Teungku Agung Sjarifah Fadhlun, Ratu Permaisuri Sultan Sjarif Kasim II, Tokoh Wanita "Pendobrak Adat Berkurung di Bumi Siak"

Sultan Sjarif Kasim II bersama istrinya 
Baginda Ratu Sulthanah Sjarifah Latifah

Bila di tanah Pasundan, Jawa Barat terdapat seorang tokoh wanita muslimah bernama Raden Dewi Sartika yang telah berhasil membuka “Sakola Kautamaan Istri” pada 16 Januari 1904. Sekolah yang didirikan khusus untuk kaum perempuan. Di Bekas Kesultanan Siak Sri Inderapura, pernah pula berdiri Lembaga serupa dengan nama Sulthanah Latifah School pada tahun 1927.

Ketika bermula berdiri, "Sakolaan Kautamaan Istri" pendiriannya mendapatkan dukungan dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata suaminya, yang saat itu menampung 20 orang anak murid dengan menggunakan dua ruang pinjaman dalam kantor Kepatihan Bandung. Mereka diajarkan berbagai kemahiran anak perempuan seperti menjahit, merenda dan menyulam. Juga diberikan pelajaran berhitung, membaca, menulis dan pengetahuan Agama Islam.

Raden Dewi Sartika yang lahir di kota Bandung pada 4 Desember 1884, adalah anak pasangan Raden Somanagara, Patih Bandung dan Njai Rd.Raja Permas. Perintis pada Bidang Pendidikan di bumi periangan tersebut meninggal dunia di Tasikamalaya pada 11 September 1947. Karena jasanya itulah, oleh pemerintah Indonesia dengan Surat Keputusan yang ditanda tangani Presiden Republik Indonesia Ir. Sukarno, No.252 tertanggal 1 Desember 1966, mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional. Dan untuk menghormati jasanya, namamya kelak diabadikan oleh pemerintah sebagai nama jalan di Jakarta dan di pelbagai daerah lain di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.

Raden Dewi Sartika bersama suaminya 

Di bumi Melayu, di bekas pusat Kesultanan Siak Sri Inderapura di Riau, seorang tokoh wanita muslimah bernama Tengku Agung Sjarifah Latifah, istri Permaisuri Sultan Sjarif Kasim II. berkat ikhtiar dan semangatnya, Allahyarhamha dengan dukungan suaminya Sultan Sjarif Kasim II, berhasil pula mendirikan Madrasah An-Nisa pada tahun 1927. Letak Madrasahnya berada di dalam lingkungan Istana Raja.


Dalam berbagai sumber disebutkan, saat bermula Madrasah itu dibuka ada 2 ruang kelas yang disediakan dan banyaknya 50 orang murid perempuan, satu tahun kemudian bertambah menjadi lebih dari 100 murid. Mereka berasal dari kalangan anak-anak Istana, mulai dari para dayang hingga anak para pembesar kerajaan. Tidak terkecuali pula anak gadis dari kampung, terutama anak-anak yatim yang dipermulakan untuk belajar. Para anak yatim itu disediakannya internaat (asrama) dalam Istana Limas. 

Mereka diajarkan berbagai kemahiran khusus wanita yang memang sengaja dipersiapkan agar para gadis itu kelak menjadi ibu rumah tangga yang cerdik pandai. Seperti menjahit, menyulam, memasak, bertenun dan kemahiran rumah tangga lainnya. Tidak hanya itu, mereka pun dibekali ilmu Agama, khususnya fiqih wanita muslimah dan ilmu pengetahuan umum yang luas seperti berhitung, membaca, menulis, belajar cakap Belanda dan ilmu tentang kesehatan.  

Guru-guru tersebut sebahagian banyaknya didatangkan dari luar Siak dan mereka semua diberinya fasility rumah tinggal dalam Istana Kerajaan. Disebutkan guru cakap Belanda sekaligus kepala sekolah bernama Halimah Batang Taris berasal dari Pematang Siantar, guru pelajaran memasak bernama Zaidar, datang dari Payakumbuh. Sedangkan guru menjahit bernama Encik Saejah, berasal dari Siak Sri Inderapura.

Tengku Agung Sjarifah Latifah adalah puteri dari keluarga bangsawan Langkat yang lahir pada tahun 1896. Ayahanda-nya bernama Teungku Fadyl dan oleh karena itu namanya sering pula disebut sebagai Teungku Agung Sjarifah Fadhlun. Ia menikah dengan Sultan Sjarif Kasim II pada 27 Oktober 1912 dan sejak pernikahannya Ia-pun berta'bal sebagai Sulthanah atau Ratu Permaisuri dengan gelar Teungku Agung Kesultanan Siak Sri Inderapura. Teungku Agung Berpulang ke-Rahmatullah bersama anak yang dikandung akibat asbab karena menderita sakit pada tanggal 2 November 1929. Dari Allahyarhamha, qadarullah Sultan Sjarif Kasim II tiada beroleh keturunan anak yang hidup.

Sepeninggal mangkatnya Teungku Agung Sjarifah Latifah, Madrasah An-Nissa berada dalam pengawasan Permaisuri Kedua Teungku Maharatu adik Teungku Sjarifah Latifah yang dinikahi Sultan Sjarif Kasim II. Dan untuk mengenang pelopornya, dinamainya nama tambahan Madrasah menjadi An-Nissa "Sulthanah Latifah School". 

Teungku Agung Sjarifah Latifah atau Teungku Agung Sjarifah Latifah Fadhlun memang tidak beroleh gelar Pahlawan Nasional seperti halnya Raden Dewi Sartika, tapi beliau berhak ada sematan dari Masyarakat Siak sebagai tokoh wanita "Pendobrak Adat Berkurung di Bumi Siak" Namanya kini diabadikan menjadi nama jembatan di kota itu dan nama sebuah taman di Siak yang ditumbuhi pohon berbunga yang mewangi dan elok, seharum dan se-elok nama Sjarifah Latifah Fadhlun.

Berdiri dan berkembangnya Sulthanah Latifah School, tidak terlepas dari peran utama serta sokongan suaminya Sultan Sjarif Kasim II yang berfikiran maju dan modern di zamannya. Di masanya, pada 1917 Sultan Sjarif Kasim II mendirikan Madrasah Taufiqiyah Al-Hasyimiyyah. Sekolah itu menerima murid dari berbagai kalangan, tak hanya orang berpunya. Nama Al-Hasyimiyyah merujuk kepada muasal zuriyat Sultan yang bertali nasab kepada Bani Hasyim, datuk leluhur Sultan yang datang ke Bumi Melayu dari Hadramaut di Yaman Selatan.


Kepedulian Sultan Syarif Kasim II teramat peduli dan cinta kepada ra'yatnya. Untuk mendukung kemajuan pendidikan dan mendorong hasrat berkemauan belajar. Berbagai fasility disediakan untuk kemudahan masyarakat mengambil faedah pendidikan yang telah disiapkan oleh kerajaan. Antaranya Sultan menyediakan empat sampan khusus untuk transportasi penyebrangan yang oleh warganya dinamakan Sampan landschap. 

Sampan landschap adalah sampan dayung tanpa mesin milik kerajaan yang disediakan secara gratis untuk masyarakat, tidak terkecuali murid-murid sekolah - terutama bagi mereka yang tinggal di seberang Sungai Siak.

Sultan Sjarif Kasim II juga menyediakan internaat bagi murid sekolah yang bertempat tinggal jauh dari Siak dan asuhan murid-murid Sultan dari golongan al-aitam. Sultana dan Sulthanah bukan saja telah menjadi raja bagi ra'yahnya, mereka adalah aba' wa ummul yatama bagi anak-anak yatim di kerajaannya. Berdirinya sekolah Muhammadiyah di Bengkalis (1921) dan Bagan Siapi-api (1922), semua itu berkat restu dari Sultan Sjarif Kasim II.

sepuluh anak-anak yatim alumnus 
Madrasah Sulthanah Latifah School
 Menjadi anak angkat asuhan Sultan Sjarif Kasim II 
kesepuluh anak angkat itu diberinya gelar Teungku

Membaca artikel tarikh Sultan Sjarif Kasim II dari Kesultanan Siak di Riau yang termuat banyak dalam berbagai literatur, terutama tulisan-tulisan serupa di media online tirto.id. Rasanya seperti menikmati hidangan nan lezat dalam sajian di atas gatifah beralaskan seprah putih tersusun rapih yang oleh ilmu penyajian di masa indies disebutnya dengan istilah rijsttafel. Konon rijsttafel terinsipirasi oleh cara penyajian budaya hidangan makan di tanah minang. 

Dari berbagai sumber lain kita akan pula membaca serta me-kaji tarikh bersilang dan bersimpang pendapat dari argumentasi yang berbeda. Seperti para pengatur dan penyaji, tentu ada pula pengolah hidangannya. Demikian pula perdebatan tarikh yang oleh sebahagian ahli yang menilai ada distorsi sejarah tentang tarikh Sultan Sjarif Kasim II. Salah satuanya adalah alasan sebab musabab penyerahan pusaka Mahkota Raja diraja berbahan mas murni yang bertaburkan intan manikam milik kesultanan Siak tanda Duli Sultan Yang Berdaulat Bertakhta yang diberikan kepada pemerintah Repoeblik Indonesia. 

Distorsi atau sejarah yang berbelok arah bermula karena ada pendapat, bahwa mahkota itu bukan untuk diserahkan, akan tetapi dititipkan akibat Sultan diungsikan ke negeri Aceh agar terhindar dari ancaman agresor penjajah Belanda yang tiba kembali untuk kedua kalinya selepas penjajah Jepun bertekuk latut akibat Negeri Nagasaki dan Hirosima di Bom Atom dan Nippon menyerah kalah pada lasykar sekutu di Jawa. 

Lepas dari perdebatan dan bukan untuk menjadi ahli mantiq bela membela setiap argumentasi mana yang benar dan dimana kelirunya agar tarikh yang bengkok dapat kembali lurus. Hidangan rijsttafel pun tak elok jadi perseteruan cakap mana dilihat mata, gulai kambing ataukah sayur lodeh. Karena gulai dan lodeh tak bisa ditebak mata, akan tetapi tercipta oleh rasa karena mendarat di lidah insan. 

Bukan untuk memperbandingkan Sultan di Surakarta dan Sultan di Siak, seperti ingin bandingkan buah labu dibuat sayur lodeh dan daging kambing dimasak gulai. Tapi Saya akan tengok sejenak tarikh bagaimana kedua Sultan itu berkhidmat pada kemerdekaan Repoeblik Indonesia sebelum dan sesudah proklamasinya pada tanggal 17 Agustus 1945. 

Pada gapura buatan tertulis almanak Jepun tahun 2605 atau bersetuju dengan tahun 1945, persis ditahun itu Indonesia merdeka. Telah berlangsung prosesi penobatan KGPH Purbaya menjadi raja Kasunanan Surakarta bergelar Pakubuwana XII di bangsal agung keraton. Serentak seluruh rakyat hadir menjadi saksi penobatan itu dengan amat meriahnya. Raja Kasunanan yang banyak berkerabat darah dengan bangsa Europa oleh akibat anak Sultan serta kerabat kesultanan Jawa di Surakarta (Solo) bercampur kawin dengan bangsa Belanda itu, disaksikan oleh rakyatnya menaik kereta kencana pusaka Keraton.

Selepas penobatannya itulah pada tanggal 1 September 1945, Sunan Pakubuwana XII berkirim surat ucapan tahni'ah kemerdekaan Repoeblik Indonesia diserta'i maklumat bahwa Kasunanan Surakarta mendukung dan berdiri di belakang pemerintah Negara Kesatuan Repoeblik Indonesia. Lima hari sesudah itu, pada 6 September 1945 Presiden Sukarno memberinya Piagam Penetapan kedudukan Sunan Pakubuwana XII sebagai Kepala Daerah Istimewa Surakarta yang disusul kemudian pada 10 November 1958 dianugerahinya Tanda Jasa sebagai Pahlawan Nasional.

Sunan Pakubuwana XII wafat pada 11 Juni 2004 dan selanjutnya tahta Kasunanan Surakarta diwarisi oleh putra tertua beliau KGPH Hangabehi bergelar Sunan Pakubuwana XIII.

Lain hal dengan Sultan Sjarif Kasim II yang sudah bertakhta di Istana Kesultanan Siak sejak 3 Maret 1915. Beliau baru berkirim maklumat kepada Sukarno dengan menyatakan diri bahwa Kesultanan Siak Sri Inderapura berdiri teguh di belakang Republik Indonesia pada 28 November 1945, diserta'i memberinya hibah kepada Pemerintah Indonesia wang sebesar 13 juta gulden. Bila ditakar pada kurs hari ini akan setara dengan 69 juta euro. Tidak hanya wang, hampir semua peninggalan harta benda Sultan Sjarif Kasim II lainnya, diserahkan kepada pemerintah Repoeblik yang baru terbentuk termasuk istananya. Hal itu menjadi penegas bahwa Kesultanan yang diraja'inya meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa reserve.

Eks Istana Kesultanan Siak Sri Indrapura
Yang diserahkan kepada Pemerintah Indonesia

Sebulan sebelumnya, Oktober 1945, Sultan Syarif Kasim II membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Barisan Pemuda Repoeblik di Siak Sri Inderapura. Pembentukan badan-badan perjuangan itu diserta'i dengan rapat umum yang digelar di lapangan Istana dengan mengibarkan Bendera Merah Putih.  Dalam rapat besar itu, Syarif Kasim II bersama segenap rakyat Siak Sri Inderapura dan tokoh-tokoh Riau mengucapkan ikrar setia untuk mempertahankan kemerdekaan RI sampai titik darah penghabisan.

Akibat keputusan Sultan Sjarif Kasim II yang berpihak kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia itulah, membuat amarah murka pemerintah Belanda kepada Baginda Sultan kala agresinya yang kedua tahun 1948. Belanda yang sempat kembali pun memberinya ancaman dan mencari Sultan hingga ke kepelosok negeri. Akibat ancaman itu terpaksa Baginda Sultan pergi ber-uzlah ke Negeri Aceh sementara waktu, dan sjahdan di negeri Aceh Sultan Sjarif Kasim II justru berkirim kawat kepada Sultan-Sultan yang berdaulat lainnya di Sumatra agar ikut bermufakat bergabung dengan Repoeblik Indonesia. 

Di Serambi Makkah, Syarif Kasim II ikut pula bergabung dengan kaum pejuang dan dipercaya'i sebagai penasihat pemerintah Karesidenan Aceh. Setelah masa pengakuan Kedaulatan Belanda dihadapan Majelis permufakatan bangsa-bangsa dunia, dan situasi ibu kota Indonesia Jakarta dirasa damai. Untuk sementara waktu Sultan Sjarif Kasim II sempat menetap di Jakarta sebagai warga biasa, dan tiada beroleh tawaran jabatan ataupun fasility apapun dalam pemerintahan Repoeblik yang baru lahir itu. 

Selepas Sultan Sjarif Kasim II kembali ke Riau guna mengurusi harta peninggalan pusaka leluhurnya yang masih tersisa di Riau dan di Singapore, di Riau Sultan tidak kembali menetap dalam Istana megah dan agung yang sudah diserahkannya kepada pemerintah Repoeblik Indonesia beserta semua isi perabotannya. Tapi Sultan pergi menetap dibekas kediaman Allahyarhamha istrinya, Teungku Agung Latifah.

Baginda Sultan Sjarif Kasim II
Tampan dan Gagah Perkasa

Sultan Syarif Kasim II bolak-balik ke Singapura selama beberapa tahun dan sempat tinggal di negeri bekas jajahan Inggris itu. Namun konfrontasi Indonesia dengan Malaysia yang terjadi pada awal 1960-an membuat Syarif Kasim II gagal membawa pulang harta warisannya. Lantaran tidak ingin terseret dalam konflik, Syarif Kasim II pulang ke Siak. Ia menghabiskan masa tua di kampung halamannya sebagai ra'yah biasa hingga wafat dan dimakamkan tanpa prosesi yang agung pada 23 April 1968. Insya Allah ta'ala, pengorbanannya yang besar kelak menjadi bekal di alam barzah sebagai Khairu Ummah, hamba yang terpilih penghuni surganya Allah di Janna'tul Ma'wa.

Pengorbanan Sultan Syarif Kasim II untuk Republik amat besar. Namun pemerintah RI baru memberinya gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 1998. 53 Tahun setelah Baginda Sultan menyatakan berdiri teguh pada Repoeblik, atau 30 tahun setelah Baginda Sultan Sjarif Kasim II wafat, mangkat ke-Hariban Allah SWT. Nama Sultan Syarif Kasim II kemudian diabadikan sebagai nama bandar udara internasional di Pekanbaru, Riau.

Bukan bermaksud memperbandingkan Sultan di Siak dan Sultan Kasunanan di Surakarta (Solo), Seperti perumpamaan di atas yang bandingnan sayur lodeh berkuah labu siam dan sayur gulai berkuah daging. Juga perumpamaan madah untuk membedakan mana logam mulia mas 24 carat dan mana logam tembaga.

Berbedza dengan perlakuan pada Sultan di tanah Jawa. Sultan Hamengkubuwono di Yogyakarta dan Sultan Kasunanan di Surakarta, kedua penguasa feodal di Jawa itu dianugerahinya gelar Pahlawan Nasional ketika keduanya masih mendapatkan hak istimewanya sebagai Sultan, ketika keduanya masih duduk dalam singgasana Keraton.

Hanya terbilang 13 tahun sejak Indonesia Merdeka, saat masih dipimpin oleh Presidennya yang pertama Sukarno, Sultan Sunan Kasunanan Surakarta Pakubuwana Ke-XII di Bangsal Agungnya dalam Keraton menerima penganugerahan gelar sebagai Pahlawan Nasional dengan iringan upacaranya yang agung, demikian pula saat jenazahnya mangkat diiringi ke pemakaman raja-raja di Imogiri menggunakan kereta jenazah milik keraton yang agung disaksikan oleh pembesar Republik, tiada kurang Presiden Indonesia datang berziarah dan memberinya penghormatan terakhirnya.

Sultan Kasunanan Surakarta Pakubuwana XII

Bogor, 6 Juli 2020, Abdullah Abubakar Batarfie. Sumber tulisan ini dikutip dari media online kompasiana 12 Desember 2012, Tirto.id 20 April 2018, wikipedia, dan sumber lainnya dari media online. 

Belum ada Komentar untuk "Teungku Agung Sjarifah Fadhlun, Ratu Permaisuri Sultan Sjarif Kasim II, Tokoh Wanita "Pendobrak Adat Berkurung di Bumi Siak""

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel