"Bersama Sang Maestro: Warisan Indah Ami Hadi dalam Musik Gambus Melayu"



Dunia hiburan musik berirama Melayu di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari akar sejarah musik melayu itu tercipta, sejak muasal musik ini tumbuh dan berkembang di Nusantara. Penyebaran Agama Islam yang diusung oleh ulama dan saudagar dari Semenanjung Arab, khususnya di Yaman Selatan, turut memberi warna pada evolusi seni musik, termasuk di dalamnya adalah Musik Zafin Melayu.

Zafin Melayu, dengan penggunaan alat petik oud yang dalam budaya Melayu dikenal sebagai gambus, telah menjadi bagian integral dari warisan musik dan tarian Melayu. Bahkan, di berbagai kesultanan Melayu, Zafin Melayu menjadi musik yang mengiringi upacara adat kebesaran bagi raja-raja Melayu dan tradisi adat dan budaya masyarakatnya.

Selain Husein Bawafie, Munif Bahasuan, Said Effendi, dan seniman lainnya yang tetap mempertahankan kekhasan Musik Melayu dari Semenanjung, salah satu tokoh yang turut berperan dalam memelihara identitas musik yang sama sambil mempertahankan ciri Zafin Melayunya adalah Almarhum Abdul Hadi Mahdami. Ia akrab disapa oleh para penggemarnya, terutama di Jakarta pada era 1990-an, dengan sebutan Ami Hadi. Ami adalah sebutan umum bagi orang yang dihormati dalam kalangan keturunan Arab, yang sesungguhnya berarti paman.

Bahkan Geisz Chalifah, seorang tokoh yang memiliki peran besar dalam memulai kembali kebangkitan musik Melayu di Tanah Air serta menjadi penggagas penyelenggaraan Jakarta Melayu Festival, memberikan predikat istimewa kepada Ami Hadi sebagai Maestro Gambus Melayu Indonesia. Penghargaan ini tidak hanya mengakui kontribusi luar biasa Ami Hadi dalam mempertahankan warisan musik Melayu, tetapi juga menggaris bawahi keunggulan dan dedikasinya dalam seni dan budaya Indonesia.

Dengan seni seorang maestro Gambus Melayu yang telah merajut kesuksesan musiknya hingga akhir hayatnya di Jakarta pada 12 April 2004, Ami Hadi memulai perjalanan kehidupannya di Bogor pada 17 Juni 1917. Ayahnya, Sjaich Abdullah bin Salim Mahdami, adalah seorang wulaiti yang teguh, yang berasal dari tanah Hadramaut, sudah menetap di Kampung Arab Empang, Buitenzorg (Bogor) pada akhir abad ke-18. Ibunya, sumber kelembutan dan keindahan, merupakan seorang wanita pribumi Sunda yang berasal dari Kampung Kaum di Empang, sebuah blok pemukiman kaum agamawan di Bogor yang sudah ada sejak pertengahan abad ke-17. Dalam keanggunan akulturasi latar belakang dua budaya kedua orang tuanya, Ami Hadi menemukan landasan dan inspirasi untuk melahirkan melodi-melodi yang mengalir membelai jiwa, mengikat kita semua para pecinta seni dalam harmoni yang abadi.

Sebelum kedatangan ayahnya dari Hadramaut, kakeknya Sjaich Salim Mahdami sudah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia dan menetap di Empang. Kakeknya menikahi wanita sunda dari kalangan ningrat yang berasal dari Ciampea Bogor. Ami Hadi juga memiliki beberapa saudara satu ayah, salah seorangnya bernama Machfudz Mahdami yang anak lelakinya bernama Umar.

Umar tidak hanya melangkah dalam aliran gemerlap seni panggung, tetapi juga menorehkan jejaknya dalam dunia teater sebagai seorang penulis skenario dan aktor. Dikenal dengan nama panggung Umar Mahdam, dia menghiasi pentas dengan kehadiran dan bakatnya yang gemilang. Salah satu momen bersejarah dalam karirnya adalah kesuksesan pementasan "Umar ibn Khattab" di Istora Senayan Jakarta. Dalam produksi ini, Umar bersanding dengan para artis terkemuka pada masa itu, seperti Wolly Sutinah dan Aminah Cendrakasih, menciptakan momentum yang tak terlupakan dalam dunia seni pertunjukan.

Istri dan keluarga Sjaich Salim Mahdami
Di Lolongok Empang Bogor


Anak-anak kampung zaman dulu, terutama mereka di Betawi, sering kali dikenal dengan panggilan yang unik, lucu, bahkan terkadang terkesan sedikit nakal. Panggilan itu tidak jarang melekat begitu kuat hingga melampaui popularitas nama asli mereka, bahkan ada yang sampai lupa dengan nama asli teman-temannya. Biasanya, panggilan tersebut ditentukan oleh ciri fisik atau sifat khas yang melekat pada diri seseorang, yang kemudian terus terbawa hingga masa dewasanya. 

Di tanah kelahirannya, Ami Hadi, yang bernama asli Abdul Hadi Mahdami, juga memiliki nama lain yang melekat hingga akhir hayatnya, nama itu menyertai perjalanan hidupnya sejak masa kanak-kanak hingga ia menginjak dewasa dengan sebutan "Adun Hulu". Adun nama kecilnya, sementara Hulu, sebuah kata dalam bahasa Sunda kasar yang bermakna kepala. Karena Ia memiliki kepala yang besar, lantas oleh teman sebayanya dijulukinya dengan panggilan Adun Hulu. 

Ami Hadi mulai terjun dalam dunia hiburan musik gambus sejak tahun 1930-an di tempat kelahiranya di Bogor dengan bergabung pada komunitas para pemain gambus Samar Deple yang tampil kala ada pesta pernikahan. Penyebutan Samar Deple, bisa jadi kosa kata ini hanya populer dalam kalangan warga peranakan Arab di Bogor yang menggabungkan kata serapan bahasa Arab dengan Sunda, samar (arab) dan deple (sunda). 

Saati ini, di kalangan pemain gambus, ada yang dikenal dengan istilah "jalasah", yang artinya berkumpul. Semua pemain, penari, dan penonton duduk bersila di atas permadani dalam sebuah lingkaran yang harmonis. Peranakan Arab dahulu, ada yang menyebut permadani dengan sebutan "gatifeh".

Di antara tokoh utama dalam dunia musik gambus samar deple di Bogor adalah Ami Oemar Baradja, Ami Hafidz Audoh, dan Oesman Toha, seorang penduduk asli dari kampung Kaum. Mereka menghadirkan lirik dan irama yang tetap setia pada tradisi Arab, mengambil inspirasi dari Hadramaut, Mesir, dan wilayah lain di Semenanjung Arab.

Musik dan nyanyian asli gambus, berasal dari Hadramaut, hanya bertahan di Empang hingga akhir tahun 1940-an. Kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, musik gambus mulai diselaraskan dengan nuansa dari Semenanjung Melayu, baik dalam lirik maupun musiknya. Sejak saat itu, mulai bermunculan komunitas-komunitas Orkes Gambus Melayu, terutama di Batavia (Jakarta), dengan penggunaan alat musik yang lebih beragam seperti gitar, biola, dan akordeon.

Di Empang, Ami Hadi bergabung dengan perkumpulan Orkes Musik Azzuchro yang dipimpin oleh Awab Salim Balweel, pembentukannya berdasarkan ide dan gagasan dari Hasyim Alwi Al-Idrus. Personil ini tampil secara profesional di atas panggung dengan penampilan yang rapi, lengkap dengan seragam, jas, dan dasi. Selain pendiri Hasyim Al-Idrus, di antara para pemainnya juga terdapat nama Husein Assegaff sebagai pemain biola. Konon, selain memainkan musik gambus Melayu Semenanjung, mereka juga sering tampil dengan musik berirama Latin dan keroncong.

S.Hasyim Alwi Al-Idrus 
pendiri dan pentolan OG Azzuchro
(sumber photo; koleksi Arif Abud Balweel)

Syair dalam musik gambus Melayu tidak hanya kaya dalam bentuk pantun yang berbicara tentang percintaan, tetapi juga mencakup kisah-kisah mengenai budi pekerti dalam kehidupan dan nasihat. Setiap syair pantunnya diungkapkan dalam bentuk tamsil yang menggambarkan wanita sebagai bunga, laki-laki sebagai kumbang, dan alam sekitar sebagai keagungan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Reformasi dalam musik gambus, baik di Batavia maupun di Buitenzorg, telah menjadi pangkal lahirnya aliran baru di kalangan para musisi gambus. Pada masa berikutnya, sebagian dari mereka menghadirkan inovasi dengan mempersembahkan nuansa Melayu yang lebih dinamis dan modern. Para pionir seperti Said Effendi, Husen Bawafie, dan sejumlah tokoh lainnya turut mengukir jejak dalam perjalanan ini.

Para seniman musik Melayu tidak terhindarkan dari revolusi arah musik mereka, terutama karena pengaruh yang kuat dari lagu-lagu film India yang mulai diputar di bioskop-bioskop di Indonesia sejak pertengahan tahun 50-an. Era ini dapat dianggap sebagai cikal bakal musik dangdut Indonesia yang kita kenal saat ini.

Namun, bagi Ami Hadi, dia memilih untuk tetap setia pada akar musik gambus Melayu. Bahkan, dia tidak hanya bertahan, tetapi juga mengembangkan gaya musiknya sendiri yang khas. Kemampuannya untuk menggabungkan kedua aliran musik tersebut, gambus dan Melayu Semenanjung, dengan menggunakan alat musik gitar petik dengan mahir, membuatnya unggul dan dikenal dalam dunia musik.

Pantun dan lirik yang terdapat dalam lagu-lagu Ami Hadi membawa unsur-unsur khas dari budaya Semenanjung Melayu serta istilah-istilah yang terinspirasi dari cerita epik klasik dalam kisah 1001 Malam, seperti "Istana Raja", "Sri Baginda", "Datuk Perdana Menteri", "Datuk Temenggung", dan "Raja Sulaiman". Meskipun beberapa istilah ini dikembangkan secara imajinatif dalam lagu-lagu ciptaannya, terutama dalam bentuk pantun, namun tetap tercipta secara spontan.

Talenta Ami Hadi dalam mengarang pantun bisa dikatakan luar biasa. Susunan bait pantun yang ia nyanyikan muncul secara spontan, tanpa direncanakan terlebih dahulu seperti proses pembuatan lagu pada umumnya, yang biasanya melibatkan penulisan dan penghafalan sebelum dinyanyikan di atas panggung. Yang lebih menakjubkan lagi, lirik pantunnya tetap sama setiap kali dinyanyikan kembali, tanpa perubahan sedikit pun, meskipun dilakukan berkali-kali dalam waktu yang berbeda.

Ami Hadi telah menciptakan puluhan lagu, termasuk pantun, yang ia bawakan sendiri sambil memainkan alat gitar petiknya, serta lagu-lagu karya orang lain. Beberapa judul lagu yang dikenal luas antara lain "Menanti Musafir", "Melati Disanggul Jelita", "Laki Durhaka", "Bercerai Muda", "Ibu", "Bermuram Durja", "Pantun Jenaka", "Pantun Janda", "Pantun Budi", dan masih banyak lagi.

Kutipan dari lirik pantun yang diciptakannya itu antara lain ialah; 

Kalau petang malam jumahat
Jangan suka tari serimpi
Peluk guling panggil semangat
Minta bertemu di dalam mimpi


Saya kira Raja Hanoman
Tidaklah tahu Raden Bupati
Saya kira main-mainan
Tidak tahu sesungguh hati

Wahai Sulaiman Raja Sulaiaman
Memakai baju sutera yang halus
Adek umpama segelas minuman
Semakin dipandang semakin haus

Lagu Melati, Suara lawas Ami Hadi

Ami Hadi, atau Abdul Hadi Mahdami, memang pantas disebut sebagai maestro Gambus Melayu Indonesia yang legendaris, sebuah julukan yang tak lepas dari pujian Geisz Chalifah. Kelebihannya dalam mengarang pantun dan keahliannya dalam memetik senar gitar menciptakan suatu harmoni yang tak tertandingi. Petikan gitar yang khas telah menjadi ciri khasnya, melampaui standar alat musik seperti oud atau gitar kuya yang umumnya digunakan dalam aliran musik yang serupa.



Namanya akan selalu terukir dalam kenangan, dan pantun-pantunnya akan terus bersenandung, melintasi zaman dan menghiasi telinga setiap generasi yang terpesona oleh keindahan musik gambus beraroma Melayu.

Syair-syair itu akan tetap terjaga dalam ingatan, dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh para penyanyi saat merayakan kenduri, entah itu di gemerlapnya Jakarta atau di tanah kelahirannya, Kampung Arab Empang Bogor. Di sanalah Ami Hadi tumbuh besar, di sana pula ia menjalani kehidupan, bahkan membentuk ikatan rumah tangga sebelum akhirnya hijrah ke Jakarta, menetap di kawasan Cawang, menyemai kembali jejak-jejak kebesaran musiknya.

Dari Ami Hadi, kita tak hanya belajar tentang seni menghibur, tapi juga tentang seni memberikan makna yang mendalam melalui nasehat-nasehat yang diungkapkan dalam syair dan pantunnya. Ia telah meninggalkan sebuah warisan berharga, sebuah pusaka yang tak ternilai harganya: warisan akan orkes gambus Melayu Semenanjung, yang masih mengalun harmonis dan mengisi ruang hati kita hingga saat ini. Dalam setiap nadanya, kita dapat merasakan kehadiran dan kebijaksanaan seorang maestro yang tak pernah lekang oleh waktu, melainkan tetap hidup dalam alunan musik yang abadi.

       Pernikahan Ami Hadi di Jakarta, 1954


2 Komentar untuk ""Bersama Sang Maestro: Warisan Indah Ami Hadi dalam Musik Gambus Melayu""

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel