Bang Jeni dan Madrasah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet
Siapa sangka, nama salah seorang kolega Arung Palakka (sering pula ditulis Aru Palaka) putra Raja Bone ke-XIII La Maddaremmeng Matinro’e Ri Bukak dari Gowa, kelak namanya ter-abadikan menjadi sebuah kawasan di pusat kota Jakarta, sejak kota itu masih bernama Batavia. Lokasinya hanya berjarak ratusan meter saja dari Istana Merdeka sekarang.
Oleh warga setempat, dalam dialek Betawi yang kental, kawasan ini dinamakan Petojo. Bahkan ada bagian di kawasan itu yang namanya disandingkan dengan keberadaan pos jaga yang dibangun oleh pemerintah kumpeni Belanda pada tahun 1668, sejak VOC masih eksis sebagai sebuah perusahaan dagang disertai oleh perangkat kekuasaan militer dan politik yang dimilikinya.
Petojo sekarang wilayahnya berada di Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, yang kini dibagi dua menjadi Petojo Utara dan Petojo Selatan.
Petojo kemudian terbagi atas kampung-kampung kecil, antaranya ada Petojo Binatu, Petojo Enclek, Petojo Melintang, Petojo Sabangan dan yang paling dikenal luas adalah Petojo Jaga Monyet.
Menurut H.Ridwan Saidi, kata enclek merupakan serapan dari bahasa asing akibat salah ucap lidah orang Betawi. Menurutnya, kata itu diambil dari kata Enclave, yang berarti sub kawasan yang menempel.
Sedangkan kata Petojo itu sendiri berasal dari nama seorang pemimpin asal Bugis yaitu Arung Pituju. Dia bersama koleganya Arung Palakka, telah melarikan diri dari Gowa ke Batavia yang pada tahun 1663, telah mendapatkan hak pakai tanah di kawasan tersebut.
Ada yang menyebutkan bahwa, perubahan dari Petuju menjadi Petojo tampaknya lazim di Batavia pada waktu itu, seperti halnya kata pancuran kemudian diucapkan jadi pancoran
Nama jaga monyet sendiri konon mulai muncul ketika pemerintah kolonial Belanda membangun benteng pertahanan di daerah molenvliet yang sekarang dikenal dengan nama jalan Gajah Mada. Karena ada pos jaga di kawasan benteng itu yang lokasinya persis di gedung BTN sekarang, maka munculah penyebutan nama Jaga Monyet, karena banyaknya monyet-monyet liar yang sering kali hinggap di atas pos jaga tersebut.
Kampung Petojo Jaga Monyet yang berada di kawasan antara Petojo dan Harmoni, namanya hingga sekarang masih tetap disebut oleh sebahagian orang, terutama warga asli Jakarta, meski sudah ada pengganti nama barunya yaitu Jalan Sukardjo Wirjopranoto, diambil dari nama seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia yang namanya jarang dikenali publik, tak terkecuali pula oleh warga di sana.
Petojo makin terkenal setelah munculnya keberadaan Pabrik Es Petodjo yang pertama di Batavia, "Petodjo Ijs". Pabrik pembuatan es balok ini didirikan oleh seorang berkebangsaan Belanda lebih dari seratus tahun lalu. Bisa jadi usianya kini telah memasuki satu setengah abad.
Petojo Jaga Monyet, nama itu begitu melekat dengan Ormas Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang telah berdiri di Jakarta sejak 6 September 1914. Karena di sanalah untuk pertama kalinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki gedung sendiri bagi kegiatan pendidikannya, setelah sebelumnya hanya menempati sarana rumah sewa dan atau mendapatkan pinjaman secara cuma-cuma yang lokasinya berpindah-pindah, sejak dari pembukaan madrasahnya yang pertama di kawasan Jati Petamburan, Jakarta Pusat.
Menurut Almarhum Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri Indonesia, gedung sekolah Al-Irsyad di Jaga Monyet menjadi tempat untuk menyemai, yang kelak benih-benih itu tumbuh dan menyebar membawa perubahan di lingkungan sekitarnya, hingga ke saentaro pelosok tanah air dan ikut menjadikan Indonesia ke tahap yang lebih baik.
Diantara benih-benih yang disemai itu ada yang sudah kian terkenal, kelak dikemudian hari menjadi para pemimpin umat dan bangsa. Sebut saja antaranya adalah mereka yang kemudian tampil menjadi para pemuka di Persyarikatan Muhammadiyah seperti Kyai Haji Muhammad Yunus Anis, mantan Ketum Muhammadiyah (1959-1962), KH Farid Ma'ruf, Kyai yang politikus, H.M.Saleh Suaidy, ulama yang pejuang, dan sederet panjang nama-nama lainnya. Termasuk Tb.Sjoe'aib Sastradiwirja, ulama dan perupa yang hingga akhir hayatnya menetap di kawasan Petojo Melintang.
Tb.Sjoe'aib Sastradiwirja, selain ikut dalam pendirian dan pembangunan Masjid Agung Al-Azhar di Kabayoran. Sebagai seorang pelukis, ia bersama tokoh-tokoh seni rupa ternama tanah air lainnya seperti S.Sudjojono, Agus Djaya, Abdulsalam, Rameli, dan beberapa pelukis lainnya di masa awal revolusi kemerdekaan, turut membidani lahirnya Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI).
Siradj Dahlan, putera pendiri Muhammadiyah, Kyai Hadji Ahmad Dahlan adalah satu diantara anak-anak tokoh pergerakan nasional, yang pernah studi di perguruan Al-Irsyad dan memiliki kesan dan kenangan khusus dengan gedung sekolah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet.
Kenangan akan gedung sekolah Al-Irsyad di petojo, juga sangat membekas pada Bang Jeni. Nama aslinya adalah Mujeni, yang di masa tuanya disapa orang dengan panggilan Kong Mujeni.
Bang Jeni di masa jayanya para jawara di Betawi, merupakan satu diantara tokoh dari pesilatan Betawi asal Tanah Abang. Penerusnya adalah Derahman Jeni, anak laki-lakinya yang juga mengikuti jejaknya sebagai Jawara.
Menurut H.Ridwan Saidi, atau yang biasa dipanggil Babe Ridwan. Selain istilah Jawara yang sering disebut oleh orang pakulonan, di daerah Betawi tengah orang lebih sering menyebutnya dengan istilah Jagoan atau jago maen pukulan. Sedangkan tempat berlatihnya seni bela diri itu dinamainya dengan pengajaran maen pukulan. Kata Jago itu sendiri menurutnya berasal dari bahasa Portugis yaitu Jogos, yang artinya adalah permainan.
Dalam dunia pesilatan di Betawi, Bang jeni merupakan orang kedua setelah Sabeni. Sebelum adu jago bertarung, siapa saja yang akan menghadapi Sabeni, terlebih dahulu harus berhadap-hadapan dengan Jeni.
Sabeni dan Jeni selain satu perguruan, keduanya merupakan saudara sesusuan yang sama-sama dilahirkan dan dibesarkan di bilangan Kebon Pala, Tanah Abang pada era tahun 1800-an. Sabeni namanya mulai melejit ketika ia berhasil mengalahkan salah satu jagoan dari Kemayoran. Ia juga pernah mengalahkan Jago Kuntau dari Tiongkok yang didatangkan oleh pejabat Belanda bernama Tuan Danu.
Satu diantara banyak peristiwa Bang Jeni di Al-Irsyad, terutama dengan tokoh pendirinya Syaikh Ahmad Surkati sebagai seorang tokoh yang dihormatinya dan disapanya dengan Muallim Ahmad ini. Terdapat kisah menarik yang pernah dialami oleh Bang Jeni di gedung sekolah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet.
Disebutkan, salah seorang dari anak Bang Jeni ada yang disekolahkan di perguruan Al-Irsyad, sejak setelah beliau mengagumi sosok Muallim Ahmad yang sebelumnya dimusuhi, bahkan nyaris akan dibunuhnya karena termakan fitnah, bahwa ajaran yang dibawanya adalah menyimpang.
Suatu hari, di akhir tahun 1920-an, sepeda onthel anak Bang Jeni hilang dicuri orang yang di parkir dalam halaman sekolah. Tentu saja akibat raibnya sepeda milik anak seorang jagoan, membuat kalang kabut pihak sekolah. Karena itu suasana menjadi sempat kacau dan menegangkan.
Kekhawatiran itu mencair setelah para guru berinisiatif untuk mengganti sepeda anak Bang Jeni yang hilang, mereka mengumpulkan uang dan uangpun terkumpul sebanyak dua belas setengah gulden, cukup untuk membeli satu buah sepeda baru sebagai pengganti sepeda lama anak Bang Jeni yang hilang dicuri orang.
Sepeda itu kemudian dibawanya pulang kerumah, tentu saja membuat heran Bang Jeni karena sepeda yang dilihatnya menjadi baru. Hal itu lantas ditanyakan pada anaknya, dan Bang Jeni pun menjadi terharu setelah mendengar penuturan kisahnya.
Bang Jeni mengagumi atas tindakan para guru dan keikhlasannya untuk mengganti sepedah anaknya yang hilang. Akan tetapi Ia tetap jengkel dan marah atas kejadian tersebut, lantaran pelakunya harus ia cari. Hal ini dianggap telah menghina dirinya, karena ketenaran namanya yang diremehkan orang.
Bang Jeni mengumpulkan anak buahnya yang tersebar di Betawi dan memberikan ultimatum bahwa sepeda anaknya harus sudah kembali pada tempatnya di halaman sekolah paling lambat lima hari. Dan jika lewat pada waktu yang telah ditentukan, maka orang tersebut akan menanggung resiko yang akan dihadapinya. Benar saja, sebelum waktu yang telah ditentukan itu tiba, sepeda telah kembali pada tempatnya di halaman sekolah.
Dengan kembalinya sepeda yang dicuri orang, seketika itu juga Bang Jeni mengembalikan sepeda barunya ke sekolah, tapi oleh para guru ditolak karena sudah dihadiahkan dan dianggap menjadi milik anak Bang Jeni.
Gedung sekolah Al-Irsyad di Jaga Monyet yang menyimpan banyak kisah dan peristiwa, seperti cerita hilangnya sepeda anak Bang Jeni yang di embat orang, kini hanya tinggal kenangan.
Gedung yang berdiri diatas lahan seluas 4.150 M², yang lokasinya setelah kemerdekaan dinamakan jalan Tanah Abang I No.23 itu, kini sudah tidak lagi menjadi milik Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Gedung Sekolah Al-Irsyad di Jaga Monyet pernah lama ditutup dan di segel oleh pihak Pengadilan akibat kisruh yang melanda organisasi sebagai akibat perselisihan konflik internalnya. Tapi sempat dibuka kembali dan dilakukan perbaikan atas jasa dan usaha S.Hasan Argoebi, tokoh Al-Irsyad yang pernah menduduki jabatan sebagai kapten Arab terakhir di Batavia, menggantikan bapak mertuanya Sjaich Umar Yusuf Manggusy.
Saat agresi Belanda yang kedua, atau Operatie Kraai yang dalam bahasa Belanda berarti Operasi Gagak pada tahun 1948. Gedung sekolah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet kembali terpaksa ditutup karena diduduki paksa oleh tentara KNIL (het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) yang anggotanya berasal dari hasil rekrutmen pribumi asal Indonesia timur dan sering disebut dengan Amboinezen. Sejak itu, mereka tak pernah hengkang dari bekas gedung yang didudukinya.
Selepas pendudukan Belanda berakhir dan Indonesia berdaulat secara penuh, eks tentara KNIL beserta anggota keluarganya tetap tinggal dan bertahan mendiami gedung milik Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet tersebut tanpa membayar sewa.
Konon, pihak Al-Irsyad sendiri pernah berupaya untuk mengambil alih kembali kepemilikan gedung tersebut, tapi selalu kandas karena keterbatasan dana untuk biaya pengosongan dan membayar perkaranya. Padahal, gedung itu dibeli oleh Al-Irsyad dari hasil pengumpulan dana para dermawan yang nama-namanya disebut oleh Syaikh Ahmad Surkati dalam majalahnya yang terkenal, Azzachiratoel Islamiyyah.
Usaha untuk mengambil alih kembali asset yang menjadi milik Al-Irsyad pernah dilakukan oleh pengurus Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah periode 1985-1990, sebagai pemilik sah gedung Sekolah Al-Irsyad di Petojo, Jaga Monyet.
Sayangnya usaha itu tidak disemangati dengan mengupayakan kembalinya fungsi gedung sebagai kegiatan pendidikan dan mempertahankan kelestariannya. Tapi cara yang ditempuhnya adalah, mendatangkan investor untuk biaya pengosongan dan menjual asset bernilai historisy tersebut dengan kesepakatan pembagian hasil keuntungan dari penjualan, 60/40 antara kedua belah pihak.
Dalam perjalanan dan lika likunya yang ngjlimet, setelah keuntungan penjualan berbuah menjadi asset yang satu ke asset yang lain, berikut problematikanya berbuntut prahara dan kasus yang telah melibatkan banyak pihak. Asset yang bermula dari Petojo Jaga Monyet, asset baru pun kemudian di peroleh, di pinggiran kota Bogor dan menjadi atas nama Yayasan Dana Bantuan Perguruan-Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Di lokasi itu itu juga, dulu sempat dipergunakan sebagai tempat latihan Lasykar Jihad, pimpinan Almarhum Ja'far Umar Thalib. Lengkap dengan dulang dan alat memasak bagi kebutuhan logistik peserta latihan di lokasi itu.
Konon, luas asset yang berada di Bogor sejak pertama kali dimiliki itu, jumlah luasnya semakin berkurang karena ada penjualan oleh pihak Yayasan Dana Bantuan Perguruan-Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah kepada pihak pemkot Bogor, tentunya tanpa diketahui dengan pasti nilai dan pemanfaatan dari hasil uang penjualan asset tersebut. (wallahu'alam)
Abdullah Abubakar Batarfie
Belum ada Komentar untuk "Bang Jeni dan Madrasah Al-Irsyad di Petojo Jaga Monyet"
Posting Komentar