Melacak Jejak Surkati di Betawi Part 1, Surkati, dan kampung Arab di Pekojan


Pada awal abad ke-19, warga Hadramaut dari berbagai pelosok lembah dan wadi berama-ramai hijrah ke Nusantara, terutama ke pulau Jawa yang terpusat di Batavia. Menurut Alwi Shahab dalam tulisannya di Koran harian Republika, perpindahan secara besar-besaran warga Hadramaut saat itu terjadi setelah mulai beroperasinya kapal uap yang menggantikan kapal layar.



Pemerintah kompeni ketika itu menempatkan para imigran asal Hadramaut di sebuah perkampungan khusus yang belakangan dikenal dengan nama kampung Arab. Beberapa wilayah di Betawi yang terkenal kampung Arab adalah Krukut, Tanah Abang atau Tenabang, Kampung Melayu atau Mester, dan Pekojan. Sekarang ini jumlah warga peranakan Arab yang tinggal di Kampung Melayu jumlahnya semakin bejibun  yang datang dari luar Jakarta. Bahkan di Rawa Belong yang dulunya udik, kini banyak dihuni oleh muwwalad (sebutan untuk peranakan arab yang lahir di Indonesia) korban gusuran dari tempat lain di Jakarta, atawa yang pindah akibat rumah warisan abanya dijual ke baukdeh (istilah arab peranakan untuk orang cina yang rambutnya selalu di kuncir).



Menurut Mr. Hamid Al Gadri dalam bukunya “ Politik Belanda terhadap Islam dan Peranakan Arab”, Ketika menempatkan etnis Arab di Pekojan ini, terkait erat akibat sistem Wijken Stelsel atau Kebijaksanaan Pemukiman bagi para perantau arab dalam rangka menjauhkan penduduk pribumi dari pengaruh-pengaruh dan paham-paham yang datang dari luar. Dalam sistem ini juga Belanda memberlakukan passen stelsen  atau Kebijaksanaan Pas Jalan (surat-jalan-editor), dengan sitem ini seorang Arab dari Pekojan ketika hendak bepergian kelain tempat harus memiliki pas-jalan, dan bila keluar kota izin bepergian baru keluar berhari-hari. Barulah setelah kebijakan Wijken Stelsel dicabut pada akhir abad ke-19, mereka mulai mencari daerah pemukiman baru yang lebih memenuhi persyaratan dari segi kesehatan lingkungan.



Kebijakan pencabutan sistem wijken Stelsel dan  passen stelsel yang dikeluarkan oleh pemerintah kompeni  tersebut, terkait erat dengan pengangkatan Snouck Hurgronje sebagai Adviseur Voor Indlandsche Arabik Zaken atau Penasehat urusan Pribumi dan Arab pada tahun 1899. Ia menduduki jabatannya hingga tahun 1906. Snouck adalah peletak dasar politik Islam Pemerintah Kolonial Belanda dan berpengaruh besar terhadap berbagai kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap Pribumi dan Islam.



Selepas pengangkatan Snouck sebagai penasehat resmi pemerintah kompeni Belanda, sejak saat itulah pengawasan pemerintah terhadap kegiatan keagamaan semakin diperketat melalui berbagai kebijakan yang dipandang strategis, terutama sekali terhadap aktivitas masyarakat Hadrami di Indonesia. Beberapa orang yang pernah menduduki jabatan penting tersebut diantaranya adalah Ch.O.Van der Plas, Schijker, K.Gobee dan G.F Pijper.



Pada masa penjajahan Jepang seperti yang dikutip dari situs resmi Departemen Agama RI, kondisi tersebut pada dasarnya tidak berubah. Pemerintah Jepang membentuk Shumubu, yaitu kantor agama pusat yang berfungsi sama dengan voor Islamietische Zaken dan mendirikan Shumuka, kantor agama karesidenan dengan menempatkan tokoh pergerakan Islam sebagai pemimpin kantor. Penempatan tokoh pergerakan Islam tersebut merupakan strategi Jepang untuk menarik simpati umat Islam agar mendukung cita-cita persemakmuran Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon. Salah satu tokoh yang terlibat dalam pendirian Shumuka  atau cikal bakal Departemen Agama sekarang ini adalah H.Moh Soleh Suaidy, alumnus Madrasah Al-Irsyad di gang Solang, Pejuang Kemerdekaan RI, mantan guru dan Kepala Sekolah Al-Irsyad di Pamekasan dan Purwokerto dan mantan sekjen DPP Al-Irsyad Al-Islamiyyah.



Sejak tahun 1844 orang Arab di Jakarta sudah memiliki Kapitein der Arabieren  (Kapten Arab). Suatu jabatan dimasa kolonial Hindia Belanda  dengan tugas mengepalai orang-orang etnik Arab-Indonesia, yang biasanya tinggal dalam suatu wilayah Kampung Arab. Kapitein der Arabieren ini  bertanggung jawab kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk segala urusan yang menyangkut ketertiban dan lain-lain sebagainya. Kapten ini pun berperan sebagai wakil dan penghubung antara Pemerintah dengan  penduduk etnik Arab untuk hal-hal yang  menyangkut kepentingan dalam hubungannya dengan Pemerintah Kolonial Belanda.

Tercatat beberapa orang tokoh yang pernah menduduki jabatan Kapten Arab selain Syech Said Naum dan seterusnya, diantaranya adalah Syech Umar bin Yusuf Manggusy dan Hasan Argubi. Kedua orang ini memiliki peranan yang amat penting dan berpengaruh sangat besar terhadap Al-Irsyad. Syech Umar bin Yusuf Manggusy merupakan tokoh utama yang berjasa dan menjadi motor penggerak kelahiran Al-Irsyad. Pembela Al-Irsyad nomor wahid  ini istilah orang betawi bilang, pribase kate kepale jadi kaki, kaki jadi kepale, Al-Irsyad die nyang belain. Bisa disebut beliau adalah bapak Pendiri Al-Irsyad. Karenanya bila jasa besar beliau akan ditulis, maka ketebalannya sudah tentu akan melebihi ketebalan kitab moedjarobat  yang pernah ditemukan di Masjid Kebon Jeruk Hayam Wuruk. Atau setidaknya setebal kitab-kitab klasik karangan Habib Osman Bin Yahya, seorang Arab kelahiran Pekojan yang mendapatkan penghargaan bintang salib belanda karena jasa-jasanya pada pemerintah kompeni, terutama kitab karangannya yang ditulis dalam bahasa arab sebagai panduan do’a dan khotbah Jum’at. Kitab ini di kalangan umat Islam dikenal sebagai kitab khotbah penjilat, karena isinya mengandung sanjungan dan do’a-do’a  kesejahteraan bagi Ratu Belanda, Wilhelmina. 
Disebutkan pula bahwa Habib Oesman Bin Yahya dikenal sebagai mufti betawi dan pernah diangkat oleh Pemerintah Belanda sebagai Honorairdengan jabatan sebagai adviseur atau penasehat kehormatan untuk urusan Arab pada kantor Adviseur Voor Indlandsche Zaken. Selain itu ia juga disebut-sebut sebagai sahabat karib Snouck Hurgronje. Persahabatannya dengan Snouck Hurgronje banyak mengundang kontroversi dan polemik di kalangan sejarawan hingga hari ini. Banyak pihak yang menyatakan bahwa persahabatan tersebut terjalin karena beliau meyakini Snouck adalah seorang muslim, keyakinan Snouck sebagai seorang muslim dibawanya sampai Ia wafat. 

Pekojan merupakan kawasan tertua sebagai cikal bakal kampung Arab dan merupakan salah satu tempat bersejarah di Jakarta. Nama Pekojan menurut Van den Berg berasal dari kata Khoja, istilah yang masa itu digunakan untuk menyebut penduduk keturunan India.

Daerah Pekojan pada era kolonial Belanda ini kemudian dikenal sebagai kampung arab. Kala itu para imigran yang datang dari hadramaut diwajibkan terlebih dahulu singgah di Pekojan. Baru kemudian mereka menyebar ke berbagai kawasan lainnya di Jakarta. Pekojan merupakan cikal bakal dari sejumlah perkampungan arab yang kemudian berkembang di Jakarta. Dari Pekojan inilah mereka kemudian menyebar ke Krukut dan Sawah Besar (sao besar), Petamburan, Tanah Abang dan Kwitang, Jatinegara dan Cawang.

Dulu Syech Ahmad Surkati juga pernah tinggal di Pekojan. Keberadaan Surkati di Pekojan terkait erat dengan pembukaan cabang sekolah Jamiatul Kher di sana. Selain sebagai kepala sekolah, Ia juga diangkat sebagai penilik sekolah-sekolah Jamiatul Kher di Tanah Abang dan Bogor.

Syech Ahmad Surkati tiba di pelabuhan Tandjong Priok batavia. Ia datang menggunakan kapal uap dari pelabuhan Jeddah setelah ditempuhnya perjalanan darat dari mekkah almukarromah, negeri yang penuh dengan keutamaan, negeri yang Allah lipat gandakan hisab amal baik dan amal buruk seseorang. 

Kedatangan pemuda yang berperawakan tinggi dan tegap berusia 37 tahun ke batavia itu tersiar luas, namanya dimuat dalam majalah al dahna yang terbit dari negeri mesir. Ia disebut-sebut terlalu berani mengunjungi negeri yang dianggap junud. Pulau jawa kala itu tersiar kabar ada banyak kejahatan. Tidak sedikit para penyeru agama yang mati di tembak marsose, di bui dan kakinya diikat besi bendoel sonder ada ampunan, perut sobek ditikam golok tjibatoe dan si djampang. Di Batavia juga ada banyak korban mati akibat kolera yang tidak pandang bulu menelan nyawa siapapun, termasuk kematian si Moer Jangkung yang orang-orang bicarakan dimana-mana. Moer Jangkung adalah sebutan penduduk betawi untuk Jan Pieterszoon Coen, peletak dasar kota Batavia.

Yang merasa kuatir ia hijrah ke negeri junud tak mampu mencegahnya, karena niat yang Ia utarakan perginya ke tanah jawa adalah untuk berjihad. Baginya mati di tanah jawa lebih mulia, dari pada mati di negeri makkah dengan tidak berjihad. 

Surat yang dikirim Sech Rasjid Ridho untuk sahabat-sahabatnya di mekkah, membuat karib kerabatnya berhati lega bahwa pemoeda bergelar al allamah itu akan mendapatkan penghormatan dan perlakuan rupa-rupa kebaekan dari masyarakat hadrami di almahjar

Ia tiba di batavia pada bulan maret 1911, setelah berbulan-bulan berayun-ayun di atas gelombang samudera hindia. Menetaplah ia di Kampung Arab Pekojandan disapanya dengan penuh hormat oleh penduduk betawi dengan panggilan moe'allim Achmad. Menurut keterangan tokoh masyarakat Pekojan, Taufik Bin Salim Abdul Azis, kedatangan Surkati ke Pekojan disambut oleh Syeikh Abdullah Bin Abubakar Basyaib Al Hajraji serta adiknya Syeikh Salim bin Abubakar Basysib Al Hajraji. Surkati kemudian bermukim di rumah besar Al Basyaib Al Hajraji di Gang Pengukiran 4 Pekojan selama beberapa minggu sebelum beliau di perkenalkan dengan para ulama Betawi dan menempati rumah dinas yang disediakan oleh pihak Jamiatul Kher.

Di Betawi Ia banyak berkenalan dan bekawan-kawan dengan orang-orang baik dan para penyeru agama termasuk dengan Kjai Hadji Achmad Dahlan. Setahun sejak perjumpaanya itulah, seolah hilanglah dalam diri Kjai Dahlan rasa ragu, lantas ia-pun menjadi seorang yang pemberani. Ia tekadkan dalam hatinya untuk menjadi penyeru kebenaran lewat persyarikatan Moehammadiyah yang ia cita-citakan. Harta yang dimilikinya ia jual, termasuk rupa-rupa perabot rumah tangganya bersama Njai Walidah, demi cita-cita mulianya untuk kemurnian ajaran Islam. 

Keberadaan Surkati sebagai salah satu penghuni di kampung arab Pekojan tidak berlangsung lama, Ia meninggalakan Pekojan selepas fatwanya tentang kafaah di Solo yang membuat kalang kabut para pemuka Jamiatul Kher. Surkati mengabdi di Jamiatul Kher hanya bertahan selama tiga tahun saja hingga pada tahun 1914. Selama tiga tahun itu pula Surkati menorehkan prestasi yang membuat madrasah jamiatul berkembang pesat dan maju. Karya intelektualnya selama di Jamiatul kher adalah syairnya yang terkenal dan diberinya judul; Al Umahatul Akhlaq.

Surkati lantas angkat kaki dari rumah dinasnya di Pekojan sonder mendapatkan pesangon, dan pindah ke Jalan Jati Baru 12 Batavia. Kepindahan Surkati ke kediaman barunya di Jalan Jati Baru atau belakangan dikenal dengan Jalan Jati Petamburan (kini Jalan Aipda K.S. Tubun Raya) menjadi tonggak sejarah bagi Al-Irsyad. Di rumah inilah kemudian pada tanggal 6 September 1914 dibuka secara resmi Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah di bawah pimpinan Surkati. Perpindahan Surkati dan bersamaan dengan dibukanya madrasah Al-Irsyad tersebut adalah berkat kesungguhan serta kerja keras Syech Umar Bin Yusuf Manggusy, bersama teman-temannya para pemuka Arab di Betawi. Rumah baru kediaman Surkati dan madrasah Al-Irsyad di Petamburan adalah rumah yang dipinjamkan dengan cuma-cuma oleh Syekh Umar Bin Yusuf Manggusy.

Dengan dibukanya Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, guru-guru Jamiatul Kher yang berasal dari Mekkah, baik yang datang bersamaan maupun yang datang belakangan atas jasa Surkati, merekapun ramai-ramai  bergabung di Al-Irsyad.  Disamping ada pula yang kembali ke Mekkah. Banyak murid-murid Jamiatul Kher di Pekojan yang kemudian ikut pula pindah ke Al-Irsyad, sebut saja di antaranya adalah  Abdullah bin Salim Al-Attas, ayah Ali Al-Attas mantan Menteri Luar Negeri RI di masa rezim Orde Baru.

Bahkan konon pula, Sayyid Abdullah bin Abubakar Al-Habsyi yang juga sohibnya semasa di Jamiatul Kher, dipercayanya untuk mengelola urusan tetek bengek  yang berkaitan dengan perizinan sekolah Al-Irsyad, terutama tentang Ordonansi Guru tahun 1905 yang mengatur kegiatan pendidikan Islam. Perizinan madrasah yang diajukan kepada Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg di Batavia itu dilaksanakan oleh satu badan bernama Hai-ah Madaaris Jum’iyyatul Irsyad  yang berada di bawah naungan Jam’iyyah Al-Ishlah wal Irsyad al-Arabiyyah yang dibentuk bersamaan dengan diresmikannya  madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah.


Bangunan bekas Madrasah Jamiatul Kher di Pekojan


Oleh: Abdullah Abubakar Batarfie

Belum ada Komentar untuk "Melacak Jejak Surkati di Betawi Part 1, Surkati, dan kampung Arab di Pekojan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel