dr. Marzuki Mahdi dan Jam Junghans di Masjid Agung Empang

dr. Marzoeki Mohammad Mahdi 
(1890-1967)

Sudah hampir  memasuki usia delapan puluh dua tahun suara lonceng dari sebuah jam menggema syahdu tiada henti dari waktu ke waktu searah jarum jam berputar menemani waktu sholat fardhu tiba. Jam itupun berdiri hampir tidak pernah bergeser sedikitpun dari posisinya yang berada disamping Mihrab yang letak dan arahnya tidak pernah berubah selama lebih dari dua ratus tahun sejak Masjid itu didirikan untuk pertama kalinya pada tahun 1817. 


Masjid Agung Empang demikian orang-orang menyebutnya. Masjid ini menjadi saksi yang menandai terbentuknya sebuah perkampungan besar yang disiapkan sebagai pusat pemerintahan setingkat kabupaten yang dikepalai oleh seorang pejabat berpangkat Demang. Secara topografi pusat pemerintahan feodal yang dikepalai oleh Raja-Raja (Sultan), Patih, Bupati dan Demang di Jawa keberadaan Masjid Agung telah menjadi bagian dari landmark sebuah ibu kota lengkap dengan Alun-Alun dan pohon bicara, sebutan untuk pohon beringin karena di bawah naungan pohon beringin itulah segala maklumat atau titah para penguasa diumumkan kepada rakyatnya.

Selain pohon bicara ada pula kampung kecil yang berada dekat dalam area Masjid Agung yang dipersiapkan khusus untuk golongan kaum agamawan. Kampung kecil itu dinamakan kauman atau kaum, diambil dari istilah qaumuddin yang berarti para penegak agama dan dikepalai oleh seorang berpangkat HofdPenghoeloe.

Masjid Agung Empang menjadi bagian dari fasum (fasilitas umum) pusat pemerintahan kota Bogor pada masa silam sejak Demang  Kampung Baru di Sukaraja Raden Wiranata dikabulkan permohonannya oleh Gubernur Jenderal Jacob Mossel untuk menyewa dan menempati lahan bekas Palagan sebagai tempat kediaman dan pusat pemerintahan barunya. Palagan adalah nama sunda kuno untuk penyebutan nama medan pertempuran dimana dahulunya dilokasi itu pernah terjadi pertempuran hebat antara pasukan Kerajaan Pajajaran saat menghadapi serbuan dari bala pasukan Kerajaan Banten. Dari sumber lain menyebutkan Palagan itu disebut pula sebagai Alun-Alun Luar Keraton Pakuan Pajajaran yang pusatnya ada di kawasan Istana Batutulis sekarang.

Di bekas Palagan itulah kemudian dinamakan Kampong Soekaati yang menurut asumsi penulis diambil dari terjemahan Buitenzorg dari bahasa Belanda yang artinya di luar kesusahan atau pusing yang secara maknawi adalah senang hati atau bila di-sunda-kan adalah sukaati. Seiring dengan berkembangnya kampong Soekaati sebagai pusat pemerintahan kaum Boemipoetra, selain berangsurnya penyebutan nama Empang menggantikan nama Soekaati, belakangan nama Masjid Agung Empang pun berubah namanya menjadi Masjid At-Thohiriyyah yang konon nama itu dimunculkan setelah penggabungan dan pembentukan Yayasan At-Thoririyah Wiranata pada 18 April 2008. Penamaan itu untuk mengenang sekaligus mengabadikan nama perintisnya Rd.Haji Moehammad Thohir yang wafat 1845.

Sebagai Masjid Agung pertama dan resmi digunakan sebagai pusat kegiatan ibadah oleh pemerintahan dan rakyat Boemipoetra, sebelum Pemerintah kota Bogor mendirikan Masjid Raya di Jalan Pajajaran yang rampung pembangunannya pada tahun 1979. Masjid Agung Empang menjadi satu-satunya Masjid di Kota Bogor sebagai tempat penyelenggaraan ibadah pada hari-hari besar keagamaan masyarakat Bogor, termasuk Sholat Hari Raya Iedul Fitri dan Iedul Adha. Beberapa tokoh penting yang pernah singgah dan shalat di Masjid Agung Empang adalah antaranya Presiden pertama Indonesia Ir.Sukarno dan Wakil Presiden pertama Drs.Muhammad Hatta. Juga bekas Ketua Umum Partai Islam Masyumi dan mantan Perdana Menteri Republik Indonesia Mohammad Natsir yang terkenal perjuangannya dalam menyatukan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mosinya di Parlemen sebagai Mosi Integral Natsir.

Penulis pernah menyaksikan langsung kunjungan Wakil Presiden R.I Bapak H.Adam Malik saat melaksanakan shalat Jum'at di Masjid Agung Empang. Disebut-sebut para pemimpin dan tokoh dunia pernah pula shalat Jum'at di Masjid Agung Empang, antaranya adalah Presiden Mesir Gamal Abdul Naser dan Rektor Al-Azhar Cairo DR. Syaikh Mahmud Syaltut.

Dokter Hadji Marzoeki Mahdi yang kini namanya diabadikan sebagai nama sebuah Rumah Sakit di kota Bogor satu diantara tokoh-tokoh di Bogor yang rutin menunaikan Ibadah Sholat Jum'at di Masjid Agung Empang. Bahkan menurut salah seorang yang memberikan kesaksiannya, hingga kedua kakinya tidak lagi dapat berjalan normal, Ia akan selalu tiba di masjid satu jam sebelum azan jum'at berkumandang yang datang dalam pengawalan menggunakan kursi roda. 

Satu-satunya benda kenangan dari dokter itu yang masih bisa dimanfaatkan fungsinya hingga hari ini oleh jamaah masjid Agung Empang adalah Jam Nakas tua atau Jam almari dari bahan kayu jati dari merk terkenal buatan Jerman Junghans, Jam itu dihibahkannya untuk Masjid Agung Empang pada 19 Juli 1937.

Hadji Marzoeki Mahdi bukanlah orang yang lahir di Bogor. Beliau dilahirkan di Kota Gadang Minangkabau 14 Mei 1890, anak pasangan dari Mahdi Mangkuto Sutan dan Alimatoes'sadiah. Ia dikenal sebagai pelopor Gerakan Kesehatan Jiwa di Indonesia. Beberapa kali pernah memimpin jawatan urusan rumah sakit jiwa, termasuk di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bogor dan sudah bertugas di rumah sakit tersebut sejak tahun 1924. Dahulu warga Bogor menyebutnya Rumah Sakit Cilendek. 

Keberadaan Rumah Sakit Jiwa di Cilendek bermula dari hasil penelitian dua orang dokter di Hindia Belanda FH Bauer dab WM Smith yang meneliti tentang kondisi kesehatan jiwa di negara jajahan. Dari penelitian yang kemudian dijadikan sebagai verslag (laporan) oleh kedua orang dokter belanda itulah pada 1868 tercatat ada kurang lebih sekitar 550 orang di Jawa yang menderita gangguan kesehatan jiwa. Kondisi para penderita sangat memprihatinkan ada yang dipasung, ditelentarkan dan ada ada pula yang dirawat di rumahsakit militer yang tidak dikhususkan untuk perawatan jiwa.

Oleh pemerintah, hasil penelitian Bauer-Smit dijadikan dasar pembentukan layanan kesehatan mental di Hindia Belanda. Pada 1881 Pemerintah kolonial membuka Roemah Sakit Djiwa (RSD) pertama di Bogor dengan nama Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg. Tahun 2002 melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI telah mengubah nama Rumah Sakit Jiwa Bogor menjadi Rumah Sakit dr. H Marzoeki Mahdi.

  Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg 1820

Sebagai bekas mahasiswa Lulusan Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia, Marzoeki muda aktiv dalam organisasi Pergerakan Boedi Oetomo dan pernah dipercaya menjadi ketua cabang Semarang. Pada masa revolusi ketika terjadi pertempuran di bantaweg kota Bogor, dr. Marzoeki Mahdi disebut-sebut sebagai tim medis yang memberikan pertolongan saat Kapten Moeslihat tertembak oleh peluru Belanda, dan dirinyalah yang menyaksikan langsung detik-detik ketika pejuang kemerdekaan itu tidak tertolong lagi jiwanya dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Nama Kapten Muslihat kini diabadikan menjadi nama jalan di pusat kota Bogor menggantikan nama lamanya Bantanweg.

dr. Hadji Marzoeki Mohammad Mahdi atau terlahir dengan nama Marzoeki Mohammad Mahdi menikah dua kali antaranya adalah dengan Otoh Arwati janda almarhum sahabatnya Muhammad Husni (MH) Thamrin (Pahlawan Nasional). Sedangkan nama istri lainnya adalah Sophine SAIDI. Beliau memiliki 6 orang anak yang kesemuanya diperoleh dari istrinya Sophine Saidi yaitu;  Mariama Mahdi, Mariati Mahdi, Drs.Magdalena Mahdi, Izak Mahdi dan Harun Alrashid Mahdi.

dr. Hadji Marzoeki Mohammad Mahdi bertalian kekerabatan dengan Hadji Agus Salim (Pahlawan Nasional), karena kedua saudaranya menikah dengan dua saudara sekandung Hadji Agus Salim. Saudara sekandungnya Aulia Ibrahim Inyik Tan Muhamad menikahi Salimatoen Nahar Salim saudara kandung Hadji Agus Salim. Sedangkan saudara tiri perempuan se ayahnya yang bernama Roemiah adalah istri dari Abdoer Razak Cagir Salim Caghir (Doer Salim) yang juga saudara sekandung dengan Hadji Agus Salim. dr. Marzoeki Mohammad Mahdi wafat di kota Bogor pada 27 Mei 1967. 

Bogor 4 Juni 2019, Abdullah Abubakar Batarfie. Tulisan ini diperbaharui kembali pada 2 Syawal 1441.H atau bertepatan dengan tanggal 25 Mei 2020.


Sheikh Mahmoud Shaltut (Lahir di Mesir 23 April 1893) adalah seorang sarjana agama Sunni Mesir dan teolog Islam terkenal karena karyanya dalam reformasi Islam. Sebagai seorang murid aliran pemikiran Mohammad Abduh, Shaltut menjadi terkenal sebagai Imam Besar Al-Azhar dari tahun 1958 hingga kematiannya pada tahun 1963 (sumber wikipedia)

Belum ada Komentar untuk "dr. Marzuki Mahdi dan Jam Junghans di Masjid Agung Empang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel