Ummu Hafidzoh wa Syaikhoh Irsyadiyyah: Ibu Aisyah Al-Kalaly (1924–2019)

Ibu Aisyah (Icun) Al-Kalali dan tamunya

Jum’at, 31 Mei 2019, bertepatan dengan hari-hari terbaik di penghujung Ramadan 1440 Hijriyah, asyrah al-awakhir, keluarga besar Al-Irsyad Al-Islamiyyah kembali diselimuti duka mendalam. Pada hari itu, berpulang ke rahmatullah Ibu Aisyah binti Muhammad bin Salim Al-Kalaly, atau yang akrab disapa Ibu Icun, di usia 95 tahun.

Almarhumah wafat di Pekalongan, kota yang menyimpan sejarah penting bagi gerakan wanita Al-Irsyad. Di kota batik inilah, pada 14 Mei 1930, lahir organisasi Nahdatul Mu’minat, wadah berhimpunnya kaum perempuan yang kelak menjadi cikal bakal terbentuknya Wanita Al-Irsyad. Pembentukan organisasi tersebut diinisiasi atas anjuran dan dorongan Al-Ustadz Umar bin Sulaiman Nadji, dengan Syarifah Khadidjah Al-Bakri sebagai ketua pertamanya.

Ibu Icun adalah istri dari Husen bin Abdurrahman Al-Huraiby, dan dari pernikahan itu beliau dikaruniai sembilan orang anak: Abdurrahman (Jeddah), Dr. Riyadh (Aden), Muna (Pekalongan), Jamal (alm.), Thoha (alm.), Abdul Lathif, Kautsar (Pekalongan), Adil (Pekalongan), dan Sa’diyah (alm.).

Selama lebih dari separuh hidupnya, Ibu Icun mengabdikan diri sepenuh hati untuk gerakan Wanita Al-Irsyad, khususnya di cabang Pekalongan. Bersama para aktivis wanita Al-Irsyad di kota itu, beliau menggagas dan mewujudkan berdirinya Ma’had Islam Al-Irsyad untuk Tahfidz Al-Qur’an (khusus putri) pada 30 Juli 1989, di bawah naungan Yayasan Wanita Al-Irsyad Al-Islamiyyah Pekalongan.

Lembaga yang beliau dirikan telah melahirkan ratusan hafizhah, para pemelihara Al-Qur’an yang menebarkan cahaya ilmu dan iman ke berbagai penjuru negeri. Ma’had tersebut tercatat sebagai pondok tahfidz khusus putri pertama di Indonesia yang berada di bawah organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Atas kiprah dan jasanya yang luar biasa itu, pantaslah bila almarhumah dikenang sebagai “Ummu Hafidzoh wa Syaikhoh Irsyadiyyah”, ibu para penghafal Al-Qur’an sekaligus tokoh perempuan Al-Irsyad yang teguh.

Kunjungan Prof.DR.Mustafa Ya'qub Imam Besar Masjid Istiqlal ke Ma'had Islam Tahfidz Al-Qur'an Puteri Al-Irsyad Al-Islamiyyah Pekalongan

Ibu Icun Al-Kalaly adalah puteri dari sembilan bersaudara anak Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly. Salah satu saudaranya ustadz Asad Al-Kalaly dipandang sebagai tokoh terkemuka Al-Irsyad cabang Cirebon lulusan sekolah Al-Irsyad di Batavia yang mendapatkan didikan langsung Syaikh Ahmad Surkati. Ustadz Asad tercatat sebagai pendiri Yayasan Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cirebon.

Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly

Darah perjuangan itu terus mengalir ke generasi berikutnya. Keponakan Ibu Icun, Ibu Faridah Afif—akrab disapa Kak Ipop, adalah anak dari saudari beliau, Ibu Hamidah binti Muhammad Al-Kalaly. Kak Ipop juga dikenal sebagai aktivis wanita Al-Irsyad dan salah satu pendiri Pondok Pesantren Puteri Al-Irsyad Al-Islamiyyah “Darul Marhamah” di Cileungsi, kabupaten Bogor.

Peran dan kiprah Ibu Icun Al-Kalaly terwarisi dari darah ayahnya Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly yang dikenal sebagai seorang ulama besar dan tokoh pembaharuan Islam di semenanjung tanah Melayu. Sebagaimana dikutip dari berbagai sumber, Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly tampil menjadi agen, penyeru dan penganjur pemikiran Sjaich Muhammad Abduh melalui penyebarluasan majalah Al-Manar, serta memuatnya secara berkala dalam majalah Al-Imam yang dipimpinnya.

Prof.Dr.H.Abdul Malik Karim Amarullah atau yang dikenal sebagai Buya Hamka, telah mensejajarkan nama Sjaich Muhammad Al-Kalaly dengan tokoh-tokoh terkemuka ulama keturunan arab Nusantara lainnya seperti Sjaich Abdushshamad Al-Falimbaniy dan Sjaich Muhammad Nuruddin Ar-Raniriy. Ungkapan Hamka itu ditulisnya dalam majalah Panji Masyarakat Nomor 201, 15 Juni 1976 yang bertajuk Al-Imam, Majalah Islam Pertama di Nusantara yang diterbitkan oleh Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly.

Pertemuan Hamka dengan Sjaich Muhammad Al-Kalali pada tahun 1930 sepertinya meninggalkan kesan yang dalam. Menurut Hamka, beliau adalah hartawan (saudagar) Arab yang dapat dibanggakan keluasan ilmunya, kebesaran cita-citanya, dan faham-fahamnya dalam ilmu agama. Sebagai seorang saudagar, Sjaich Muhammad Al-Kalali memiliki sejumlah usaha di Singapura dan diberbagai tempat diantaranya di Cirebon dan di Pulau Pinang, di Pulau Pinang perusahaan miliknya dinamai "Pulau Pinang Al-Kalali & Co". Di Lhokseumawe ia memiliki usaha bisnis yang bergerak di bidang ekspor import.

Michael Laffan dalam bukunya "The Making Of Indonesian Islam" menulis bahwa Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly merupakan salah seorang yang termasuk generasi pertama gerakan pembaharuan Islam di Nusantara, dimana banyak pendukung pembaharuan terhubung dengannya terus menerus melakukan dialog secara intensif.

Para ahli sejarah Aceh menulis, antaranya Taqiyuddin Muhammad seorang peneliti sejarah dan kebudayaan Islam di Lhokseumawe menyebutkan bahwa, Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly merupakan tokoh yang berperan besar dalam melahirkan Al-Imam, majalah Islam pertama di Dunia Melayu berbahasa Jawi yang diterberbitkan di Singapura pada tahun 1906. Menurutnya pula, Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly memiliki andil besar bagi peneliatian arkeologi Islam di Indonesia. Ia berhasil menyingkap nama-nama tokoh pada nisan kuno peninggalan sejarah kerajaan Islam Samudera Pasai. 

Halaman muka majalah Al-Imam

Sekalipun Majalah Al-Imam di cetak dan diterbitkan di Singapura, majalah ini beredar luas ke hampir seluruh kawasan di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Tercatat DR.Abdul Karim Amarullah ayah Hamka sebagai agen Al-Imam di Maninjau. Selain itu tercatat pula nama Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bin Syihab sebagai perwakilan di Betawi dan Haji Abdullah bin Haji Ahmad di Padang Panjang.

Terbitnya majalah Al-Imam karena terpanggilnya rasa "wathan", cinta akan tanah airnya, untuk membangkitkan bangsa dan kaumnya dari keterlenaan dan kebodohan akibat sifat malas. Ia membangkitkan bangsa melayu pada umumnya untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan barat. 

Sebagai seorang tokoh pembaharu  Islam, Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly dikenal dekat dan bersahabat erat dengan Syaikh Ahmad Surkati pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly ini pula yang merekomendasikan dan bahkan menemani langsung Hasby muda melanjutkan studinya ke Perguruan Al-Irsyad di kota Surabaya. Hasby muda yang kemudian dikenal sebagai Prof Dr Hasby Ash-Shiddiqy adalah ulama dan penulis produktif banyak kitab di Indonesia. Untuk mengenang dan menghormati gurunya, foto Sjaich Muhammad bin Salim Al-Kalaly terpampang di Gedung Hasby Ash-Shiddiy, di Desa Mon Geudong, Banda Sakti, Lhokseumawe.



Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaly lahir di Singapura pada 1846 dan wafat di Lhokseumawe, Aceh, pada 1946. Namanya kini terukir di batu nisan makam keluarga besar Al-Kalaly di Lhokseumawe, saksi bisu atas perjalanan seorang ulama, saudagar, dan pembaharu Islam yang mewariskan cahaya ilmu hingga generasi cucunya.

Dan di antara warisan itu, berdirilah sosok Ibu Icun Al-Kalaly, seorang ibu, guru, dan pejuang pendidikan Al-Qur’an, yang telah meneruskan semangat pencerahan itu dalam bentuk paling mulia: mendidik generasi wanita penghafal kalam Tuhan.

Bogor, 1 Juni 2019,
Abdullah Abubakar Batarfie

2 komentar untuk "Ummu Hafidzoh wa Syaikhoh Irsyadiyyah: Ibu Aisyah Al-Kalaly (1924–2019)"

Comment Author Avatar
Assalamualaikum saya salah satu nya cicit Salim Al kelali, saya sangat bangga dengan artikel ini, tapi sayang nya kenapa nama 2 anak nya yang dari istri pertama tidak di sebut di sini, salah satunya jiddah saya Fatimah Al kelali...
Comment Author Avatar
Masya Allah tabarakallah. Saya mohon maaf karena keterbatasan informasi dan literasi, jika berkenan nama anak-anak amarhum secara berurutan dapat ditulis untuk kita tanbahkan dalam narasi sejarah ini 🙏