DR. Ali Audah, Sastrawan Modern Indonesia


Di ujung seberang Gang Kerupuk, di Rumah Jalan Lolongok Nomor 9 yang kini menjadi kediaman keluarga almarhum Abdullah bin Said bin Bisyir di Kampung Arab Empang Bogor, dahulu pernah dihuni oleh salah seorang Sastrawan Modern Indonesia terkenal, Ali Audah, sejak tahun 1950-an.

Sastrawan peranakan Arab kelahiran Bondowoso pada tanggal 14 Juli 1924 itu pernah menanggapi tuduhan Pramoedya Ananta Toer terhadap karya monumental Buya Hamka yang ditudingnya sebagai plagiator. Sebagai tokoh utama Lekra yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, Pram mengajukan gugatan atas roman karya Hamka, "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck," yang dituduh sebagai hasil penjiplakan dari buku "Majdulin" karya sastrawan Arab Mesir, Mustafha Luthfi al-Manfaluthi. Menanggapi tudingan tersebut di tengah polemik politik bangsa yang sedang memuncak, Ali Audah kemudian menerbitkan terjemahan "Majdulin" dari buku aslinya.

Ali Audah lahir dari pasangan Salim Audah dan Aisyah Jubran. Ia sudah menjadi yatim diusia 7 tahun. Sejak ayahnya wafat Ali dan keempat saudaranya kemudian diasuh oleh ibu mereka. Dua kali dimasa kecilnya Ali sempat tinggal berpindah-pindah mengikuti ibunya yang mencoba bertahan hidup dengan usaha mandirinya, hingga ia kemudian tinggal atas tanggungan kakak laki-laki Ali yang sudah bekerja di sebuah pabrik tenun dekat kota Surabaya.

Ali Audah lahir dari pasangan Salim Audah dan Aisyah Jubran. Dia menjadi yatim pada usia 7 tahun setelah kematian ayahnya. Ibunya, Aisyah, kemudian mengasuh Ali dan keempat saudaranya. Ali sering berpindah-pindah tempat tinggal bersama ibunya yang berusaha bertahan hidup dengan usaha mandiri. Setelah itu, ia tinggal di bawah tanggungan kakak laki-lakinya yang bekerja di sebuah pabrik tenun dekat Surabaya.

Ali Audah dikenal luas bukan hanya sebagai sastrawan, tetapi juga sebagai penerjemah karya-karya sastra Arab modern, filsafat, dan agama. Meskipun pendidikan formalnya hanya sampai Madrasah dan Sekolah Rakyat, itupun tak pernah Ia rampungkan dan hanya menyelesaikan setingkat kelas dua sekolah dasar.

Pada masa pendudukan Jepang, Ali sudah mulai aktif menulis cerpen, meskipun tidak satupun karyanya yang dimuat. Namun, ia tetap mengirimkan cerpen-cerpen karangannya ke majalah yang terbit di Jakarta, karena merasa bahwa dengan menulis adalah cara untuk mengungkapkan perasaan dan pemikirannya.

Sebagai penulis, Ali pertama kali memenangkan lomba mengarang pada tahun 1946 dalam sebuah perlombaan mengarang sandiwara di Jawa Timur. Setelah memenangkan lomba itu, Ali terus berusaha untuk membaca dan menulis lebih banyak lagi. Sejak itu, banyak sajaknya yang dimuat dalam majalah Sastrawan yang terbit di kota Malang.

Perkenalan Ali Audah dengan dunia sastra dan seni dimulai di kota Solo, di mana ia terlibat dalam lingkungan sastra yang kaya dengan berbagai pengarang dan seniman. Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sastra dan kebudayaan Tanah Air adalah Muhammad Dimyati, yang secara langsung berdampak pada pandangan dan inspirasi Ali Audah. Dimyati bukan hanya seorang pengarang yang produktif, tetapi juga seorang aktivis kebudayaan yang gigih dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi dan keberagaman budaya di Indonesia.

Ali Audah melihat Dimyati sebagai contoh nyata bagaimana seorang penulis bisa menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Pandangan Dimyati tentang sastra sebagai alat untuk membangun identitas dan kesadaran nasional sangat memengaruhi Ali Audah. Dari sini, Ali Audah tidak hanya melihat sastra sebagai bentuk seni semata, tetapi juga sebagai instrumen untuk memperkuat dan menyebarkan nilai-nilai kebudayaan yang mendalam.

Selain itu, perkenalan dengan Muhammad Dimyati juga membuka jendela bagi Ali Audah untuk memahami lebih dalam tentang kekayaan budaya dan tradisi Indonesia. Dimyati seringkali menyelipkan nilai-nilai budaya lokal dalam karyanya, yang memberikan inspirasi kepada Ali Audah untuk melakukan hal yang serupa. Ini tidak hanya menjadi titik awal bagi eksplorasi kreatifnya dalam menulis, tetapi juga memperluas wawasan dan pemahamannya tentang keberagaman budaya Indonesia.

Dengan demikian, perkenalan Ali Audah dengan Muhammad Dimyati bukan hanya sekedar pertemuan antara dua individu, tetapi juga merupakan awal dari sebuah perjalanan intelektual dan artistik yang panjang bagi Ali Audah. Hubungan mereka mengilhami Ali Audah untuk terus berkontribusi dalam memperkaya dunia sastra dan seni Indonesia, serta menjadi bagian dari gerakan yang lebih besar menuju pemahaman yang lebih dalam tentang identitas budaya bangsa.

Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia pada akhir tahun 1949, Ali Audah memutuskan untuk pindah ke Bogor mengikuti jejak keluarganya. Kepindahannya ke Bogor dan tinggal di Kampung Arab Empang membuka babak baru dalam kehidupannya. Di Bogor, Ali aktif sebagai seorang wartawan, menulis untuk berbagai surat kabar seperti Pedoman Abadi, Indonesia Raya, Siasat, Kompas, dan Sinar Harapan. Aktivitas jurnalistiknya membantunya memahami lebih dalam dinamika sosial dan politik yang tengah berkembang di Indonesia pasca-kemerdekaan.

Tidak hanya sebagai wartawan, Ali Audah juga menunjukkan ketertarikannya yang serius terhadap kebudayaan dan permasalahan Islam. Ia mulai mempelajari Islam dengan lebih dalam dan mendalam, serta aktif menjadi pengajar agama Islam di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta. Selain itu, Ali juga pernah menjadi dosen Humaniora di Institut Pertanian Bogor (IPB), di mana ia berbagi pengetahuannya tentang aspek-aspek humaniora dengan generasi muda.

Keterlibatan Ali Audah sebagai pengajar dan dosen tidak hanya memperkaya wawasan dan pemahaman masyarakat sekitarnya tentang Islam dan humaniora, tetapi juga mencerminkan komitmen pribadinya untuk berkontribusi dalam pembangunan pendidikan dan pemahaman keagamaan di Indonesia. Dengan peran ganda sebagai wartawan dan pendidik, Ali Audah berhasil menciptakan dampak yang signifikan dalam dunia jurnalistik dan pendidikan di Bogor dan sekitarnya.

Ali Audah juga dikenal sebagai pendiri dan Dewan Pembina Yayasan Ibn Chaldun Bogor. Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum di Universitas yang dibangunnya. Dengan perannya dalam mendirikan yayasan dan memimpin fakultas, Ali Audah memberikan kontribusi yang berharga dalam pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan di Bogor. Tidak hanya sebagai seorang penulis dan pendidik, tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang berdedikasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memajukan masyarakat setempat.

Selain sebagai kritikus sastra, Ali Audah juga memiliki kontribusi yang besar dalam dunia sastra melalui karya-karya lainnya. Ia aktif menulis cerpen, sajak, esei, dan juga melakukan terjemahan karya-karya sastra penting. Beberapa karya terjemahannya antara lain adalah "Suasana Bergema" karya A. Hamid G.As-Sahar, "Sejarah Hidup Muhammad" karya Muhammad Husain Haekal, dan "Lorong Midaq" karya Naguib Mahfouz. 

Ali juga terlibat dalam proses menerjemahkan karya pujangga Iqbal yang terkenal, "The Reconstruction of Religious Thought in Islam," bersama dengan Goenawan Mohammad dan Taufiq Ismail. Melalui karyanya sebagai seorang terjemahan, Ali Audah membantu memperkenalkan karya-karya sastra yang berharga kepada pembaca Indonesia, serta memperluas cakrawala kebudayaan mereka dengan karya-karya dari penulis-penulis besar dari berbagai belahan dunia.

Menurut Budiman S. Hartoyo, Ali Audah adalah autodidak sejati yang "Tak Pernah Tamat Makan Bangku Sekolahan." Meskipun ia tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi dalam bahasa Arab, Ali mampu menguasai bahasa dan sastra Arab secara paripurna. Dengan dedikasi dan semangat belajarnya yang luar biasa, Ali Audah berhasil mengembangkan kemampuannya dalam bidang sastra Arab tanpa harus melalui pendidikan formal yang konvensional.

Berkat kemampuannya dalam bidang penerjemahan karya sastra, Ali Audah turut mendirikan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) dan pernah menjabat sebagai ketuanya. Melalui peranannya di HPI, Ali Audah berperan penting dalam memajukan dan mengakui pentingnya profesi penerjemah dalam industri sastra dan kebudayaan Indonesia.

Ali Audah adalah pendiri perusahaan penerbitan Pustaka Litera Antar Nusa, yang dirintisnya dan dikenal sebagai penerbit buku-buku berkualitas karya penulis Timur Tengah. Selain itu, ia juga menjadi penyempurna kelengkapan buku "Hayat Muhammad" karya DR Husain Haykal, yang kemudian diikuti dengan terbitnya buku "Empat Sahabat Rasul Utama" dari pengarang yang sama. Buku-buku tersebut merupakan biografi tentang Khulafaurrasyidin Abubakar, Umar, Usman, dan Ali radiallahuanhum.

Sebelumnya, Ali Audah meluncurkan terjemahan dan tafsir Al-Qur'an karya mufasir terkenal Abdullah Yusuf Ali. Salah satu karya masterpiece-nya adalah "Konkordansi Qur'an: Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur'an," yang memberikan kontribusi besar dalam mempermudah pencarian ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan kata-kata kunci. Dengan berbagai inisiatif penerbitan dan terjemahan yang dipimpinnya, Ali Audah telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperluas akses dan pemahaman terhadap karya-karya sastra Islam dan budaya Timur Tengah di Indonesia.

Untuk memperingati usianya yang ke-90 dan kontribusinya dalam dunia sastra dan penerjemahan di Indonesia, PDS HB Jassin bersama HPI dan Komunitas Salihara telah menyelenggarakan peluncuran buku "Legenda Zaman Kita: 90 Tahun Ali Audah (1924-2014)." Buku ini memuat pandangan para sastrawan, cendekiawan Muslim, dan penerjemah di Indonesia tentang Ali Audah, serta mengabadikan warisan intelektualnya bagi generasi mendatang.

Ali Audah menikahi Mariyam Audah, seorang perempuan peranakan Arab di Empang. Meskipun pernikahannya tidak dikaruniai anak, Ali sangat mencintai keponakan-keponakannya, anak-anak dari kakaknya, dimana ia turut mengasuhnya. Bahkan, salah seorang antaranya, Salim Audah, sudah seperti anak kandungnya sendiri dan menjadi penerus dari usahanya di bidang penerbitan. Ali meninggal di Bogor pada tanggal 20 Juni 2017, pada usia 92 tahun. Jenazahnya dimakamkan pada hari yang sama di Kampung Arab, di Pemakaman Los Lolongok di Empang, lahan pemakaman yang diperuntukan bagi warga keturunan Arab di Bogor sejak 1898, wakaf dari Syaikh Abdurrahman Bajened.

Dengan warisan intelektualnya yang mendalam dan dedikasinya dalam memperkaya dunia sastra dan kebudayaan, Ali Audah akan selalu dikenang sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah literatur Indonesia.


Oleh: Abdullah Abubakar Batarfie

1 Komentar untuk "DR. Ali Audah, Sastrawan Modern Indonesia"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel