Miss Rijan dan Ibu Negri di Empang



Kejayaan Film India dan para pendatang asal Hindustan yang menetap di Bogor

Sebelum pemisahan India dan Pakistan tahun 1947, kedua negara ini masih disebut sebagai negeri Hindustan. Karena itu sejak dulu nama Hindustan sudah lebih dikenal di nusantara. Orang-orang india sendiri menamai dirinya sebagai Hindustani. Kisah-kisah klasik tentang Hindustan sering dikisahkan oleh seniman oral atau tukang cerita di Betawi seperti Mat Djait yang terkenal dan juga penerusnya Sofyan Djait. Gambar To'ong demikian orang Bogor dahulu menyebutnya merupakan jenis hiburan anak-anak zaman dulu yang salah satu alur cerita dalam gambar-gambar yang "di to'ong' (dilihat) adalah kisah-kisah epik dari negeri Hindustan.

Nama Hindustan sempat di populerkan pada sebuah lirik lagu "Mera Joota Hai Japani" yang dibintangi oleh Raj kapoor dan ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia pada tahun lima puluhan. Di Bogor antaranya adalah Bioscoop Capitol dan Bioscoop Park dekat pecinan. Lokasi Bioscoop Park berada di Handels Straat yang sekarang menjadi Jalan Siliwangi. Sebelum bioskopnya musnah namanya sempat diganti menjadi Bioskop Sukasari. Sedangkan Bioscoop Capitol berada di jalan yang menghubungkan antara Jalan Siliwangi sekarang dengan Jalan Bondongan. Jalan itu hingga kini dikenal dengan nama Gang Aut. Aut bisa jadi diambil dari bahasa Belanda yaitu Out yang artinya adalah keluar.


Mera Joota Hai Japani 
Raj Kapoor - Shree 420 - Mukesh

Film-film bollywood tahun lima puluhan yang dibintangi oleh Raj Kapoor, Nargis, Nutan, Dev Anand, Dilip Kumar, Meena Kumari dan Mala Sinha juga sempat ngetop ditayangkan di Bioscoop Maxim yang berada di Tjikeumeuh weg atau yang sekarang menjadi Jalan Merdeka. Dahulu Bung Karno pernah berpidato di halaman Bioscoop Maxim untuk menggelorakan api revolusi kepada rakyat di kota Bogor. Dan sejak itulah warga Bogor menyebutnya sebagai Bioskop Presiden.

Pada tahun delapan puluhan bekas gedung Bioscoop Maxim yang berada dekat dengan Gang De Leau atau yang sekarang menjadi Gang Menteng. Oleh seorang pengusaha India dari suku Sikh, bekas bioskop maxim itu dibuka kembali dan namanya dirubah menjadi Presiden Theatre dengan tetap memutar film-film bollywod era kejayaan aktor Amitabachan dan Hemamalini. Nama maxim masih tetap eksis karena orang-orang menyebut jalan disamping bekas Presiden Theatre itu sebagai gang maxim.


Dahulu sebelum ada tape recorder atau sekarang lebih mutkahir lagi dengan menggunakan perangkat audio yang bertekhnologi tinggi, alat untuk mendengarkan musik adalah dengan menggunakan piringan hitam, itupun tidak banyak yang memilikinya karena berharga mahal. Para pemuda peranakan Arab di Empang sangat menggemari lagu-lagu dari Hindustan, karena itu siapa saja yang menghafal lagu-lagu india yang lagi hits maka akan didaulat untuk dinyanyikan dalam pentas orkes musik melayu kala ada pesta hajatan. Acang dan Uceng Adoy yang masing-masing bernama asli Hasan Baraja dan Husen Bafadol, keduanya bahkan di ongkosi tiket masuk bioskop untuk menonton setiap ada pemutaran film india terbaru dan bisa berhari-hari hingga pemutaran film selesai di tayangkan hanya untuk diminta menghafal lagu-lagu terbaiknya.

Di dekat Jembatan Merah yang berada di Bantammer weg atau kini menjadi Jalan Kapten Muslihat terdapat Bioscoop Central yang setelah Indonesia merdeka namanya dirubah menjadi Bioskop Taruma. Disamping Bioscoop Central ada jalan yang juga dinamakan Bioscoop weg, jalan tersebut menghubungkan  Gasfabriek Weg karena ada Pabrik Gas disana, sekarang menjadi Jalan MA Salmun. Warga Bogor hingga tahun delapan puluhan masih menyebutnya dengan nama Gang Bioskop. Kini nama itu berikut bioskopnya sudah hilang, nama jalannya sudah berubah menjadi Jalan Mayor Oking Djajaatmadja. Dipakainya nama itu oleh Pemerintah adalah untuk mengenang dan menghormati jasa salah seorang pahlawan kota Bogor yang kediamannya bertetangga dekat dengan keluarga penulis di Biscoop Weg. Dahulu di Gang Bioskop suasananya sangat asri dan rimbun dengan deretan pohon-pohon kenari besar disepanjang jalan dan sangat jarang dilalui kendaraan yang lalu lalang, kecuali becak dan gerobak-gerobak yang ditarik kuda pengangkut bahan-bahan bangunan, salah satunya berasal dari toko bahan bangunan HA BATARFIE. 

Tidak jauh dari Bioskop Taruma yang berada dekat dengan jembatan merah di ujung depan Gang Mantarena ada Toko Bombay yang menjual barang-barang klontong milik keluarga India totok beragama Hindu. Dahulu diatas tokonya masih terdapat ornamen khas India tapi kini hilang karena pemerintah kota tidak menjadikannya bangunan pertokoan tua yang berada di kawasan lama devris tersebut sebagai cagar budaya yang layak untuk dilindungi. Devris sekarang menjadi icon wisata kuliner malam di Kota Bogor yang buka hingga menjelang pagi, jajanan utamanya adalah bubur ayam dan doclang khas Bogor. Doclang di Empang adalah lontong sayur, sedangkan doclang di devris adalah lontong atau pesor yang dalam bahasa sunda adalah sejenis buras (sunda;lontong) berukuran besar tanpa isi yang dibuat dengan cara direbus seperti pembuatan ketupat yang menggunakan pembungkus dari daun patat. Pesor itu kemudian disirami bumbu kacang tanah berempah serupa bumbu gado-gado, tahu, kentang dan telor rebus yang ditaburi bawang goreng dan kerupuk. Pada umumnya di Jawa Barat nama makanan ini disebut lotek. Para penjual doclang di Bogor berderet disepanjang jalan sesudah jembatan merah atau di depan toko terang sekarang. Dahulu toko terang namanya Apollo, salah satu toko fashion masa kejayaannya jembatan merah sebagai pertokoan elit orang-orang kaya di buitenzorg.

Mutian adalah nama seorang totok asal Hindustan beragama Hindu yang membuka usaha Pangkas Rambut di Park weg. Ia beristrikan peranakan cina yang memperkerjakan beberapa orang tenaga tukang cukur. Konon Barber Shop miliknya adalah termasuk barber shop tua di Bogor yang menjadi langganan Bung Karno. Lokasinya nerada persis di dekat wihelmina park atau warga bogor menyebutnya dengan kebon kembang. Kini bekas wihelmina park sebagiannya menjadi Taman Ade Irma Suryani dan Masjid Agung Pasar Anyar. Sedangkan nama Park weg diganti menjadi Jalan Dewi Sartika, nama pahlawan wanita dari Jawa Barat. Bekas Barber Shop milik Mutian yang di sewa dari keluarga Al-Idrus itu sudah beralih menjadi milik keluarga Thalib dan berdiri salah satunya Toko Sumber Baud. Meski Mutian seorang Hindu tapi Ia berhubungan erat dengan pendatang muslim asal Pakistan, Ia berteman akrab dengan Alladad Khan.

Dahulu di sekitar pabaton dan lebak pilar juga banyak dijumpai para pendatang dari Hindustan yang menetap disana. Tapi sayangnya penulis belum sempat melakukan penelusuran jejak dan keberadaan generasi mereka. Menurut keterangan Mahmud Khan anak sulung Alladad Khan, Ia sering menemani abah (ayahnya) mendatangi rumah mereka, terutama yang rumahnya berada dekat dengan kediaman salah seorang tokoh Bogor Ishak Djuarsa, sekarang berada di kawasan Air Mancur Jalan Sudirman yang dulunya adalah Witte Pall atau Pilar Putih sebagai titik triagulasi primer Pulau Jawa yang dibangun oleh Gubernur Jenderal DJ De Eerens. Karena itulah orang-orang menamakan kampung yang berada dibawah jalan boulevard itu dengan sebutan Lebak Pilar.

Di kawasan pecinan Jalan Pedati Bogor ada toko milik totok Hindustani yang menjual rempah dan bahan obat-obatan.Pemiliknya adalah Tabib Ismail bin Najamuddin kelahiran punjab 1894. Ia belajar mempelajari cara pengobatan klasik menggunakan racikan rempah-rempah dari negeri asalanya di India. 

Tabib Ismail tiba di Buitenzorg bersama seorang keponakan laki-lakinya dari Hindustan dan kemudian berniaga dengan membuka toko permadani dan permata di Pasar Baru Bogor. Tapi Usahnya itu tidak berlangsung lama karena musibah yang menimpanya.Ia-pun kemudian beralih profesi sesuai keahlian yang dimilikinya dengan menjadi tabib dan membuka toko yang menjual rempah dan obat-obatan di Jalan Pedati yang berada dalam kawasan pertokoan di pecinan Bogor. 

Tabib Ismail menikahi Halimah gadis peranakan Hindustan anak pendatang asal Madras Tuan Muhammad yang sempat tinggal di Groote weg, sekarang menjadi jalan Jenderal sudirman. Sejak menikah sebelum tinggal di Jalan Pedati, Ia dan istrinya sempat tinggal di Empang di dekat sungai cisedane dan kemudian pindah di dekat dam atau Pintu Air Pulo Empang. Tabib Ismail wafat di Bogor dan dimakamkan di TPU Dreded pada akhir tahun 1964. 



Tabib Ismail bin Najamudin

Tidak jauh dari pecinan di jalan Pedati, juga terdapat seorang totok asal suku Pusthun yang tinggal di kawasan Kebon Jukut. Orang-orang memanggilnya Toean Moebin.  Berbeda dengan Tabib Ismail yang beristrikan peranakan India, Tuan Mubin pertama kalinya menikahi wanita pribumi. Istri terakhirnya adalah peranakan Arab yang bersaudara dengan moealim Saleh (Saleh Sa'ar)  yang tinggal di kampung Muara. 

Di Kedung Halang sebelum talang air yang membentang kokoh di atas jalan raya, dahulu bagian dari Post weg atau Jalan Raya Pos ada peranakan Pakistan bernama Muhammad Asik yang membuka usaha sapi perah. Sapi perah usahanya itu terbilang perintis dari usaha-usaha sapi perah yang pernah menjamur di kawasan Kedung Halang, Cibuluh hingga di Kebon Pedes. Susu-susu perahan sapinya itu sebagai untuk pasokan memenuhi kebutuhan warga Bogor, khususnya orang-orang Belanda dan orang asing lainnya. Kini jalan yang menghubungkan Bogor dan Jakarta itu sudah berganti nama menjadi Jalan KS Tubun, sebelumnya sempat dikenal sebagai Jalan Jakarta. Karena jalan itulah yang menghubungkan antara Bogor dan Jakarta. 


PEKOJAN CIKAL BAKAL KAMPUNG ARAB DI BOGOR

Pada Abad ke 18, Belanda sudah mulai menerapkan pemberlakuan pengelompokan penduduk berdasarkan etnis yang disebut koloni. Etnis Arab dan etnis lain yang berasal dari Timur Tengah dan Hindustan yang beragama Islam dikelompokan menjadi satu. Karena jumlah etnis Arab yang lebih banyak, maka kelak kemudian koloni ini lebih dikenal dengan sebutan kampung Arab yang dikepalai oleh seorang Hoofd der Arabieren atau yang berpangkat kapten. Jika jumlah etnis tidak terlampau banyak, maka kepala koloni tersebut berpangkat Letnan atau Liutenant der Arabieren. 

Di sejumlah kota di Jawa terdapat beberapa nama tempat yang disebut kampung Pekojan. Termasuk di kota Bogor yang sudah ada sejak abad ke 17. Pekojan merupakan salah satu tempat bersejarah di Jakarta. Menurut van den Berg, Pekojan berasal dari kata Khoja istilah yang masa Hindia Belanda digunakan untuk menyebut penduduk India yang beragama Islam.

Pekojan di Bogor menjadi cikal bakal kampung Arab yang kemudian meluas dan mendominasi wilayah yang dahulu masih bernama Soekaati. Penamaan kampung Soekaati (suka hati) ini agaknya terjemahan dari  Buitenzorg, nama kota Bogor pada masa Hindia Belanda yang secara harfiah artinya diluar kesusahan atau senang hati. Nama Soekaati mulai muncul sejak Mossel pejabat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda mengabulkan permohonan demang Wiranata pada 1745 untuk menyewa tanah di Empang sebagai tempat kediamannya yang baru, menggantikan rumah dan pendopo lamanya di Tanah Baru. Setelah nama Soekaati tergeser oleh nama Empang, Empang kemudian lebih dikenal sebagai Kampung Arab di Bogor.


Mesjid Pekojan (at-taqwa)

Dahulu di Bogor masih terdapat keluarga bermarga Maricar yang asal usulnya dari India. Mereka tinggal berdekatan dengan kampung Pekojan. Lokasinya berada dipinggiran kali cipakancilan dan dekat dengan sobekan kali cisadane. Konon dipilihnya lokasi dekat dengan sungai karena berhubungan dengan usaha pengolahan kulit kambing yang digelutinya. Warga sekitar menyebutnya lebak soto setelah ada penjual soto Mang To'ang disana. Lebak dalam bahasa sunda artinya di bawah, nama lebak dan soto itupun kian melekat dan nama itu kini sudah resmi menjadi Kampung Lebak Soto. 

Pada masa keemasannya, usaha pengolahan kulit kambing di kampung arab empang yang dikelola oleh Ali Wafu adalah dengan menyewa lahan luas untuk menjemur kulit-kulit kambing di nusa sekarang, dekat dengan bendungan air pulo empang. Selain di nusa, sebelumnya Ali Wafu juga menyewa lahan luas di lembah moenjoel, lokasinya sama-sama berada ditepian kali cisadane yang kini namanya Kampung Ampera. Dahulu orang menyebutnya pangkulitan yang dalam bahasa sunda artinya tempat dijemurnya kulit-kulit kambing dan sapi.

Disisi kanan dam (bendungan) yang dibangun oleh pemerintah kolonial belanda sejak 1872, atau dikenal dengan sebutan Pintu Air Pulo Empang. Pada bagian dalam area pemakaman keluarga Dalem Sholawat terdapat beberapa pemakaman keluarga Wafu, termasuk ada nama Muhammad Tambi Maricar dinisannya. Salah satu menantu keluarga wafu Muhammad Noor bin Sultan Maidin peranakan India asal Aceh makamnya juga berada disana bersama istrinya. Namun keberadaan keluarga wafu dalam area pemakaman yang kini menjadi cagar budaya tersebut tidak ada kaitannya dengan silsilah atau nasabnya yang sampai kepada Dalem Shalawat.

PARA PENDATANG HINDUSTAN DI EMPANG

Di Empang pendatang asal Hindustan yang pertama berimigrasi dan tiba di Buitenzorg diperkirakan datang pada pertengahan tahun 1800 adalah Toean Sharifoedin dan Toean Fachroeddin. Keduanya disebut-sebut berasal dari district Hoshiarpur di Provinsi Punjab, sekarang menjadi negara bagian India. Lidah orang sunda kurang fasih melafalkan kata asing, nama Fachroeddin lebih akrab dilisannya dengan menyebut Tuan Pakurudin. Fachroeddin menikahi wanita pribumi sunda asal  "Preanger" dari desa Cimacan. Sedangkan Toean Sharifoeddin menikahi wanita pribumi dari keluarga ningrat Nji Raden Koeraesin, Ia adalah cucu Raden Adipati Soeriawinata atau yang dikenal Rd.Hadji Moehammad Sirodz berjuluk Dalem Sholawat. Ayahnya adalah Rd.Hadji Moehammad Sholeh Natadilaga anak kesebelas Dalem Solawat yang wafat di Purwakarta pada tanggal 9 Mei tahun 1923.

Dalem Solawat adalah pemangku Bupati Bogor yang wafat dan di makamkan di Empang pada 13 Mei 1872. Ia adalah penerus ayahnya Raden Aria Wiranata Bupati Bogor pertama di Soekaati sejak kepindahannya dari Tanah Baru dan dikenal sebagai Dalem Sepuh. (wafat di Mekah pada 1847). Dalem Solawat berjasa besar dalam pembangunan masjid Agung Empang, serta berjasa mengembangkan dakwah dan syiar Islam di kota Bogor. 

Dari pernikahan Toean Sharifoeddin dengan Nji Rd.Koeraesin salah seorang anak laki-lakinya dinamai Abdoel Azis, diperkirakan lahir sebelum tahun 1900. Pada tahun 1919 Abdoel Azis sempat mengunjungi Hindustan menemui keluarga ayahnya dan pernah menetap untuk beberapa lama. Sedangkan Toean Fachroeddin satu diantara salah seorang anaknya bernama Fatimah, tapi orang-orang mengenalnya dengan memanggil Ka Empat Pakurudin. 

Abdul Aziz dan Fatimah keduanya kelak kemudian menikah dan darinyalah lahir generasi ketiga dari pendatang pertama Hindustan yang menetap di Empang. Tiga anak perempuannya kelak dipersunting oleh tiga orang totok dari Pakistan dan India, sedangkan satu anak perempuan lainnya dinikahi oleh peranakan India. Salah satu anaknya adalah Zainab yang dipersunting oleh Hadji Alidji Umar bin Amar Amandji, Totok asal India yang berasal dari kota surat di Gujarat (wafat di Jakarta dan dimakamkan di Bogor 20/08/2003). Abdul Aziz bin Sharifuddin wafat di Bogor tahun 1961 dan dimakamkam satu komplek bersama istri, anak dan beberapa menantunya di TPU Dreded Bogor.


Almarhum Abdul Azis bin Sharifoeddin dan keluarganya 

Toean Fachroeddin dan Toean Sharifoeddin keduanya tidak terselusuri dimana dan kapan wafatnya. Sedangkan Nji Raden Koeraesin istri Toean Sharifoeddin puteri pasangan Raden Hadji Moehammad Sholeh Natadilaga dengan Nji Raden Ratna, wafat di Bogor dan dimakamkan dalam cungkup pemakaman Keluarga Besar Dalem Sholawat di Empang. Kini masuk dalam cagar budaya dan purbakala oleh Pemerintah Kota Bogor.

Profesor Dr. Ahmad Bey, dosen senior dan pakar pada bidang sains atmosfer dan Evapolimatonomi yang menyelesaikan gelar doktornya (Ph.D) di Wisconsin University Amerika Serikat, adalah cucu dari Abdoel Azis, putera dari pasangan Hadji Alidji dan Hajjah Zainab. Ia juga merupakan menantu Ustadz Abdul Kadir Hassan anak dari seorang tokoh dan ulama terkemuka Indonesia Ustadz A Hassan pendiri PERSIS, atau yang lebih dikenal sebagai Hasan Bandung yang mengajari Bung Karno tentang ajaran agama Islam lewat korespondensinya selama pembuangan di Endeh. A Hassan adalah peranakan Hindustan asal Madras kelahiran singapura tahun 1887 dan wafat di Surabaya pada 10 November 1958.

Toneel adalah pementasan sandiwara diatas panggung.Toneel diambil dari bahasa belanda tapi pribumi mengucapkannya Tunil.  
Beberapa kelompok Tunil sempat ngetop di Hindia Belanda diantaranya Opera Miss Riboet dan Dardanella. Dardanella yang terbentuk pada tahun 1926 sudah sukses mementaskan sandiwaranya hingga ke empat benua termasuk di Hindustan. 

Di dekat bantaran kali Cisadane dengan menyeberangi jembatan dari arah pasar ledeng di Empang, ada bekas pemain Tunil namanya Nji Mastiah. Ia telah berkarir selama puluhan tahun dalam kelompok Tunil yang sering pentas di Hindustan. Nji Mastiah adalah wanita Sunda kelahiran Bogor. Dalam dunia seni peran pada panggung Tunil ia lebih dikenal dengan nama Miss Rijan. Nama perannya itu berhubungan dengan lakon yang dimainkannya yang bertemakan tentang Hindustan.

Sebagai seorang bekas anggota kelompok Tunil yang menetap lama di Hindustan, Miss Rijan mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa urdu.  Kemampuan berbahasa urdunya itulah yang kemudian jadi andalan para pendatang Hindustan di Empang. Ia seolah menjadi guide atau bahkan penghubung untuk segala urusan. Konon karena ia adalah seorang pribumi namanya pernah dipakai ketika ada seorang totok Hindustani membeli sebidang tanah untuk rumah tinggal. Hal ini terikat peraturan pemerintah tentang pemberlakuan larangan memiliki hak atas persil oleh warga negara asing.

Miss Rijan wafat tahun 1948 dan dimakamkan di TPU Dreded. Miss Rijan tidak memiliki anak kandung tapi punya anak asuh yang sempat dinikahi oleh dua orang pendatang asal Madras India. Dari hasil perkawinan anak asuh Miss Rijan dengan Hindustani itu diperoleh tiga orang anak perempuan yaitu Hawa, Khadijah dan Asiah. Asiah menikah dengan  peranakan Arab. Khadidjah dan Asiah sebelum keduanya menikah sempat tinggal bersama keluarga Allahad Khan. Sedangkan Hawa menikah dengan laki-laki pribumi dan kini masih hidup yang usianya diperkirakan diatas 80 tahun.


Chadidjah (ijah) berdiri di kiri bersama 
keluarga Allahdad Khan

Di pertengahan tahun 30-an tiba di Empang pendatang baru dari Hindustan. Mereka tiba di Nusantara menggunakan kapal uap setelah berbulan-bulan berlayar mengarungi gelombang samudera. Sebagaimana para pendatang asal Hadramaut merekapun hijrah tanpa menyertakan istri yang dibawa dari negeri asalnya. Mereka menikahi wanita pribumi sunda walau ada satu diantaranya menikah dengan wanita peranakan Hindustan generasi pertama dari totok yang sudah lama menetap di Hindia Belanda.

Mereka pendatang baru di Empang ini adalah dua orang kakak beradik yang berasal dari sebuah district di kota Peshawar, sekarang menjadi ibukota North West Frontier Province yang berada di negara republik Islam Pakistan dan berbatasan dengan negara Afghanistan. Sebelumnya sempat menetap di kampung Arab Pekojan di Batavia, mereka adalah Abdul Kadir bin Abdurrahman Akhoon Khail dan Habiburrahman bin Abdurrahman Akhoon Khail. Kedatangannya diiringi pula dengan ibu dan pamannya Kanamzahan binti Nulab Khan (ibu) dan Mawlawi Abdullah bin Nulab Khan (paman).

Mawlawi atau ada yang menulis dengan ejaan Moulvi adalah gelar yang diberikan kepada seorang ulama sunni. Gelaran ini juga memiliki kesamaan dengan istilah Maulana, mullah atau Sheikh. Secara umum Mawlawi atau Maulana merupakan seorang pendidik agama atau guru.Karena itu sejak kedatangan Mawlawi Abdulah bersama saudara perempuannya warga setempat di empang memanggilnya dengan panggilan Tuan Guru. Di Empang Tuan Guru berhubungan erat dengan ulama-ulama di Bogor terutama dengan Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad dan ulama allawien lainnya.

Sedangkan saudarinya Kanamzahan, warga empang akrab menyebutnya dengan panggilan "Ibu Negri". Ibu Negri menjadi satu-satunya perempuan pendatang asal Hindustan yang menetap di Bogor hingga akhir hayatnya. Ibu Negri bertubuh besar dan selalu mengenakan shalwar kameez pakaian khas afghanistan yang biasa digunakan oleh wanita suku Pasthun di Peshawar. Shalwar adalah celana bergelembung besar pada bagian paha hingga betis tapi dibagian bawahnya menyempit seperti celana ali baba dari negeri 101 malam di Bagdad. Adapun kameez adalah blus yang panjangnya sampai ke lutut. Shalwar dan Kameez berasal dari bahasa arab yaitu sirwal dan qamis. Orang-orang Hadramaut terbiasa menyebutnya Gamis.

Perempuan suku Pushtun memiliki karakter yang kuat, rajin dan setia. Perempuan suku Pushtun terbiasa melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga dan juga membantu suami mereka di ladang. Karakter tersebut terbentuk oleh budaya mereka dan karakter itu ada pada Ibu Negri. Ibu Negri yang disapa amah oleh anggota keluarganya seolah menjadi tulang punggung dan penentu dalam urusan rumah tangga keluarga besarnya. 

Amah diambil dari kata nanimah yang dalam bahasa urdu artinya nenek. Satu-satunya bahasa yang digunakan oleh Ibu Negri adalah bahasa Pasthun dan sedikit menguasai bahasa Melayu. Peran Ibu Negri dalam keluarga besarnya menjadi penting karena Ia mengajari memasak makanan khas negrinya kepada istri-istri wanita pribumi kedua anaknya, dan juga kepada Aisyah istri saudara sepupunya Alladad Khan. 

Tuan Guru Mawlawi Abdullah wafat pada masa pendudukan Jepang. Sebelum wafatnya Tuan Guru beberapa hari sempat membisu, juga tidak mau makan dan minum hingga akhirnya ditandu pulang dari tempatnya menetap di kediaman saudara sepupunya Alladad Khan di Jalan sedane, yang lokasinya berada dekat dengan sebuah istal kuda (kandang kuda), menuju ke rumah ibu Negri saudari kandungnya di muka masuk gang tengah (sekarang pasar ledeng). Tuan guru menghembuskan nafas terakhirnya diatas kursi yang ditandu, persis di gapura pintu masuk rumah saudarinya. sedangkan Ibu Negri wafat 17 Agustus 1950. Keduanya dimakamkan di TPU Dreded Bogor. 

Dua bersaudara Haji Abdul Kadir dan Habiburrahman menikah dengan wanita pribumi Sunda. Tapi istri ketiga Abdul Kadir adalah wanita peranakan pakistan anak totok Hindustan yang sudah menetap lama di Cisaat- Sukabumi. Abdul Kadir sempat menikah untuk yang kedua kalinya dengan ibu mertua K.H Maksum atau terkenal dengan panggilan mualim Maksum, tokoh dan ulama organisasi Persatuan Umat Islam (PUI) di kota Bogor. Istri pertama Haji Abdul Kadir adalah Siti Rohani anak seorang pribumi Hadji Abdoel Moetholib dari Desa Tjiboeloeh di districht Kedoeng Halang-Boeitenzorg.

Haji Abdul Kadir wafat di Cisaat-Sukabumi tahun 1986, sedangkan adiknya Habiburrahman wafat di Empang-Bogor dan dimakamkan di TPU Dreded pada tahun 1983. 

Pendatang berikutnya adalah Abdul Aziz Mawn. Ia berasal dari wilayah Punjab di Hindustan yang setelah pembagian Kemaharajaan Britania, kota kelahirannya menjadi bagian dari negara Pakistan. Abdul Azis Mawn menikahi Aisjah puteri pasangan Abdul Azis dan Fatimah. Di Empang orang-orang lebih akrab menyapanya dengan panggilan Ka Ecah Pakurudin, nama beken yang justru diambil dari nama kakeknya Toean Fachroeddin. 

Salah seorang puteranya Afzal, aktif dalam kegiatan kepemudaan di Empang. Ia ikut ambil bagian pada gelombang aksi eksponen 66 bersama KAPPI dan KAMI dalam  menumpas komunisme. Afzal juga termasuk salah satu pemain andalan klub sepak bola di kota Bogor dan aktif menjadi anggota kesatuan unit Drum Band Al-Irsyad cabang Bogor.

Afzal putera Abdul Azis Mawn anggota unit Drum Band Al-Irsyad Bogor 1965

Abdul Aziz Mawn wafat dalam lawatan bisnisnya di Singapura dan di makamkan di kota itu pada tahun 1960. 

Berdaulatnya negara Pakistan  setelah pemisahan dengan India, Hubungan Indonesia yang sebelumnya sudah terjalin erat terutama antara Sukarno dan Muhammad Ali Jinnah ditandai dengan pertukaran misi diplomatik antara kedua negara. Duta pertama Indonesia untuk Pakistan ditunjuk Mr.Idham, sedangkan Dr Omar Hayat Malik Khan dilantik sebagai Duta Besar Pakistan yang pertama untuk Republik Indonesia yang memulai tugasnya di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1950. Bagi Sukarno bulan Juni adalah bulan bersejarah, pada bulan ini Sukarno dilahirkan dan pada 1 Juni itu pula Pancasila sebagai falsafah negara dikukuhkan. Karena itulah Sukarno memilih tanggal 1 Juni untuk penugasan pertamanya kepada perwakilan negara sahabatnya Pakistan di Indonesia. Bagi Sukarno Pakistan punya tempat khusus untuk bangsa Indonesia dan  bahkan dirinya pernah menyatakan telah berhutang nyawa kepada Pakistan. Atas bantuan Tabib Sher totok Pakistan di Jakarta, Sukarno selamat dari kepungan dan sergapan tentara sekutu setelah mendapatkan bantuan dan diamankan oleh pasukan Gurkha yang anggota kesatuannya mayoritas adalah tentara muslim yang berasal dari Pakistan. 

Pada masa pendudukan tentara sekutu ke Indonesia yang diboncengi oleh Belanda, Bapak pendiri Pakistan Muhammad Ali Jinnah yang bersimpati terhadap perjuangan Umat Islam Indonesia telah mendorong kepada tentara muslim yang tergabung dalam tentara Kemaharajaan Britania untuk bersimpati dan membantu rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan penjajahan Belanda. Akibatnya tidak kurang dari 600 tentara Gurkha yang beragama Islam kemudian membelot dan bergabung dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia. sebanyak 500 orang diantaranya gugur di medan jihad dan yang selamat antaranya adalah Zia-ul-Haq mantan Presiden Pakistan yang pernah bertugas di kota Surabaya dan menjadi saksi Gema Takbir bergema tatkala menjadi pekik perjuangan melawan penjajah oleh Bung Tomo.

Setelah dalam penugasannya sebagai Duta Besar Pakistan yang Pertama untuk Indonesia (1950 - 1951). Dr. Omar Hayat Malik Khan berksempatan mengunjungi masyarakat Pakistan yang berada di kota Bogor dan kedatangannya disambut serta diterima dengan hangat di kediaman Abdul Azis Mawn Jalan Lolongok No.12 Empang Bogor. Dr. Omar Hayat Malik Khan juga pernah berziarah dan menaburkan bunga di atas pemakaman para syuhada eks tentara muslim yang tergabung dalam pasukan Gurkha dan gugur bersama dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia di Jawa Timur. (Peranan Pakistan di masa revolusi kemerdekaan Indonesia: mengenang jasa "tentara" Pakistan bergabung dengan pejuang RI tahun 1945-1948. Ditulis oleh Firdaus Syam dan Zahir Khan).

Presiden Sokarno sedang berpidato di hadapan Duta Besar Pakistan untuk Indonesia Dr. Omar Hayat Malik Khan didampingi oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, Duta Besar Indonesia di Pakistan Mr. Sjamsuddin dan Sekretaris Kabinet Mr. A.K. Pringgodigdo serta pejabat negara Indonesia setelah menerima surat-surat kepercayaan dari Duta Besar Pakistan untuk Indonesia Dr. Omar Hayat Malik Khan di Istana Merdeka


Dr. Omar Hayat Malik Khan adalah diplomat Pakistan yang pernah mendapatkan tugas sebagai Duta Besar di beberapa negara. Ia berdarah Peshawar dari suku Pusthun, karena itu dengan Alladad Khan keduanya memiliki kedekatan dan hubungan yang spesial. Bahkan sering kali hampir setiap akhir pekan Alladad Khan selalu dijemput oleh sopir pribadinya Ubaidillah Khan untuk menemaninya di rumah pesenggrahan dinasnya yang berada di Jalan Ceremai Sempur Bogor. Demikian pula sebaliknya dengan Dr. Omar Hayat Malik Khan, Ia juga sering datang bertandang tanpa protokoler ke kediaman Alladad Khan di Jalan Lolongok Tengah No.4. Dr.Omar Hayat Malik Khan wafat di Peshawar pada 28 Mei 1982.


Dr. Omar Hayat Malik Khan (no.4 dari kanan)  di kediaman Abdul Azis Mawn


Alladad Khan tiba di Buitenzorg di akhir tahun 1939. Ia berkerabat dekat dengan Tuan Guru dan Ibu Negri yang berasal dari suku Pusthun. Lahir tahun 1889 disebuah distrik yang bernama Ila Hazara di kota mansehra, kini menjadi bagian dari Provinsi  Perbatasan Barat Laut atau North West Frontier Province Pakistan yang beribu kota Peshawar. Secara genetika Ia mengklaim sebagai seorang afghani, termasuk kultur, fisik dan karakter yang ada pada dirinya. 

Pashtun atau Pushtun atau ada juga yang menyebutnya Pattan adalah suku yang terdapat di Peshawar dan tersebar di Afghanistan. Suku besar Pattan terdiri dari puluhan suku yang orang-orangnya lazim menyandang gelar KHAN di depan namanya. Suku Pattan disebut-sebut keturunan dari Raja Afghana cucu Raja Saul. Tapi ada juga yang menyebutkan nenek moyangnya berasal dari bangsa Arya kuno. 

Suku Pushtun dikenal ramah, perhatian,baik dan loyal terhadap sahabat, namun terhadap musuh-musuhnya mereka sangat tidak mengenal kompromi. Kehidupan mereka sangat didedikasikan untuk keyakinan agama mereka dan kehormatan diri, suku dan bangsanya.

Suku Pushtun telah memainkan peran penting di Pakistan dan Afghanistan dan bahkan di India. Dari suku inilah lahir para pemimpin muslim, agamawan, politisi, birokrat, ilmuan, tentara, intelektual, budayawan hingga seniman dan aktor ternama bollywood. 

Claim keluarganya memiliki garis keturunan yang sampai kepada Syeda Bibi Fatima-tuz Zahra (R.A) yang menikah dengan Hazrat Ali ibne Abu-Talib (R.A), (Kalifah ke-empat Khulafa Ur Rashideen) dan yang juga sepupu Muhammad Rasulullah Salallahu alaihi wassalam. Penyebaran keturunan Hazrat Ali dari sahara arabia ini disebut-sebut hingga ke Khyber Pakhtunkhwa, dan dari itulah kemudian keturunannya memiliki pengaruh dan ada yang menjadi penguasa dalam bentuk monarki dan spiritual di Afghanistan dan Peshawar, hingga menyebar luas keseluruh wilayah Hindustan.

Claim itulah yang kemudian di depan namanya berhak menyandang gelar syed atau sayyid. Selain gelar syed, di awal dan di akhir namanya tertulis Khan. Nama clan Khan dalam pengulangan tersebut sebagai penegas bahwa ia merupakan suku pasthun atau pattan yang bergaris keturunan kepada Hazrat Ali radiallahu'anhu. Alladad Khan sendiri tidak memakai gelar syed itu didepan namanya, demikian juga pengulangan nama clan Khan diawal dan di akhir namanya tersebut. Tapi ayahnya menulis namanya dengan Syed Khan Mehmoud Khan begitu juga dengan datuknya Syed Khan Seid Khan

Di negara asalnya Pakistan, Alladad Khan pernah ikut dalam pemberontakan melawan pemerintahan kolonialisme Inggris di bawah pimpinan Liaquat Ali Khan. Liaquat Ali Khan adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam pembagian India dan kemerdekaan Pakistan tahun 1947. Karena itu jiwa nasionalismenya untuk negara Pakistan tidak pernah pudar. Pada setiap hari peringatan kemerdekaan Pakistan Ia tak pernah luput untuk mengibarkan bendera kebangsaannya di halaman rumahnya pada setiap tanggal 14 Agustus sejak berdaulatnya Pakistan tahun 1947. Bendera itu dibuat dan dijahit sendiri oleh istrinya Aisyah, dan kini bendera itu masih tersimpan rapih oleh penulis.


Bendera Kebangsaan Negara Pakistan

Alladad Khan juga aktif mengikuti perkembangan negaranya baik melalui radio dan informasi yang diperolehnya dari kedubes Pakistan di Jakarta, diantaranya majalah bulanan Pakistan yang diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia. Majalah itu tidak hanya disebarkan kepada masyarakat Pakistan yang ada di Bogor, juga dibagikan secara rutin kepada sahabat-sahabat Hadharimnya, baik dari kalangan wulaiti dan juga peranakan Arab yang ada di Bogor. Bahkan pada setiap National Day yang selalu dihadirinya di kantor Kedubes di Jakarta, Ia kerap kali mengajak serta aktivis Pemuda Al-Irsyad Bogor. Tujuannya adalah memperkenalkan idiologi Islam sebagai landasan perjuangan kemerdekaan Pakistan dan memperkenalkan pemikiran Iqbal.

Sebelum tiba di Jawa, Alladad Khan sempat menetap dan berniaga di singapura untuk kemudian melanjutkan perjalanannya ke Krui di Sumatra (sekarang Provinsi Lampung). Di Krui ia pernah tinggal dengan keluarga saudagar Arab asal Yaf'ie-Yaman dari fam Al  Bathati. Di dekat danau Ranau yang terkenal sudah lebih dulu ada dua bersaudara pendatang asal Peshawar yang menetap di pulau Sumatra, mereka adalah Abdurrahman Khan dan Abdul Qoyyum Khan yang berkerabat dekat dengan Alladad Khan dan juga bersaudara kandung dengan Tuan Guru dan Ibu Negri. 

Setiba di Jawa Alladad Khan menikahi Aisyah binti Salim, wanita pribumi dari suku Betawi kelahiran kampung Rawa Belong yang sudah menetap cukup lama di Pekojan Batavia. Nama Aisyah adalah nama baru pemberian Tuan Guru saat sebelum ijab qabul dipernikahannya, sedangkan nama lahirnya adalah Siti Moeanah. Aisyah tinggal bersama famili dekat dari pihak ibunya yang juga bekas ibu mertua dari suami pertamanya anak saudagar peranakan Arab Syech Oemar Tharmoom di kampung Janis Pekojan. Jide Salme atau Salmah nama pemberian ayah angkatnya yang bernama asli muhiyeh ini adalah bekas ibu mertuanya, anak asuhan Syech Muhammad Al Baghowi seorang saudagar pendatang asal Hadramaut yang tinggal di Pekojan Batavia.

Alladad Khan wafat di Bogor pada hari sabtu pukul 21.00 tanggal 18 Januari 1969. Dimakamkan esok harinya pada Ahad 19 Januari pukul 10 pagi. Jenazahnya diantar tidak kurang dari seribu orang pelayat ke TPU Dreded Bogor. Kedekatan Alladad Khan dan dikenal karena dekatnya beliau dengan tokoh dan para peranakan arab di Bogor, jenazahnya sempat akan dimakamkan di pemakaman orang-orang arab wakaf sjech Abdurrahman Bajened di Los. Salah seorang puterinya, ibu dari penulis yang menikah dengan Abubakar bin Abdullah Batarfi, dimakamkan dalam area pemakaman wakaf tersebut. 


Allahdad Khan dan keluarganya

Muhammad Rasyid adalah totok Pakistan terakhir yang menetap dan tiba di Empang sesudah Indonesia merdeka tahun 1947, atau bersamaan dengan tahun kemerdekaan Republik Islam Pakistan. Muhammad Rasyid mempersunting wanita peranakan India generasi ketiga puteri pasangan Abdul Aziz dan Fatimah. Dalam komunitas warga Pakistan, Ia adalah koordinator terakhir Pakistan Leaque di Bogor. Muhamad Rasyid wafat di Bogor pada 25 Mei 1977.

Muhammad Rasyid

Di Empang sejak etnis asal Hindustan dikelompokan kedalam koloni Arab oleh Pemerintah kolonial, hubungan terjalin sangat harmonis. Para peranakan  Hindustan yang selanjutnya ditulis Pakistan berbaur dan menyatu seolah satu etnis yang sama, berkomunikasi dalam campur kode dan kata bahasa arab kaum peranakan, juga ditempa oleh lembaga pendidikan yang sama dan bahkan diantaranya kawin mawin sehingga terbentuk ikatan kekeluargaan dan menguatnya hubungan emosional dalam pertalian persaudaraan yang lebih erat. Mereka juga memiliki ikatan emosional saling berkaitan dan bertalian dengan pribumi, karena ibu-ibu mereka adalah wanita pribumi.

Demikian pula dalam hal makanan, sama-sama penyuka olahan daging kambing dengan cita rasa yang khas. Termasuk menu khas cane atau disebut roti mariyam dikalangan Hadharim. Hanya saja tekstur roti cane atau capati sedikit berbeda. Cane, capati atau roti mariyam dan sayur kare kini sudah memasyarakat di kota Bogor setelah dikembangkan menjadi bisnis kuliner oleh Kanung Bogor dan memiliki nama yang unik yaitu Roti Konde. Kanung Bogor menjadi pionir industri makanan khas Timur Tengah, dan bahkan sekarang sudah menjadi makanan khas Bogor.

Di Empang Alladad Khan akrab disapa ami ladad oleh anak-anak peranakan Arab, sebuah panggilan yang lazim kepada orang yang sudah dituakan dalam kalangan Hadharim. Ami ladad bergaul dengan arab totok (wulaiti) dan ada dalam majlas-majlas bersamanya. Sebagaimana rutinitas khas kaum hadharim di setiap koloni. Dahulu di Empang tempat berkumpulnya kaum wulaiti berpindah-pindah karena sohibul bet meninggal dunia, beberapa tempat kumpul yang terkenal di kediaman Salim Audah di Lolongok, Said Nahdi di Pekojan, Faradj bin Thalib di Sedane dan terakhir setelah generasinya hampir hilang dikediaman Mar'i Bisyir di gang kerupuk. Dalam majlas itu mereka membicarakan banyak hal, termasuk politik dan usaha (bisnis) masing-masing.

Dalam hal pemikiran dan perbedaan pemahaman pandangan keagamaan, totok Pakistan cenderung tidak menunjukan keberpihakan dengan mencolok. Para pendatang yang berasal dari punjab dipandang cenderung kepada pemahaman tradisional, atau sebagian dari mereke dapat disebut sebagai muhibbien. Sedangkan yang berasal dari Peshawar coraknya lebih ke arah gerakan pembaharuan modernis Islam seperti Al-Irsyad. Terutama para peranakannya hingga kini. Alladad Khan contoh diantaranya, Ia akrab dengan kalangan dan tokoh Al-Irsyad Bogor, berhubungan dan bersahabat karib dengan para ulama Al-Irsyad. Meski Ia juga memiliki hubungan yang cukup erat dengan kalangan tokoh-tokoh allawien terutama Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad dan anaknya Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Bertemunya kaum totok hadharim dan pakistan di masjid alawien adalah saat pelaksanaan sholat dua hari raya.


        Allahdad Khan bersama warga Al-Irsyad Bogor

Antar para pendatang Pakistan totok, hubungan mereka di empang terjalin cukup baik dan diantaranya ada yang sangat dekat. Selain memiliki ikatan emosional karena sebangsa, juga sama-sama berada di negeri Almahjar (tempat hijrah). Dewasa ini di Indonesia khususnya di Jakarta, hubungan persaudaraan dikalangan generasi pemuda keturunan Pakistan terjalin kembali dengan tidak melihat asal usul dari India maupun Pakistan. Mereka membuat komunitas 786 yang awalnya berbasis medsos karena kesamaan satu agama. Secara kelembagaan mereka membentuk Yayasan Persaudaraan yang dahulu dibeberapa tempat forum tersebut dinamakan Pakistan League. Selain kegiatan berbasis sosial, Yayasan Persaudaraan di Jakarta selapas Iedul Fitri senantiasa menyelenggarakan Halal Bi Halal untuk memperkuat silaturrahim kaum peranakan India dan Pakistan muslim yang datang dari berbagai daerah diluar Jakarta.

Beberapa keluarga Pakistan dan India muslim ada yang masih memelihara tradisinya dengan baik, termasuk cara berpakaian kaum wanitanya, walaupun sudah termodifikas dan pada umumnya sama dengan pakaian wanita peranakan Arab pada umumnya.Kaum wanitanya dahulu berkain batik dan berkebaya tapi sekarang mereka sudah memakai abayah. Sedangkan untuk kaum lelaki totoknya dahulu mereka menggunakan songkok Qarakul bagi yang berasal dari Pakistan.Songkok ini menjadi ciri khas bapak pendiri Pakistan Muhammad Ali Jinnah, karena itu songkok ini dibeberapa tempat dinamakan Qarakul Jinnah. 

Penggunaan bahasa urdu lazim digunakan diantara Pakistan totok, sedangkan bahasa suku pasthun dipakai oleh mereka yang berasal dari peshawar. Kosa kata bahasa urdu ada yang masih dipergunakan walaupun sangat terbatas dan sangat sedikit yang menggunakannya diantaranya hanya untuk istilah-istilah panggilan dalam kekerabatan seperti bajih (kakek),nani (nenek), caca (paman),caci (bibi),mamu (paman dari pihak ayah) dan baiya (kaka laki-laki pengucapan bey).

Beberapa istilah nama makanan yang masih dikonsumsi oleh kaum peranakan pakistan antaranya adalah sayur dal atau dalca serupa dengan dujjur nama di Jawa, yaitu gulai kacang hijau. Juga ada sayur kare, nasi briyani, dan sayur pacri. Sayur pacri berbahan dasar olahan daging seperti gulai yang dipadu dengan sayuran seperti terung dan buah nenas. Dalam hal minuman mereka para pendatang pakistan terbiasa membuat teh susu yang menggunakan rempah dari kapulaga, hindustani menamakannya chai, dan dewasa ini setelah menjamurnya resto-resto arabian food di Indonesia, minuman ini populer disebut sahi adeni. Chai atau sahi adeni setiap hari menjadi minuman khas dan rutin kaum totok pakistan. Mereka meminumnya di sore hari selepas sholat ashar. Demikian juga kebiasaan santap rutin setiap pagi makan roti cane yang kadangkala dipadu dengan sayur dal atau dalca, sesekali dengan sayur kare kambing.

Kontribusi para pendatang asal Pakistan untuk kemerdekaan Indonesia juga tercatat dalam sejarah. Sejak pendaratan pasukan tentara sekutu yang di boncengi oleh NICA ke Indonesia yang menyertakan di dalamnya pasukan British India dari Resimen Gurkha, sebagian besar dari mereka yang  beragama muslim yang ditempatkan di Bogor sering berkunjung menemui totok Pakistan yang menetap di Empang. Mereka berkomunikasi dengan bahasa yang sama. Sebagaian dari pasukan Gurkha tersebut ada yang berasal dari Peshawar dan dengan Alladad Khan komunikasinya menggunakan bahasa Pasthun. Pasukan Muslim Gurkha datang dari markasnya di sekitaran istana Bogor menemui Alladad Khan yang kala itu masih tinggal di Jalan Sedane. Tak jarang kedatangan mereka lengkap dengan kendaraan perangnya seperti Teng Baja atau lisan sunda menyebutnya teng waja. Tentu saja menjadi tontonan gratis warga setempat, bahkan anak dan kerabat Alladad Khan berkesempatan menaikinya. Jumlah puluhan personil pasukan Gurkha tersebut tidak hanya bertandang ke rumah Alladad Khan saja, akan tetapi menemui para pendatang Pakistan totok lainnya.

Dari totok Pakistan yang menetap di Empang inilah para tentara Gurkha mendapatkan informasi dan gambaran utuh tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mayoritas rakyatnya adalah Muslim. Tentara Gurkha muslim menjadi bersimpati dan bahkan ada yang membelot serta menyalurkan senjatanya buat para pejuang Indonesia. Beberapa eks pasukan Gurkha bahkan ada yang tidak kembali pulang, mereka beristrikan wanita pribumi sunda dan menetap di Bogor.

Sejak setelah tahun 1947, di setiap tahunnya warga masyarakat Pakistan hampir tak pernah absen menyelenggarakan peringatan hari kemerdekaannya yang selalu dilangsungkan di Gedung Nasional Bogor di bekas Buitenzorgsche Wedloop Societeit yang dibangun sejak 1853. Sejumlah tokoh nasional selalu dihadirkan termasuk antaranya  Mr.Mohammad Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya. Wulaiti kaum totok Hadharim dan peranakannya juga diundang dan ikut menghadiri peringatan ini yang juga senantiasa dimeriahkan oleh penampilan pasukan seruling Drum Band dari Kepanduan Al-Irsyad Bogor. Bahkan yang unik, acara yang dimotori oleh Alladad Khan ini, disetiap acara pembukaannya selalu ditampilkan mars Al-Irsyad.

Suasana National Day Pakistan 
di Gedung Nasional
Berbicara di atas podium Abdul Kadir
Duduk dimuka Alladad Khan (kiri) Abdul Azis Mawn (kanan)

Pasukan seruling "Corp Drum Band" Al-Irsyad Bogor berbaur dalam kemeriahan National Day Pakistan setelah tampil dalam pembukaan acara tersebut di Gedung Nasional Bogor

Tulisan ini dibuat untuk mengenang tokoh yang menjadi suri tauladan penulis yaitu Allahyarham Alladad Khan yang juga ayah dari Ibunda penulis Allahyarhamha Zainab binti Alladad Khan dan kenangan disertai doa untuk ibu yang melahirkannya dan penulis sayangi dengan segenap hati dan jiwa Allahyarhamha Aisyah binti Salim, dan juga dua orang tercinta anak-anaknya Noorzehan binti Alladad Khan dan Zubaidah binti Alladad Khan. Kenangan penghormatan dan Doa untuk "Tuan Guru" dan "Ibu Negri", karib kerabat yang sudah wafat dan dua bersaudara anak-anak Ibu Negri yaitu Almaghfirlahum Abdul Kadir dan Habiburrahman. 

Kenangan penghormatan dan doa untuk anak dan keturunan Almaghfirlahum Toean Fachroeddin dan Toean Sharifoeddin. Dan doa khusus untuk Allahyarham Haji Alidji Umar bin Amar Amandji, Abdul Azis Mawn dan Muhammad Rasyid.

Semoga Allah merahmati mereka yang sudah wafat dan yang tertulis nama-namanya dengan ampunan dan ridhonya Allah SWT, dikumpulkan di Jannah-Nya bersama shalihin dan syahidien.

Abdullah Abubakar Batarfie 

4 Komentar untuk "Miss Rijan dan Ibu Negri di Empang"

  1. Saya berumur 74 th ,lahir di kota Bogor,tentu saja bisa lebih menghayati tulisan antum,syukron atas infonya.

    BalasHapus
  2. Info tambahan,saya pernah mengenal seorang ex Gurkha th.1972 dan telah menikah dgn warga (urang sunda-ciwaringin)) Bogor dan mereka dari dahulu telah bermukim lama di Jampang Kulon,Sukabumi.

    BalasHapus
  3. masya Allah...pengalaman dan pemgetahuan antum akan sangat bermanfaat untuk perbendaharaan sejarah ini. Jazakallah atas apresiasinya.Syukron

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel