Sejarah Shalat Idul Fitri di Lapangan dan Ijtihad Trio Mujaddid di Kota Bogor
Shalat Iedul Fitri di Halaman Istana Bogor
Dahulu, di kampung Arab Empang, suasana istimewa selalu menyelimuti keluarga peranakan Hadrami setelah shalat Subuh di hari Lebaran. Dalam pagi yang masih diselimuti oleh kegelapan, manisnya kue lapis dan aroma secangkir kopi Bah Sipit menyambut mereka dengan penuh kehangatan sebelum beranjak untuk bersiap diri menuju tempat shalat Idul Fitri. Semua itu disertai dengan lantunan merdu lagu Oum Kalthoum yang mengalun memikat hati, melengkapi keharuman dan keceriaan pagi mereka.
Sementara itu, di berbagai sudut kampung, masjid, dan mushola, takbir dan tahmid terus bergema, bahkan ada yang sudah mulai mengumandangkan suaranya sejak semalam. Beduk juga berbunyi riuh bergemuruh, mengiringi keheningan malam dan menyambut kedatangan hari yang suci dengan semangat yang membara, hingga tiba waktu shalat Idul Fitri, baik di masjid maupun di tempat terbuka.
Umumnya, warga peranakan Arab di Empang memilih untuk melaksanakan shalat Idul Fitri di dua lokasi, yaitu di masjid dan di ruang terbuka. Masjid An-Nur sering menjadi pilihan bagi warga peranakan Arab dari golongan Allawien dan Muhibbien. Sementara itu, kalangan Irshadi cenderung memilih untuk shalat di tempat terbuka.
Di Kota Bogor, pelaksanaan shalat Idul Fitri di tempat terbuka tetap mengikuti tradisi seperti tahun-tahun sebelumnya. Beberapa lokasi menjadi pilihan utama bagi warga, tiga di antaranya telah menjadi favorit sejak semakin banyaknya pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha di tanah lapang. Selain di halaman kampus IPB di Baranangsiang dan lapangan Sempur, kini lokasi yang paling diminati adalah di dekat taman Astrid yang terletak di dalam Kebun Raya Bogor.
Penanggung jawab penyelenggaraan shalat Idul Fitri di Taman Astrid dari tahun ke tahun adalah takmir Masjid Kifayatul Abidin. Nama Kifayatul Abidin kabarnya diberikan oleh pelukis senior Indonesia beraliran Moi Indie, Oemar Basalmah. Beliau adalah seorang pelukis keturunan Arab yang ikut serta dalam pembangunan masjid pertama di dalam Kebun Raya Bogor. Namun, masjid bergaya country dengan menggunakan kayu jati itu kemudian tidak lagi digunakan. Sebagai gantinya, dibangun sebuah masjid megah dan besar di sebelahnya atas prakarsa H.M. Soeharto, di bawah naungan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila.
Pelaksanaan shalat Idul Fitri di lapangan untuk Kota Bogor rupanya memiliki sejarah yang panjang. Shalat Idul Fitri pertama kali dilaksanakan di lapangan pada tahun 1950-an. Pada masa itu, shalat lebaran di tanah lapang masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim, bahkan sering kali mendapat cemoohan dan ejekan. Penyelenggaraan shalat Idul Fitri pada waktu itu dilaksanakan di lapangan Sempur, dengan ustadz Atmawidjaja sebagai imam sekaligus khatibnya. Inisiatif tersebut berasal dari Al-Irsyad cabang Bogor yang bekerja sama dengan organisasi sehaluan seperti Persyarikatan Muhammadiyah dan Jam'iyyah Persatuan Islam.
Pada masa revolusi, akibat situasi politik yang mengkhawatirkan akan keamanan pada jamaah shalat Ied, pada tahun enam puluhan, shalat Idul Fitri yang biasanya dilaksanakan di Lapangan Sempur dipindahkan ke halaman Istana Bogor. Jumlah jamaahnya semakin membludak, tidak hanya berasal dari warga tiga organisasi Islam sehaluan yang dikenal sebagai "trio mujaddid," tetapi juga dari berbagai lapisan masyarakat lainnya.
Entah sejak kapan, dari Istana kemudian dipindahkan ke halaman Institut Pertanian Bogor, tetapi yang pasti, sejak awal, shalat di lapangan terbuka telah menjadi sebuah "identitas" bagi organisasi-organisasi tajdid. Tujuan diadakannya shalat Idul Fitri di tanah lapang adalah sebagai bagian dari gerakan dakwahnya dalam menyebarkan dan memurnikan ajaran Islam. Mereka meyakini bahwa shalat di lapangan terbuka sudah sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Sejak dipindah dari Sempur ke Baranangsiang, yang dulunya dikenal sebagai Kedoeng Halang, tempat berdirinya gedung kampus IPB yang dirancang oleh F. Silaban dengan gaya Indies pada tahun 1952. Shalat Idul Fitri di halaman kampus IPB pada tahun tujuh puluhan hingga delapan puluhan diimami dan dikhatibkan oleh ulama-ulama eks tokoh Masyumi seperti KH Soleh Iskandar, KH Toebagoes Hassan Basri, KH Siddiq Atmawidjaja, dan lainnya. Tentu saja, selain pesan nasihat untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ibadah para jamaah pasca Ramadan, tak jarang pula terdapat kritik tajam yang disampaikan kepada para penguasa, seperti yang terdapat dalam lirik lagu "Selamat Hari Lebaran" yang diciptakan oleh Ismail Marzuki, yang menyampaikan pesan moral kepada para pemimpin negeri.
Tengah KH Soleh Iskandar diapit oleh KH Nur Ali (kiri) dan KH M.Natsir (kanan)
Hingga mencapai tahun sembilan puluhan, antusiasme masyarakat yang mengikuti shalat Idul Fitri di halaman kampus IPB, yang kemudian diberi tambahan nama Baranangsiang, tidak pernah surut. Jumlah jamaahnya melimpah hingga memenuhi jalan raya, bahkan sampai ke taman terluar kampus yang kini menjadi Botani Square di Jalan Raya Pajajaran. Tugu Kujang menjadi tempat favorit bagi remaja dan pemuda keturunan Arab Empang untuk berfoto bersama. Dari generasi ke generasi, momen bahagia tersebut selalu diabadikan di depan tugu yang menjadi ikon kebanggaan warga Kota Bogor.
Kini penyelenggaraan shalat Idul Fitri di tanah lapang semakin meriah, dengan lokasinya tersebar di hampir setiap sudut dan tidak lagi menjadi persoalan klasik yang mengundang polemik. Para penyelenggaranya berasal dari beragam latar belakang, mulai dari organisasi masyarakat, komunitas, instansi pemerintah, hingga tingkat RW yang menyelenggarakan shalat di lapangan badminton. Bahkan di Bogor, kita bisa menemukan lokasi shalat Idul Fitri yang hampir berdekatan, seperti di Kebun Raya yang hanya berjarak beberapa puluh langkah dari gedung IPB.
Selain perdebatan tentang Imkanur-rukyat yang telah berlangsung sejak zaman dahulu, yang sering kali menimbulkan perbedaan dalam penetapan waktu Idul Fitri, kini bahkan ada yang sibuk mencari masalah baru terkait dengan urusan tek-tek bengek, seperti kontroversi seputar ucapan "minal aidin wal faidzin" yang konon katanya tidak sesuai dengan sunnah.
Penyelenggaraan shalat Idul Fitri sering dilakukan di lokasi yang berdekatan, baik pada hari yang berbeda karena perbedaan penentuan 1 Syawal, maupun pada waktu yang sama. Sebagai contoh, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia di Kota Bogor pernah mengadakan shalat Idul Fitri di basement parkiran Giant Botani Square, yang terletak tepat di samping kampus IPB. Selain itu, shalat Idul Fitri di Lapangan Sempur oleh Muhammadiyah juga menjadi contoh lainnya, yang letaknya hanya berjarak kurang dari 500 meter dari Kebun Raya dan IPB.
Yang terbaru adalah di Balai Kota Bogor. Penambahan lokasi baru justru memecah belah jamaah yang sebelumnya berkumpul dengan padat di halaman kampus IPB. Terutama di Taman Astrid, kehadiran artis seperti Syahrini menarik perhatian sebagian jamaah perempuan untuk bersalaman dan berfoto bersama, dengan harapan bisa mengunggahnya sebagai status di platform media sosial sebagai bukti mereka bertemu dengan selebriti Indonesia terkenal.
Jika diperhatikan, animo untuk shalat Idul Fitri di tanah lapang saat ini mungkin tidak semata-mata karena pemahaman akan sunahnya shalat di tempat terbuka, melainkan lebih karena tren. Contohnya, di Taman Astrid, yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar, shalat Idul Fitri nyaris tidak terlihat sama sekali, dan hilangnya aspek syiar yang menjadi tujuan utama dari shalat di tempat terbuka. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara shalat Idul Fitri di masjid dengan di dalam Kebun Raya, kecuali tidak adanya atap dan dinding seperti bangunan masjid.
Dengan perubahan aktivitas di Kampus IPB Baranangsiang yang kini tidak sepadat seperti dulu karena dipindahkan ke lokasi baru di Dramaga, dan penyelenggaraan shalat Idul Fitri yang tidak sebanyak dulu karena tersebar di banyak lokasi baru yang saling berdekatan, penting untuk mengevaluasi kembali pesan-pesan khotbah yang disampaikan oleh DKM Al-Gifari, yang saat ini bertanggung jawab sebagai penyelenggara. Pesan-pesan khotbah yang kurang menginspirasi, datar, dan tidak memanfaatkan momentum yang terjadi setahun dua kali, bahkan terkesan kurang berbobot baik dari segi imam maupun khotibnya, dengan bacaan khotib yang kadang kala kurang lancar. Lebih lanjut, durasi khotbah yang panjang, ditambah dengan banyaknya laporan dari panitia, justru mengurangi durasi bacaan takbir yang disunahkan. Semua ini dapat menyebabkan berkurangnya jumlah jamaah yang hadir dalam shalat Idul Fitri di halaman Kampus IPB. Diperlukan evaluasi mendalam untuk meningkatkan kembali semangat dan kualitas dari acara yang begitu penting ini.
Bogor 3 Syawal 1439 H, diperbaharui kembali pada 25 Maret 2024.
Abdullah Abubakar Batarfie
Posting Komentar untuk "Sejarah Shalat Idul Fitri di Lapangan dan Ijtihad Trio Mujaddid di Kota Bogor"
Posting Komentar