Kebaya, Abayah dan Busana Nasional Wanita Indonesia
03 Oktober 2016
Tulis Komentar
Kebaya merupakan busana tradisional perempuan Indonesia, yang oleh Bung Karno dianggap sebagai lambang emansipasi perempuan Indonesia. Sebab kebaya, busana yang pernah dipakai oleh tokoh kebangkitan perempuan Indonesia Raden Ajeng Kartini. Karena itu tidak mengherankan, jika pada setiap tanggal 21 April, para siswi, remaja putri, dan ibu-ibu tampil mengenakan busana kebaya.
Menurut perancang busana Ferry Setiawan, meski kebaya sudah diperkenalkan sebagai identitas pakaian wanita Indonesia sejak sebelum tahun 1940-an, pakaian ini resmi digunakan sebagai busana nasional sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Ibu negara pertama Fatmawati dan aktivis wanita pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya, mereka semuanya hadir saat proklamasi berlangsung tersebut dengan menggunakan busana kebaya yang dibalut dengan kain batik.
Sejak itu dan sampai sekarang, penggunaan kebaya resmi dipergunakan sebagai pakaian kenegaraan istri-istri presiden dan para pejabat pemerintah. Bahkan konon, di era presiden RI ke-2 HM.Soeharto, istrinya Ibu Tien disebut-sebut memiliki andil besar dalam mempopulerkan kebaya yang bukan saja di dalam negeri, tapi hingga ke mancanegara.
Almarhum Ibu Tien Soeharto, dikenal sangat ketat mengawasi "kewajiban" penggunaan busana kebaya oleh para istri menteri dan pejabat lainnya, terutama pada acara-acara resmi kenegaraan.
Sebagai blus tradisional yang dipakai oleh wanita Indonesia, bahan kebaya ini umumnya terbuat dari kain sutera yang halus atau kain tipis lainnya, yang dikenakan dengan sarung batik, atau ada juga dengan kain tenunan tradisional, terutama di luar pulau jawa, seperti songket aneka warna serta corak.
Di pulau Jawa, busana kebaya awalnya digunakan oleh wanita dari kalangan ningrat, khususnya di lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta. Sedangkan dari kalangan rakyat biasa, mereka hanya menggunakan kemben, yaitu kain yang dililitkan melingkar setengah badan, sehingga sebagian aurat tubuhnya nampak terlihat terutama pada bagian dada.
Sebelum Islam berkembang, baik dari kalangan ningrat maupun rakyat jelata. Umumnya kaum wanita di pulau Jawa, kemben masih dipergunakan secara merata, hanya pada motif dan warna pada kain carik saja yang membedakannya untuk membedakan status sosial di antara mereka.
Disebut-sebut, para sunan-lah sebagai pendakwah Islam yang kemudian pertama kali memperkenalkan busana yang lebih tertutup bagi kaum wanita, dan itu dimulai di lingkungan dalam keraton terlebih dahulu. Pada perkembangannya berikutnya, busana tersebut sudah dipergunakan lebih secara meluas.
Busana yang diperkenalkan oleh para sunan inilah yang belakangan disebut dengan baju kebaya, nama yang diambil dari akar bahasa arab, yaitu abaya. Abaya atau abayah dalam bahasa arab artinya adalah baju kurung penutup badan kaum wanita.
Kebaya di luar pulau jawa, sejak di masa lalu, pola dan bentuknya hampir sama. Seperti hal-nya di tanah Melayu dan di wilayah nusantara bagian Timur lainnya, hanya dari corak dan warnanya saja yang membedakan.
Kebaya melayu dan di wilayah Timur Indonesia umumnya berwarna putih dan lebih tertutup, hal ini terkait erat dengan filosofi ajaran Islam. Demikian pula pola dan bentuknya sedikit berbeda, kainnya dihiasi renda berbunga, lehernya meruncing dan ujungnya meruncing kebawah. Di Betawi bentuk seperti ini disebut "kebaya encim".
Sedangkan di jawa sendiri, penggunaan kain kemben masih tetap dipertahankan yang dipadu dengan pemakaian busana kebaya. Kemben ini lebih berfungsi untuk menutupi bagian pusar pada perut yang dililitkan di tubuh, belakangan disebut dengan kain stagen yang sekaligus untuk mengikat tapihan pinjung, agar kain batik yang dipergunakan lebih kuat dan tidak mudah lepas.
Baik di pulau jawa maupun di luar pulau jawa, seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan daerah lainnya, setelah akulturasi yang berlangsung ratusan tahun itulah kebaya kemudian diterima sebagai budaya dan norma setempat, dan menjadi busana nasional Indonesia.
Dalam perkembangannya, penggunaan kebaya sudah lebih meluas dan dikenakan oleh berbagai kalangan wanita Indonesia, baik bangsawan maupun kalangan rakyat biasa, untuk busana sehari-hari maupun pada upacara adat.
Tanpa terkecuali, istri-istri tokoh pergerakan Islam nasional dan aktifivis organisasi perempuan Islam menggunakan kebaya lengkap dengan selembar kain kerudung untuk menutup rambut, mereka kenakan sebagai busana nasional dan dipakainya sejak masa-masa pergolakan pergerakan Islam, hingga selepas kemerdekaan. Sebut saja antaranya para istri pemuka Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, Masyumi dll, termasuk istri para tokoh terkemuka muslimin Indonesia seperti istri Mr. Muhammad Natsir, istri Mr.Muhammad Rum dan istri ketua MUI pertama Buya Hamka, yang kesemuanya menggunakan baju kebaya dengan paduan kain batik, sebagai ciri dari identitas busana nasional Indonesia.
Dikalangan wanita dalam keturunan Arab (baca hadrami), kebaya juga dikenakan baik sebagai pakaian resmi maupun sehari-hari. Hanya saja penggunaan kebaya oleh kalangan wanita hadrami dipadu dengan kain batik yang bermotif penuh corak dan warna warni yang cerah. Kain batik seperti itu lebih banyak dijumpai di pesisir, seperti di pekalongan dan madura. Di Pekalongan motif seperti ini dinamakan kain batik "tiga negeri" atau "pagi sore". Corak warna warni ini disukai pula oleh wanita-wanita peranakan cina dan eropah di masa itu.
Kebaya di kalangan wanita peranakan Cina, namanya populer dengan istilah "kebaya nyonya" yang digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Popularitas "kebaya njonja" dikalangan perempuan peranakan cina inilah yang memunculkan sebutan "kebaya encim".
Solo dikenal sebagai pusat kebudayaan keraton dan kental dengan nuansa kerajaan. Karena itu selain Pekalongan dan Yogyakarta, Solo menjadi salah satu produsen utama batik di pulau jawa. Para pengusaha batik di solo yang berpusat di lawean di dominasi oleh saudagar muslim. Dan Haji-Haji para saudagar muslim di Lawean inilah yang kemudian bangkit secara teroganisir mendirikan Sjarekat Dagang Islam, yang kelak berfusi menjadi Syarekat Islam sebagai pionir gerakan kebangkitan nasional berkat ketokohan H.O.S Tjokroaminoto, yang berperan sebagai guru bangsa dengan digelari "Raja Jawa Tanpa Mahkota".
Kain batik sebagai warisan budaya nasional, dan kain-kain lainnya dari berbagai daerah, kini di koleksi oleh museum tekstil yang berlokasi di Jl.KS Tubun, Jakarta Pusat. Museum yang dahulunya merupakan rumah yang pernah dihuni oleh Sayyid Abdullah bin Alwie Al-Attas.
Menurut almarhum Alwi Shahab, dalam bukunya "Saudagar Bagdad dari Betawi", rumah bergaya Prancis itu adalah bekas kediaman Abdul Azis Al-Mussawi, konsul jenderal Turki di Batavia. Al-Mussawi kawin dengan puteri Sultan Bengkulu, dan adik dari pahlawan nasional Sentot Alibasya.
Kebaya sebagai busana nasional yang tercipta dari ajaran Islam yang rahmatan lil alamin oleh para Sunan sejak berabad-abad lamanya, sekarang ini masih tetap lestari, meski sudah di modifikasi dengan balutan pola yang lebih modern, dan di pertahankan sebagai identitas resmi busana wanita Indonesia.
Abdullah Abubakar Batarfie
Belum ada Komentar untuk "Kebaya, Abayah dan Busana Nasional Wanita Indonesia"
Posting Komentar