada di wilayah kelurahan Empang, Kecamatan Kota Bogor Selatan.

Gang bisa jadi diambil dari serapan bahasa Belanda. Kata serapan serupa juga terjadi pada kata blusukan yang akhir-akhir ini menjadi politik "pencitraan" para penguasa. Konon kata blusukan ini diambil dari kata Zijn heil in de vlucht zoeken yang artinya adalah "lari cari selamat". Tapi pendengaran dan ucapan lidah pribumi, mengambil kata itu dari buntutnya saja, yaitu “vlucht zoeken” yang ber-metamorfosa fonetik menjadi "blusukan".

Kata ini memang pas dan cocok untuk menggambarkan gerakan orang yang menyelinap menyeruak di antara gang-gang sempit dan berkelok-kelok. Jadi itulah interpretasi makna yang dipraanggapkan penduduk manakala mendengar polisi Belanda mengucapkan “Zijn heil in de vlucht zoeken” ketimbang makna sebenarnya “Dia kabur cari selamat”. Dan lahirlah istilah “blusukan” kata lokal yang dipermak dari bahasa Belanda.

Dahulu maupun pada dewasa ini, Gang menjadi penghubung yang menjadi jalan antar rumah penduduk satu dengan yang lainnya, dalam satu kawasan menuju ke jalan utama, baik itu jalan-jalan kecil dalam kampung, ataupun yang langsung terhubung ke jalan raya. Terkadang, gang menjadi jalan setapak atau jalur di antara sebuah taman.

Untuk penamaan nama suatu gang tidak ada aturan baku berdasarkan instruksi dari pejabat setempat. Semua tergantung kontrak sosial kesepakatan warga tempatan yang mendiami gang tersebut. Juga tidak ada peraturan suatu gang harus ada sekian rumah dengan jumlah kepala keluarga sekian. Semua serba arbitrer, sewenang-wenang atau sesuka hati saja. Karenanya, tidak mengherankan ada nama Gang Sendiri, karena dulunya hanya ada satu rumah saja.

Di dalam Gang inilah banyak tersimpan cerita yang hanya dikisahkan turun-temurun menjadi sejarah lisan penghuni dilingkungan Gang itu berada. Salah satunya adalah cerita tentang Intan Manikam milik Kesultanan Banjarmasin, yang menjadi muasal penamaan Gang Intan di kampung Lolongok, Empang Bogor.

Adalah Njai Salamah, istri Sultan Muhammad Seman yang ikut di boyong ketempat pengasingan puterinya Ratu Zaleha di Bogor mengikuti suaminya Gusti Muhammad Arsyad, yang sudah terlebih dahulu diasingkan oleh Belanda ke Buitenzorg (Bogor) pada tanggal 1 Agustus 1904.

Sultan Muhammad Seman adalah Sultan Banjar dalam pemerintahan pada masa 1862—1905. Nama lahirnya Gusti Matseman. dilahirkan sekitar tahun 1897. Ia adalah putra dari Pangeran Antasari yang disebut Pagustian sebagai penerus Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan Belanda.

Ratu Zaleha mujahidah Banjar, cucu Pangeran Antasari - Pahlawan Nasional

Ratu Zaleha adalah puteri Sultan Muhammad Seman yang gigih berjuang mengusir Belanda dalam Perang Banjar melanjutkan perjuangan ayah dan kakenya Pangeran Antasari. 

Ia berjuang bersama wanita-wanita suku Dayak yang sudah memeluk Islam seperti Wulan Djihad dan Illen Masidah, hingga terpaksa karena terdesak, melakukan perlawanan gerilyanya ke pelosok hutan belantara Kalimantan.

Meski Intan milik kesultanan Banjarmasin yang digondol ke Belanda itu bukan pada masa kekuasaan suaminya Sultan Muhammad Seman, melainkan saat masih berkuasanya Sulthan Adam Al-Watsiq Billah pendahulunya, yang berkuasa pada 1786-1857. Dirampasnya Intan tersebut, sepertinya telah membawa kisah pilu yang menyisakan kekecewaan bagi anggota keluarga pagustian dan menjadi cerita pahit anak keturunan dan penerus Kesultanan Banjar.

Dirampasnya pusaka milik kesultanan leluhur suaminya itu, juga menjadi kisah kelam bagi Ratu Zaleha dan ibundanya Njai Salamah, meski keduanya berada di tempat pengungsian di kota Bogor, yang memang sengaja diasingkan oleh Belanda untuk memadamkan api perjuangan rakyat Banjar dan mengurangi pengaruh feodal bagi rakyatnya.

Dikisahkan, Njai Salamah yang wafat di Bogor. Semasa hidupnya kala dalam pengasingan, istri Sultan Muhammad Seman tersebut sempat menderita pikun karena usia lanjut. 

Sosok wanita tua yang oleh warga setempat akrab disapa Ni Putih ini, sering menyebut Intan yang di jarah itu. Ia sering kali mencari-cari intan yang dikiranya hilang hingga keluar dari halaman, diantara jalan setapak dalam taman di puri pengasingannya.

Kelak, dilokasi halaman belakang puri pengasingan anggota keluarga kesultanan Banjarmasin itulah, oleh masyarakat setempat dinamakan dengan intan. Seolah tempat itu menjadi legenda dan ada intan yang hilang ditempat itu, dianggap sebagai harta karun yang penuh dengan misteri.

Misteri yang menjadi legenda di kampung Empang itu kini terjawab sudah, intan itu bukanlah cerita pengantar tidur yang secara turun temurun menjadi kisah yang melegenda di kampung tempat pembuangan Njai Salamah dan anggota keluarga kesultanan lainnya di Kampung Empang. Tapi intan itu benar-benar nyata adanya, dan kini masih tersimpan oleh para penjarahnya di negeri kincir angin, yang konon akan segera kembali pulang ke tanah air.

Meski semua pihak merasa "akan bahagia", karena intan itu akan kembali pulang ketempat asalnya. Warisan pusaka itu telah membekas di kota Bogor dan mewarisi penamaan tempat yang kini dinamakan dengan Gang Intan di Empang.

Rumah bekas puri pengungsian Ratu Zaleha dan Suaminya, Gusti Muhammad Arsyad, areanya kelak dinamakan dengan nama Gang Banjar. Kedua nama itu, tetap lestari hingga sekarang.

Lokasi yang dahulu pernah menjadi pengungsian keluarga pagustian dari kekerabatan kesultanan Banjar itu, sejak kembalinya Ratu Zaleha dan Suaminya Gusti Muhammad Arsyad ke Banjarmasin pada tahun 1937, bekas puri pengasingannya yang berada di kampung Arab Empang, dibeli dan dihuni oleh keluarga saudagar Arab asal Banjar, yaitu Fardj bin Islam bin Thalib. 

Konon selama di Banjar itu pula, Ratu Zaleha dan suaminya, ditampung untuk sementara waktu secara cuma-cuma di Hotel Islam yang berada di kampung Arab, milik warga keturunan Arab dari keluarga Al-Thalib.

Semestinya ada yang lebih penting selain intan dan bahkan harus diprioritaskan untuk segera dikembalikan ke tanah air, yaitu tengkorak kepala Demang Lehman yang setelah di eksekusi mati oleh Belanda ikut pula dibawa dan dipersembahkan kepada Ratu Wihelmina sebagai simbol keberhasilan penguasa di Negeri jajahan yang berhasil menaklukan tokoh heroik yang dianggap sebagai ikon pemberontak.

Tengkorak kepala asyahid Demang Lehman", konon sampai dengan detik ini masih tersimpan, juga di salah satu Museum di kota Amsterdam, Belanda.

Demang Lehman
Sumber: Simak.co.id

Selain hal itu menyangkut marwah kusuma bangsa, juga hal ini terkait erat dengan kewajiban syariat ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, agar jasad seorang muslim, terlebih sebagai seorang mujahid, dapat disatukan kembali dengan anggota  jasadnya. Yang makamnya berada di tanah kelahirannya, bumi tempat almarhum berjuang bersama rakyat Banjarmasin.

Abdullah Abubakar Batarfie

Belum ada Komentar untuk " Kembalinya Berlian Banjar dari Negeri Kincir Angin di Belanda dan Cerita Dibalik Nama Gang Intan di Kota Bogor"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel