Syech Ahmad Surkati, dan Derita Jamaah Haji Indonesia pada zaman penjajahan Belanda
Kiprah Syech Ahmad Surkati dalam membantu Derita Dan Sengsara Jamaah Haji Indonesia pada masa penjajahan Belanda
Lebih dari 2.3 juta umat Islam dari berbagai penjuru di dunia pada tahun ini (Dzulhijjah 1438.H/September 2017.M, telah berkumpul di padang Arofah dan sudah mengakhiri penyempurnaan serangkaian rukun Ibadah hajinya di Tanah Suci Mekah Al Mukarromah. Menurut informasi yang direlease dari situs kementerian Agama RI, jumlah jamaah haji tahun ini merupakan tahun terbanyak termasuk dari Indonesia.
Majalah Pandji Poestaka
diterbitkan di Batavia Tahun 1922
Hasrat umat Islam Indonesia untuk melaksanakan kewajiban rukun Islam kelima tersebut tak pernah surut sepanjang zaman. Sudah sejak berabad-abad lamanya umat Islam di Nusantara berdatangan silih berganti tak henti berlayar sepanjang musim haji ke tanah suci Makah dan berziarah ke Masjid Nabawi di Madinah.
Di masa zaman penjajahan kolonial Belanda, setelah mulai beroperasinya kapal uap, jamaah haji dari Nusantara jumlahnya bahkan semakin meningkat. Mereka tiba di pelabuhan jeddah setelah berbulan-berbulan berada diatas gelombang mengarungi luasnya samudera.
Jamaah haji ini berdatangan dari berbagai pelosok. Baik dari kalangan rakyat biasa hingga para penguasa, raja-raja dan Sultan di Nusantara. Sebagian dari mereka menambah status sosialnya dengan embel-embel gelar Haji di depan namanya. Status Haji itu sendiri konon memiliki latar belakang yang sangat politis, hal ini terkait dengan ketatnya pengawasan pemerintah penjajah terhadap umat Islam yang sudah berhaji agar mudah teridentifikasi.
Susana ibadah Haji zaman doeloe
Di Mekah, para jamaah haji bukan saja hanya sekedar melaksanakan rukun dan sunnah berhaji. Umat Islam dari berbagai penjuru di dunia mereka berkumpul dan berinteraksi berbagi informasi tentang kondisi bangsa masing-masing. Tidak sedikit ada yang memanfaatkan menimba ilmu agama kepada ulama-ulama masyhur yang ada di kota Mekah.Tidak sedikit ulama-ulama tersebut berasal dari Nusantara, seperti diantaranya Syech Nawawi Albantani dan Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang terkenal.
Jamaah haji yang menimba ilmu di Masji Al-Harom umumnya mengikuti halaqoh-halaqoh yang banyak dijumpai di dalam masjid. Juga ada yang khusus sengaja belajar agama secara intesif hingga memperoleh syahadah pada saat mereka kembali pulang. Kelak diantaranya lulusannya menjadi ulama-ulama berpengaruh di Indonesia, seperti halnya Kyai Hadji Ahmad Dachlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah dan Kyai Hadji Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama. Dan banyak ulama lainnya yang tersebar di Indonesia.
Beberapa diantara ulama lulusan haji dari Mekah lainnya adalah Haji Miskin dari Minangkabau. Ia tiba dari Hedzaj ke tanah air tahun 1803. Kemudian bersama Haji Sumanik dan Haji Piobang yang juga alumni Mekah, mereka mengembangkan gerakan Padri di Sumatera Barat.
Tujuan utama gerakan Padri ini adalah mengembangkan pemurnian ajaran Islam untuk melawan praktik-praktik tradisional setempat. Munculnya gerakan ini tidak disukai oleh Belanda yang dianggap sebagai cikal bakal pemberontakan. Karena itu sejak kedatangan Haji Miskin dkk serta munculnya gerakan Padri, penjajah Belanda mulai mengawasi secara ketat pelaksanaan ibadah haji. Belanda takut para alumni haji ini akan membawa pemikiran baru lalu mengembangkan gerakan untuk menentang kolonialisme.
Berangkat dari ketakutan itu, pada 1825, Belanda mengeluarkan berbagai peraturan haji, salah satunya disebut ordonansi haji. Dengan ordonansi ini, Belanda memberlakukan ongkos naik haji yang sangat tinggi dan biaya pajak yang besar hingga 110 gulden. Bukan hanya itu saja, Pemerintah kolonialpun mengawasi aktivitas pribumi selama bermukim di Mekah.
Warga pribumi yang menetap di Mekah dalam pengawasan pemerintah kolonial Belanda tersebut utamanya adalah mereka yang sedang menuntut ilmu agama. Jumlahnya diperkirakan mencapai ± 400 orang, bahkan konon hingga mendekati 7000 orang. Angka tersebut bersumber pada sebuat berita yang dimuat pada majalah Pandji Poestaka. Majalah berbahasa melayu yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Poestaka Tahun 1922.
Jamaah haji asal Indonesia yang kemudian menetap di Mekah untuk belajar, kehidupan mereka tergantung dari kiriman orang tua dan anggota keluarganya di tanah air. Tapi sejak pengawasan yang teramat ketat dari pemerintah kolonial, berdampak bukan saja gerak gerik jamaah haji yang diawasinya, pengiriman uangpun di awasi dan diperketat. Dan terpaksa dihentikan karena tekanan yang kuat dan aturan menyulitkan yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda.Akibatnya para pelajar yang bermukim di Mekah, harus menderita berkepanjangan.Tidak sedikit diantaranya tinggal di pojok-pojok masjid mengharap bantuan dari belas kasih jamaah yang datang pada setiap musim haji tiba. Untuk kembali pulang, mereka tidak lagi memiliki ongkos dan bekal yang cukup.
Upaya untuk mengatasi penderitaan agar dapat kembali pulang ke tanah air, mereka mencoba berusaha dengan segala ikhtiar yang dilakukan, salah satunya adalah meminta bantuan kepada pihak Pemerintah Kolonial di Batavia yang dianggap sebagai biang keladi, namun tentu saja sia-sia dengan alasan Pemerintah Kolonial tidak mampu membiyai kepulangan karena jumlahnya dinilai sangat besar.
Upaya lainnya adalah mengharap pertolongan kepada Raja Hijaz, inipun berujung nihil karena kondisi keuangan kerajaan yang saat itu tidak memiliki kemampuan untuk membantu dalam jumlah yang besar.
Situasi penderitaan ini digambarkan oleh majalah Poestaka Pandji dan tampilnya seorang tokoh yang kemudian mampu mencarikan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi oleh para pelajar di Mekah;
“Pembatja tahoe, bahwa di Mekah banjak anak Hindia jang moekim, perloe menoentoet ‘ilmoe agama. Dimasa sebeloem melését kaoem keloearganja disini koeat mengirimkan wang ketanah Soetji itoe diperhentikan.
Meréka menanggoeng sengsara, makin lama makin sangatnja. Hendak poelang kemari ta’ ada wang. Minta pertolongan kepada Pemerintah, Pemerintah ingin menolongnja, tetapi ta’ ada padanja wang. Dipintanja pertolongan kepada baginda Radja Hidzaj, sia-sia poela, sebab bagindapoen ta’ beroeang.
Djika seorang doea jang perloe ditolong, djadilah. Tetapi setelah diselidiki ternjata ada lebih koerang 4000 orang;bahkan ketika diperiksa lebih saksama, konon kabarnja bilangan itoe mendekati 7000. Apa daja?
Di Betawi atas andjoeran t.Ahmad Sjoorkati, pemimpin Al-Irsjad, berdirilah soeatoe komité oentoek menolong hadji-hadji jang menanggoeng sengsara itoe. Beliau poela Voorzitternja”
Ditengah kebuntuan dalam mencari solusi mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi di mekah itulah, Syech Ahmad Surkati tampil mengambil peran untuk mengatasi permasalahan dan kesulitan yang di derita oleh mukimin di Mekah. Atas inisiatifnya dibentuklah “KOMITÉ PENOLONG HADJI JANG MENANGGOENG SENGSARA DI MEKAH”.
Lahirnya Komite ini mendapatkan sambutan dari berbagai pihak di tanah air, demikian juga terutama oleh mereka yang sedang menanggung penderitaan di Mekah. Komite inipun dibentuk di beberapa kota, terutama di jawa dan di daerah lain diluar jawa. Selain untuk mengidentifikasi nama-nama jamaah haji asal daerahnya, komite cabang ini ditujukan untuk penggalangan dana.Jaringan Syech Ahmad Surkati baik melalui organisasi yang didirikannya Jumiyyah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang sudah tersebar dibeberapa kota, juga sahabat-sahabat seperjuangannya, memudahkan dan membuat suksesnya komite ini dalam menjalankan misinya.
Komite ini diketuai (Voorzitter) sendiri oleh Syech Ahmad Surkati. Di cabang-cabang Al-Irsyad, komite ini sering kali disebut sebagai “stichting soorkattie”. Surkati juga mendorong didirikannya komite serupa oleh Perkumpulan-Perkumpulan Umat Islam dan secara bersinergi bekerjasama dengan komite yang dibentuknya. Diantaranya yang berhasil dibentuk adalah Comite Kesengsaraan Moekimin di Mekah.
Dalam waktu yang relatif cukup singkat, komite yang dibentuk oleh Ahmad Surkati berhasil mendulang dukungan dari berbagai pihak. Sejumlah dana berhasil dikumpulkan dari para donatur, terutama dari para pengusaha Arab. Donasi yang diberikan oleh para pengusaha Arab itu terbilang cukup besar. Ada yang mendermakan f.200, hingga f.925.
Syech Ahmad Surkati bersama dengan sekretaris komite juga menemui Toean Besar Goebernoer Djenderal di Batavia. Selain mencari dukungan untuk mendapatkan persetujuan legal komite yang dibentuknya, tercatat nama Gubernur Jenderal Hindia masuk dalam dafar para penyumbang.
Kemampuan Surkati dalam membangun network yang kuat, menjadikan komite yang dibentuknya semakin memudahkan misi yang sedang dijalankan. Koleganya yang berada di Hedzaj, membuka akses proses penanganan selama di Mekah berjalan mulus.
Selain sebagai seorang ulama yang dihormati, Seych Ahmad Surkati pernah menduduki jabatan terhormat sebagai Mufti di Mekah. Ia adalah sarjana asal sudan lulusan universitas Alharomain yang berhak mendapatkan gelar al-allamah setelah berhasil merampungkan tesisnya tentang "Qodho wa Qodar". Surkati disebut-sebut sebagai orang sudan pertama yang mendapatkan gelar akademis bergengsi tersebut.
Kepercayaan dan jaringan yang luas, membuat komite yang dibentuk oleh Surkati, berhasil memberinya jalan keluar dan mengatasi kesulitan yang sedang di hadapi oleh jamaah haji Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Mekah. Dengan kerjasama yang kuat dan pengorganisasian yang rapih bersama elemen umat Islam di tanah air, juga koneksi yang luas di negara-negara Arab, khususnya di Mekah. Surkati dan Komitenya berhasil memulangkan secara besar-besaran alumni haji yang terlantar di Mekah. Secara bertahap, mereka tiba di pelabuhan Tanjoeng Perioek menggunakan kapal-kapal milik Pemerintah Belanda dan Inggris.
Mereka yang tetap bertahan dan masih bermukim di Mekah,berhasil diatasi dengan mendapatkan bantuan untuk penghidupan yang layak untuk tetap melanjutkan studinya di kota suci umat Islam, Makkah Almukarromah.
Jakarta, 14 September 2017
Abdullah Abubakar Batarfie
Jakarta, 14 September 2017
Abdullah Abubakar Batarfie
Posting Komentar untuk "Syech Ahmad Surkati, dan Derita Jamaah Haji Indonesia pada zaman penjajahan Belanda"
Posting Komentar