Marta dan Mendur bersama Gelora Rakyat dalam Jejak Kemerdekaan Republik Indonesia


Hari ini 75 tahun yang silam, persisnya di hari Jum'at pagi tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriyah, atau bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945. Dua orang yang tengah menjalankan ibadah puasa, setelah pagi diniharinya mereka melaksanakan ibadah sahur, yang hanya makan roti tawar dan telor ceplok. Keduanya di daulat oleh para pendiri bangsa untuk berdiri tegap di sebuah beranda rumah tua membacakan teks proklamasi kemerdekaan yang sudah ditulis dari secarik kertas pada naskah yang diketik oleh Sayuti Melik, sejak satu malam hingga pada dininahari konsep naskah tersebut akhirnya berhasil dirumuskan dalam  kesepakatan bersama.

Kelak dikemudian hari dua anak bangsa yang dinamai sebagai proklamator tersebut, oleh rakyatnya dikenal sebagai Dwitunggal Sukarno-Hatta yang selama lebih dari sepuluh tahun lamanya setia bersama memimpin roda pemerintahan sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.

Menurut sejumlah sumber sejarah termasuk diantaranya Budayawan Betawi H.Ridwan Saidi. Sedianya pembacaan teks naskah proklamasi itu akan dibacakannya di Lapangan IKADA yang sekarang kita kenal sebagai Taman Monumen Nasional (MONAS) di Gambir, tapi karena situasi dan kondisi Jakarta yang saat itu dianggap belum kondusif lokasinya-pun kemudian dialihkan ke kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No.56. Jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari naskah itu dirumuskan dan diketik di kediaman seorang opsir tentara Jepang yang bernama Laksamana Maeda.

Menurut H.Ridwan Saidi pula, sejak pagi buta para pedagang subuh yang berjalan kaki menuju pasar Senen dan Manggarai dicegat dan di mobilisasi oleh para pemuda Betawi bersama aktivis kemerdekaan lainnya, yang sengaja dikerahkan untuk berkumpul di halaman lias kediaman Bung Besar untuk menyaksikan hingga pada detik-detik kemerdekaan Indonesia itu di proklamirkan tepat pada pukul 10.00 Wib.

Mendur bersaudara mengabadikan momentum penting itu setelah bersusah payah, berdarah-darah mengamankan negatif filmnya dari kejaran tentara Nippon. Tanpa Mendur bersaudara, Indonesia tak akan pernah memiliki dokumentasi penting yang mengabadikan peristiwa bersejarah tersebut dalam 3 momen, pertama saat teks itu dibacakan, kedua saat pengibaran bendera itu akan dikibarkan dan ketiga kala kerumuman masa yang penuh khidmat menyaksikan bendera sang saka merah putih itu berkibar untuk pertama kalinya, beberapa detik setelah prokalamasi kemerdekaan tersebut dikumandangkan di rumah bersejarah itu.

Momentum bersejarah itu teramat penting bagi bangsa Indonesia, karena pada tanggal, bulan dan di tahun itulah puncak perjuangan rakyat Indonesia mencapai klimaks, sebuah pernyataan kemerdekaan bangsa yang sedianya naskah kemerdekaannya itu akan ditandatangani oleh semua tim perumus, tapi atas ide dan gagasan pengetiknya Sayuti Melik, maka cukuplah penanda tangan naskah tersebut hanya oleh Sukarno da Hatta atas nama bangsa Indonesia

Bagian dari narasi sejarah itulah penulis tak akan pernah henti sepanjang roda sejarah terus berputar untuk selalu menjadi pengingat agar peristiwa bersejarah tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh zaman. Tidak terkecuali pula lokasi yaitu rumah tempat dimana Bung Karno dan Bung Hatta diabadikan oleh Mendur bersaudara saat mengumandangkan pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No.56. Karena jejak rumah menjadi saksi bisu peran salah seorang saudagar Arab Indonesia Faradj Bin Said Bin Awadh Martak atau disebut namanya dengan Faradj Martak (1897-1962) bersama-bersama dengan gemuruh rakyat Indonesia dalam menggelorakan semangat puncak kemerdekaan bangsanya.

Tentang rumah bersejarah itu untuk pertama kalinya diungkap oleh penulis secara terbuka pada tahun 2014 dalam beberapa tulisan di media sosial dan media online. Tulisan itu diangkat bermula dari secarik kertas berupa copy surat resmi negara yang disimpan rapih oleh cucunya Khalid putera Ali, anak laki-laki tertua Faradj Martak. Bersyukur fakta sejarah itu kemudian ramai dikutip oleh banyak pihak yang sama-sama memiliki semangat dan tujuan, agar menjadi referensi sejarah agar tidak pernah dilupakan begitu saja oleh bangsa Indonesia.

Terlepas dari polemik para ahli sejarah tentang bentuk perjuangan Bangsa Indonesia, tak terkecuali pula peran penjajah Jepang yang tiada henti diperdebatkan karena dipandang ikut berperan dalam memerdekakan Indonesia. Patut disyukuri kemerdekaan itu sudah diraih dan hingga kini masih dapat dipertahankan setelah ada upaya perebutan kembali melalui agresi Belanda yang kedua pada tahun 1948. Dan kini bangsa Indonesia dengan segala problematikanya tetap merdeka. Entah merdeka dalam arti yang sesungguhnya atau hanya sebuah kemerdekaan yang hanya menjadi sebuah narasi sejarah belaka. Hanya saja makna kemerdekaan Indonesia itu sendiri tak pernah luput dari pengamatan dan keluh kesah rakyatnya yang konon belum merasakan hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya (wallahu'alam).

Ada tiga unsur yang dipandang penting dalam sebuah narasi sejarah dan ketiganya adalah pokok yang saling berkaitan satu dengan lainnya yaitu pelaku, waktu dan tempat. Tempat dimana diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia itulah kelak oleh Presiden Sukarno pada tanggal 1 Januri 1961 ditancapkan Tugu Petir yang kemudian disebut sebagai Tugu Proklamasi dengan sebuah prasasti yang memuat peristwa itu terjadi "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".

Pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan oleh Bung Karno di rumah beliau 
di Jalan Pegangsaan Timur 56

Tugu Petir dan prasasti di Pegangsaan Timur 56 itu menjadi penanda bahwa di lokasi bekas kediamannya itu pernah terjadi sebuah peristiwa penting yang harus terus dikenang oleh bangsa Indonesia.

Hampir semua bangsa di dunia ini memiliki tempat serupa sebagai titik tolak kedaulatan bangsanya untuk pertama kali ditegakkan. Dan ditempat itu pula setiap bangsa di dunia ini akan mengingatnya sebagai sebuah tempat yang paling bersejarah dan monumental. Biasanya disitulah rakyat mengekspresikan dirinya ketika nilai-nilai kemerdekaan sudah tidak mampu dimaknainya lagi, juga menjadi tempat merefleksikan untuk mensyukuri hakikat serta anugerah kemerdekaan yang diraihnya.

Rumah bersejarah di Jl.Pegangsaan Timur 56, Cikini Jakarta itu kini musnah dan tanpa jejak, konon dirobohkan sendiri atas permintaan Presiden Sukarno setelah beberapa tahun lamanya dihuni bersama keluarga tercintanya termasuk Ibu negara pertama Fatamawati yang bernama asli Siti Fatimah binti Hassan Dien menjahit bendera pusaka sang saka merah putih di rumah itu, dan dirumah itu pula bendera itu dikibarkan untuk pertama kalinya.

Konon, meski Presiden Ir. Sukarno pernah menyetujui dibangunnya kembali duplikat rumah itu atas usul Heng Ngantung pejabat Gubernur Jakarta dimasanya, tapi pada 17 Agustus 1980 Presiden Soeharto meresmikan monumen Sukarno-Hatta dibekas rumah tersebut yang tengah membacakan naskah proklamasi. Dan sejak itulah jalan Pegangsaan Timur  namanya-pun dirubah menjadi Jalan Proklamasi 56.

Jika Mendur bersaudara berjasa pada Negara karena atas usahanya dapat mengabadikan peristiwa penting 17 Agustus 1945, maka Faradj Marta sudah sepatutnya tidak boleh luput dari catatan sejarah Indonesia, karena atas jasanyalah rumah di Jalan Proklamasi 56 atau Monumen Tugu Proklamasi sejak masih dinamakan Jalan Pegangsaan Timur 56 itu resmi menjadi milik Negara.

Faradj Martak adalah pengusaha Indonesia, President Direktur N.V. Alegemeene Import-Export en Handel Marba. Penerusnya adalah Ali Faradj Martak anak kandungnya yang dikenal dekat dengan Bung Karno. Ali juga dikenal akrab dan bahkan disebut-sebut sebagai tokoh muda yang secara khusus direkrut oleh KH.A.Wachid Hasyim sebagai kader NU pada masa kepemimpinannya. Ali muda yang perjumpaannya secara tidak sengaja dengan ayahanda Gus Dur di dalam gerbong kereta api tersebut, sempat menduduki jabatan sebagai Ketua Majelis Ekonomi PBNU dan juga kepala divisi keuangan GP Ansor.

Beberapa aset miliknya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa, salah satunya adalah Hotel Garuda di Jogjakarta. Gedung Marba heritage di Kota Lama Semarang adalah salah satu jejaknya. Gedung Marba di Jakarta kini masih berdiri dengan kokoh di kawasan kota tua yang sekarang disebut sebagai Gedoeng Djasindo. Marba itu sendiri singkatan dari Martak Badjened, perusahaan yang dirintisnya bersama keluarga fam Badjened dan sama-sama berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Sejarah mencatat Badjened merupakan bagian dari tokoh penting berdirinya Sjarekat Dagang Islamijjah di Buitenzorg (Bogor) yang dirintisnya bersama tokoh Pers Indonesia Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.

Rumah di Jl. Pegangsaan Timur 56, Cikini Jakarta yang kemudian menjadi rumah bersejarah Bangsa Indonesia, rumah yang pernah dihuni oleh Presiden pertama republik ini, rumah yang kemudian dijadikan tempat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ada dan resmi telah menjadi milik Bangsa Indonesia berkat usaha dan jasa besar Faradj Martak.

Bung Karno di rumah beliau di Jl.Pegangsaan Timur 56 berpose di depan lukisan "Memanah" Karya Heng Ngantung"

Karena atas jasanya itulah kemudian Pemerintah Indonesia memberinya surat ucapan terima kasih. Ucapan itu disampaikannya secara tertulis atas nama Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1950 yang ditandatangani oleh Ir.H.M.Sitompul selaku Menteri Pekerdjaan Umum dan Perhubungan Republik Indonesia. Di surat itu disebut pula ada rumah-rumah bersejarah lainnya yang diberikan oleh Martak. Penulis berasumsi rumah bekas Laksamana Maeda yang sekarang menjadi museum proklamasi adalah salah satunya, karena dikawasan yang sama banyak properti yang dimiliki oleh beliau.

Jika Mendur telah mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang layak dari Pemerintah atas jasanya dengan menerima Penghargaan Anumerta Bintang Jasa Utama dan Anumerta Bintang Mahaputera Nararya. Maka untuk sebuah sejarah yang berkeadilan patut pula kiranya agar Faradj Martak bertaburkan bintang yang sama dari Pemerintah sebagaimana halnya kepada Mendur bersaudara. Dirgahayu Indonesia MERDEKA.

Bogor 17 Agustus 2020, Abdullah Abubakar Batarfie

Belum ada Komentar untuk "Marta dan Mendur bersama Gelora Rakyat dalam Jejak Kemerdekaan Republik Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel