Kebaya: Jejak Emansipasi dan Identitas Nasional Perempuan Indonesia
Ibu Fatmawati di depan lukisan dirinya karya Basoeki Abdullah
Kebaya adalah busana tradisional perempuan Nusantara yang oleh Bung Karno dipandang sebagai lambang emansipasi perempuan Indonesia. Pandangan ini lahir karena kebaya pernah dipakai oleh Raden Ajeng Kartini, tokoh perempuan yang suaranya menggema dalam sejarah perjuangan kaum wanita. Tak heran jika hingga kini, setiap tanggal 21 April, para siswi, remaja putri, hingga ibu-ibu tampil mengenakan kebaya sebagai penghormatan pada semangat Kartini.
Perancang busana Ferry Setiawan mencatat bahwa jauh sebelum 1940-an, kebaya telah dikenal sebagai identitas pakaian perempuan Indonesia. Namun, pakaian ini baru diresmikan sebagai busana nasional sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.
Pada hari bersejarah itu, Ibu Negara pertama Fatmawati — bernama asli Fatimah binti Hassan Din — bersama para pejuang wanita kemerdekaan hadir dengan anggun, berselimut kebaya yang dipadukan dengan kain batik. Sejak saat itu, kebaya tidak hanya menjadi pakaian nasional, tetapi juga simbol kehadiran perempuan dalam ruang sejarah bangsa.
Kebaya dan Ibu Tien Soeharto
Dalam perjalanannya, kebaya senantiasa dikenakan oleh istri-istri presiden dan pejabat negara. Pada masa Presiden H.M. Soeharto, Ibu Tien Soeharto bahkan dikenal sebagai sosok yang berperan besar mempopulerkan kebaya hingga ke mancanegara. Ia sangat ketat mengawasi pemakaian kebaya bagi para istri menteri dan pejabat pada acara resmi kenegaraan, sehingga busana ini benar-benar terjaga martabatnya.
Sebagai blus tradisional, kebaya biasanya dibuat dari kain sutra halus atau kain tipis, dipadukan dengan sarung batik atau tenunan tradisional. Di luar Jawa, kerap digunakan kain songket dengan corak khas dan warna beraneka rupa.
Di Jawa sendiri, kebaya mulanya lekat dengan kalangan bangsawan, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Sementara rakyat jelata lebih sering memakai kemben, yakni kain lilit setengah badan yang membuat bagian dada terbuka. Sebelum Islam berkembang, kemben menjadi pakaian umum, baik untuk ningrat maupun rakyat, dengan perbedaan terletak pada motif dan warna kain carik sebagai penanda status sosial.
Potret seorang wanita menak Sunda di Bogor, Nyi Raden Soewanda (1897–1961), putri tokoh terkemuka Kampung Muara, Raden Ama Sandi—nama yang kini diabadikan sebagai salah satu ruas jalan di kampung tersebut. Dalam balutan kebaya dan kain batik, ia berpose anggun di sebuah studio foto. Gaya busananya merepresentasikan tradisi para perempuan ningrat Priangan pada masanya, yang menjadikan kebaya dan batik sebagai simbol keanggunan sekaligus status sosial. - foto adalah restorasi rekayasa warna yang bersunber dari situs rodovids R.Idang atau Endang Suhendar
Kehadiran para Sunan sebagai pendakwah Islam membawa perubahan besar. Mereka memperkenalkan busana yang lebih tertutup, mula-mula di lingkungan keraton, lalu menyebar ke masyarakat luas. Dari situlah lahir kebaya, yang namanya diyakini berasal dari kata Arab abaya atau abayah, sejenis busana penutup tubuh perempuan.
Di luar Jawa, pola kebaya relatif sama sejak dahulu, baik di Tanah Melayu maupun Nusantara Timur. Bedanya hanya pada corak dan warna. Kebaya Melayu dan kebaya dari wilayah timur umumnya berwarna putih dan lebih tertutup, sejalan dengan nilai Islam. Modelnya juga khas, dengan hiasan renda, kerah meruncing, serta ujung kebaya yang menjuntai ke bawah. Di Betawi, model ini populer dengan sebutan kebaya encim.
Sementara itu, di Jawa, kebaya sering dipadukan dengan kemben dan kain stagen untuk mengikat tapihan pinjung, sehingga kain batik yang dikenakan lebih kuat dan rapi.
Dalam proses akulturasi yang panjang, kebaya akhirnya diterima di berbagai daerah Nusantara: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku, dan menjadi bagian dari busana adat sekaligus busana nasional. Kebaya dikenakan oleh berbagai kalangan, baik bangsawan maupun rakyat biasa, untuk keseharian maupun upacara adat.
Tak terkecuali di kalangan istri-istri tokoh pergerakan Islam dan aktivis perempuan Muslim. Mereka tampil dengan kebaya lengkap bersama kain kerudung sebagai penutup kepala, sejak masa pergerakan hingga setelah kemerdekaan. Di antaranya adalah istri-istri tokoh Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, Masyumi, serta tokoh Muslim besar seperti Mr. Muhammad Natsir, Mr. Muhammad Rum, hingga Buya Hamka. Kebaya bagi mereka adalah bagian dari identitas nasional sekaligus busana kesederhanaan.
Nenek penulis, Aisyah, seorang perempuan pribumi dari tanah Betawi, sepanjang hidupnya selalu mengenakan busana kebaya dan kain batik. Setelah bersuamikan lelaki dari suku Pashtun asal Peshawar, Pakistan, ia tetap setia dengan busana tradisional tersebut. Dalam foto di atas, nenek saya (kiri) berpose bersama tetangganya, Ibu Encung, seorang perempuan Sunda di Bogor. Foto ini diabadikan di studio Thio Piek, Bogor. Dua anak di depan mereka adalah paman dan ibu penulis (kanan).
Di kalangan perempuan keturunan Arab, kebaya juga dikenakan baik sebagai busana resmi maupun sehari-hari, dipadu dengan batik bermotif cerah dari pesisir seperti Pekalongan dan Madura. Di Pekalongan, misalnya, dikenal batik tiga negeri atau pagi sore yang kaya warna, lahir dari perpaduan budaya lokal dengan sentuhan estetik Tionghoa dan Arab. Unsur Arab tampak pada ragam hias kaligrafi, motif geometris, serta pilihan warna tegas seperti biru dan hijau. Sementara pengaruh Tionghoa terlihat pada motif flora-fauna — burung hong, naga, bunga seruni, dan peony — yang berpadu dengan warna merah dan emas, melambangkan kemakmuran dan kebahagiaan.
Perempuan keturunan Tionghoa juga memiliki tradisi kebaya sendiri, yang disebut kebaya nyonya, populer dipakai sebagai busana harian. Dari sinilah lahir istilah kebaya encim, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Betawi.
Solo, Yogyakarta, dan Pekalongan dikenal sebagai pusat batik yang erat kaitannya dengan dunia kebaya. Di Solo, misalnya, pusat pengusaha batik Laweyan didominasi oleh saudagar Muslim. Dari Laweyan inilah lahir organisasi Sarekat Dagang Islam, yang kelak berkembang menjadi Sarekat Islam di bawah kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto, “Raja Jawa tanpa Mahkota”.
Kini, warisan batik dan kebaya dapat dinikmati di Museum Tekstil Jakarta, yang menempati bekas rumah Sayyid Abdullah bin Alwie Al-Attas. Menurut Alwi Shahab dalam bukunya ; Saudagar Baghdad dari Betawi, rumah bergaya Prancis itu pernah dihuni oleh Abdul Azis Al-Mussawi, konsul jenderal Turki di Batavia, yang menikah dengan putri Sultan Bengkulu, sekaligus adik Pahlawan Nasional Sentot Alibasya.
Kebaya, yang lahir dari proses panjang akulturasi budaya dan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, tetap lestari hingga kini. Meski tampil dalam berbagai modifikasi modern, kebaya tetap dijaga sebagai identitas resmi busana perempuan Indonesia, menyatukan jejak sejarah Kartini, Fatmawati, hingga para ibu bangsa dalam satu garis perjuangan yang anggun dan bermartabat.
Judul dan isi tulisan ini diperbaharui kembali pada 2 Oktober 2025
Abdullah Abubakar Batarfie
Posting Komentar untuk "Kebaya: Jejak Emansipasi dan Identitas Nasional Perempuan Indonesia"
Posting Komentar