Marta dan Mendur bersama Gelora Rakyat dalam Jejak Kemerdekaan Republik Indonesia


Monumen Proklamasi 

Jum'at pagi tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriyah bertepatan dengan 17 Agustus 1945. Dua orang yang tengah menjalankan ibadah puasa telah di daulat oleh para pendiri bangsa untuk berdiri tegap di sebuah beranda rumah tua mengumandangkan pembacaan satu lembar dari secarik kertas yang telah diketik oleh juru ketik Sayuti Melik pada dini hari menjelang sahur sebagai teks naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Kelak dikemudian hari dua anak bangsa itu dinamai oleh rakyatnya sebagai Sang Proklamator dan keduanya-pun ditetapkan oleh perumus negara sebagai Dwitunggal Sukarno-Hatta untuk memimpin roda pemerintahan sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.

Menurut sejumlah sumber sejarah termasuk diantaranya Budayawan Betawi H.Ridwan Saidi, sedianya pembacaan naskah proklamasi itu akan dibacakannya di Lapangan IKADA yang sekarang kita kenal sebagai Taman Monumen Nasional (MONAS) di Gambir. Tapi karena situasi dan kondisi Jakarta yang saat itu dianggap belum kondusif, lokasinya pun kemudian dialihkan ke kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No.56. Lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari naskah itu dirumuskan dan diketik di kediaman opsir tentara Jepang, Laksamana Maeda.

Sejak pagi buta para "pedagang subuh" yang berjalan kaki menuju pasar Senen dan Manggarai, menurut H.Ridwan Saidi dicegat dan di mobilisasi oleh para pemuda Betawi yang direkrut secara spontan menjadi panitia kemerdekaan, bersama aktivis kemerdekaan lainnya dikerahkan untuk berkumpul di halaman rumah Bung Besar hingga detik-detik kemerdekaan Indonesia itu di proklamirkan tepat pada pukul 10.00 Wib.

Mendur bersaudara mengabadikan momentum penting itu setelah bersusah payah, berdarah-darah mengamankan negatif filmnya dari kejaran tentara Nippon. Tanpa Mendur bersaudara, Indonesia tidak akan pernah memiliki dokumentasi penting yang mengabadikan peristiwa bersejarah tersebut.

Momentum bersejarah itu teramat penting bagi bangsa Indonesia. Karena pada tanggal, bulan dan di tahun itulah puncak perjuangan rakyat Indonesia mencapai klimaks, sebuah pernyataan kemerdekaan yang telah diploklamirkan dan ditandatangani oleh Sang Proklamator Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia. 

Bagian dari narasi sejarah itulah penulis tak akan pernah henti sepanjang roda sejarah terus berputar untuk selalu menjadi "pengingat" agar peristiwa bersejarah tersebut tidak dilupakan oleh zaman. Salah satunya adalah rumah tempat dimana Bung Karno dan Bung Hatta mengumandangkan pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No.56, karena rumah itulah yang kelak menjadi jejak sejarah peran dan kesaksian salah seorang saudagar Arab di Indonesia Faradj Bin Said Bin Awadh Martak  disingkat Faradj Martak (1897-1962) bersama-bersama dengan gemuruh rakyat Indonesia dalam menggelorakan semangat kemerdekaan bangsanya. 

Tentang rumah bersejarah itu untuk pertama kalinya diungkap oleh penulis secara terbuka pada 2014 dalam beberapa tulisan di media sosial dan online. Tulisan itu diangkat yang bermula dari secarik kertas copy surat resmi negara yang disimpan oleh Khalid Ali Martak, cucu laki-laki Faradj Martak. Bersyukur fakta sejarah itu kemudian ramai dikutip oleh banyak pihak yang sama-sama memiliki semangat dan tujuan agar menjadi referensi sejarah bagi bangsa Indonesia.

Terlepas dari polemik para ahli sejarah tentang bentuk perjuangan Bangsa Indonesia, tak terkecuali pula peran penjajah Jepang yang tiada henti diperdebatkan karena dipandang ikut berperan dalam memerdekakan Indonesia. Patut disyukuri kemerdekaan itu sudah diraih dan hingga kini masih dapat dipertahankan setelah ada upaya perebutan kembali melalui agresi Belanda yang kedua pada tahun 1948. Dan kini bangsa Indonesia dengan segala problematikanya tetap merdeka. Entah merdeka dalam arti yang sesungguhnya atau hanya sebuah kemerdekaan yang hanya menjadi sebuah narasi sejarah belaka. Hanya saja makna kemerdekaan Indonesia itu sendiri tak pernah luput dari pengamatan dan keluh kesah rakyatnya yang konon belum merasakan hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya (wallahu'alam).

Ada tiga unsur yang dipandang penting dalam sebuah narasi sejarah dan ketiganya adalah pokok yang saling berkaitan satu dengan lainnya yaitu pelaku, waktu dan tempat. Tempat dimana diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia itulah kelak oleh Presiden Sukarno pada tanggal 1 Januri 1961 ditancapkan Tugu Petir yang kemudian disebut sebagai Tugu Proklamasi dengan sebuah prasasti yang memuat peristwa itu terjadi "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".

Tugu Petir dan prasasti di Pegangsaan Timur 56 itu menjadi penanda bahwa di lokasi bekas kediamannya itu pernah terjadi sebuah peristiwa penting yang harus terus dikenang oleh bangsa Indonesia. 

Hampir semua bangsa di dunia ini memiliki tempat serupa sebagai titik tolak kedaulatan bangsanya untuk pertama kali ditegakkan. Dan ditempat itu pula setiap bangsa di dunia ini akan mengingatnya sebagai sebuah tempat yang paling bersejarah dan monument. Biasanya disitulah rakyat mengekspresikan diri ketika nilai-nilai kemerdekaan sudah tidak mampu dimaknainya lagi, juga menjadi tempat merefleksikan dirinya untuk mensyukuri anugerah kemerdekaan yang telah diraihnya.

Rumah bersejarah di Jl.Pegangsaan Timur 56, Cikini Jakarta itu kini musnah dan tanpa jejak, konon dirobohkan sendiri atas permintaan Presiden Sukarno. Tapi dari sejumlah sumber beliau pernah menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta Henk Ngantung agar rumah bersejarah itu direnovasi. 

Pada 17 Agustus 1980 Presiden Soeharto meresmikan monumen Sukarno-Hatta yang sedang membacakan naskah proklamasi. Dan sejak itulah jalan Pegangsaan Timur namanya dirubah menjadi Jalan Proklamasi 56.

Jika Mendur bersaudara berjasa pada Negara karena atas usahanya dapat mengabadikan peristiwa penting 17 Agustus 1945, maka Faradj Marta sudah sepatutnya tidak boleh luput dari catatan sejarah Indonesia, karena atas jasanyalah rumah di Pegangsaan Timur 56 atau Monumen Tugu Proklamasi sejak masih dinamakan Jalan Pegangsaan Timur 56 itu resmi menjadi milik Negara. 

Faradj Martak adalah pengusaha Indonesia, President Direktur N.V. Alegemeene Import-Export en Handel Marba. Penerusnya adalah Ali Faradj Martak anak kandungnya yang dikenal dekat dengan Bung Karno. Ali juga dikenal akrab dan bahkan disebut-sebut sebagai tokoh muda yang secara khusus direkrut oleh KH.A. Wahid Hasyim sebagai kader NU pada masa kepemimpinannya. Ali sempat menduduki jabatan sebagai Ketua Majelis Ekonomi PBNU dan juga kepala divisi keuangan GP Ansor. 

Beberapa aset miliknya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa, salah satunya adalah Hotel Garuda di Jogjakarta. Gedung Marba heritage di Kota Lama Semarang adalah salah satu jejaknya. Gedung Marba di Jakarta kini masih berdiri dengan kokoh di kawasan kota tua yang sekarang disebut sebagai Gedoeng Djasindo. Marba itu sendiri singkatan dari Martak Badjened, perusahaan yang dirintisnya bersama keluarga fam Badjened dan sama-sama berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Sejarah mencatat Badjened merupakan bagian dari tokoh penting berdirinya Sjarekat Dagang Islamijjah di Buitenzorg (Bogor) yang dirintisnya bersama tokoh Pers Indonesia Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.

Rumah di Jl. Pegangsaan Timur 56, Cikini Jakarta yang kemudian menjadi rumah bersejarah Bangsa Indonesia, rumah yang pernah dihuni oleh Presiden pertama republik ini, rumah yang kemudian dijadikan tempat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ada dan resmi telah menjadi milik Bangsa Indonesia berkat usaha dan jasa besar Faradj Martak.

Karena atas jasanya itulah kemudian Pemerintah Indonesia memberinya surat ucapan terima kasih. Ucapan itu disampaikannya secara tertulis atas nama Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1950 yang ditandatangani oleh Ir.H.M.Sitompul selaku Menteri Pekerdjaan Umum dan Perhubungan Republik Indonesia. Di surat itu disebut pula ada rumah-rumah bersejarah lainnya yang diberikan oleh Martak. Penulis berasumsi rumah bekas Laksamana Maeda yang sekarang menjadi museum proklamasi adalah salah satunya, karena dikawasan yang sama banyak properti yang dimiliki oleh beliau.

Jika Mendur telah mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang layak dari Pemerintah atas jasanya dengan menerima Penghargaan Anumerta Bintang Jasa Utama dan Anumerta Bintang Mahaputera Nararya. Maka untuk sebuah sejarah yang berkeadilan patut pula kiranya agar Faradj Martak bertaburkan bintang yang sama dari Pemerintah sebagaimana halnya kepada Mendur bersaudara. Dirgahayu Indonesia MERDEKA.

Peristiwa yang diabadikan oleh Mendur

Rumah Jalan Pegangsaan Timur No.56

Gedung Marba di Kota Lama Semarang

Belum ada Komentar untuk "Marta dan Mendur bersama Gelora Rakyat dalam Jejak Kemerdekaan Republik Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel