Jejak Kerajaan Muara Beres

 

Siapa sangka, di balik nama sebuah tempat, tersimpan jejak sejarah besar yang nyaris terlupakan. Seperti halnya Kampung Keradenan, nama yang tetap hidup dan menjadi bagian dari identitas sejarah yang tak tergantikan. Nama ini diyakini berkaitan erat dengan keberadaan tokoh-tokoh bergelar raden, pewaris kerajaan lokal, dan sejarah panjang peradaban Sunda di wilayah ini. 

Nama Keradenan semakin hidup di hati masyarakat karena menjadi rumah bagi Masjid Al-Atiqiyah, masjid tua yang menjadi simbol peradaban Islam dan budaya Sunda di kampung ini, serta menjadi titik penting dalam penelusuran jejak kerajaan kecil yang pernah berdiri di bawah naungan Pajajaran: Kerajaan Muara Beres.

Didirikan pada tahun 1667 oleh Raden Syafei bin Raden Nasib, Masjid Al-Atiqiyah merupakan peninggalan monumental dari masa kejayaan Muara Beres. Raden Syafei diyakini sebagai keturunan langsung dari garis bangsawan Pajajaran, dan penerus dari trah kerajaan Muara Beres, sebuah entitas politik dan budaya yang dulunya berdiri di wilayah barat daya Pakuan, di tepian sungai purba Ciliwung atau Cihaliwung.

Kompleks Masjid Al-Atiqiyah tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menyimpan pusaka sejarah. Di dalamnya terdapat makam Raden Syafei, yang menjadi salah satu situs ziarah sejarah penting di Bogor. Tidak jauh dari sana, berdiri museum keris yang terletak di lantai dua masjid, menyimpan berbagai artefak, manuskrip, keris, dan bagan silsilah, semua menjadi saksi bisu peradaban Muara Beres yang pernah berjaya.

Menelusuri "Jejak Pewaris Sejarah" bersama Jalan Pagi Sejarah (Japas).

Inisiatif budaya Jalan Pagi Sejarah (Japas) oleh Johnny Pinot menjadi angin segar bagi pelestarian sejarah lokal. Dalam tajuk “Jejak Pewaris Sejarah”, Japas mengajak masyarakat menyambangi empat situs pemakaman para leluhur Bogor, termasuk pusara Raden Syafei di Masjid Al-Atiqiyah. Tujuannya tak lain adalah menghidupkan kembali narasi sejarah yang terpendam, memperkenalkan kembali kisah Muara Beres ke generasi masa kini.

Berdasarkan hipotesa penulis, pusat pemerintahan Muara Beres berada di sekitar pertemuan dua sungai, Ciliwung dan aliran ciangsana yang membentuk sebuah muara kecil. Dari sinilah nama “Muara Beres” berasal, sebagai tempat perhentian yang selesai setelah perjalanan dari jantung kerajaan Pajajaran, Pakuan. Pada masa lalu, sungai-sungai ini merupakan jalur utama penghubung antara pedalaman (dayeuh) dan pelabuhan di pesisir utara (Sunda Kalapa).

Kerajaan Muara Beres sendiri pernah dipimpin oleh Pangeran Surawisesa, putra Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, tokoh legendaris dari Kerajaan Pajajaran. Meskipun tidak banyak tercatat dalam literatur resmi, eksistensinya hidup melalui tutur lisan dan cerita rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Salah satu nama yang erat dengan Muara Beres adalah Kawung Pandak, yang diyakini sebagai nama ibu kota kerajaan tersebut. Kawung Pandak, yang berarti pohon kawung pendek, memiliki filosofi mendalam dalam budaya Sunda. Nama ini bahkan menjadi bagian dari identitas kota Bogor yang berasal dari pohon kawung (aren). Sayangnya, seiring waktu, nama ini mengalami distorsi dan kini lebih sering disebut sebagai “Kaum Pandak”, sebuah penyimpangan yang seharusnya diluruskan oleh para pemangku adat dan pemerhati sejarah.

Warisan Sejarah, Museum Keris di Masjid Al-Atiqiyah

Pelestarian warisan leluhur seperti keris, manuskrip, dan artefak sejarah lainnya di Masjid Al-Atiqiyah memerlukan perhatian serius. Perlu ada upaya untuk membangun penyimpanan yang lebih representatif, agar benda-benda bersejarah ini tetap terawat dan dapat dinikmati oleh generasi masa depan. Idealnya, semuanya tetap berada dalam satu kompleks dengan petilasan Raden Syafei agar kontinuitas historis dan spiritual tetap terjaga.

Beruntung, kampung Keradenan memiliki sosok budayawan dan pelestari sejarah, Raden Supadma atau akrab disapa Bapak Dadang. Peran beliau sebagai penjaga memori kolektif Muara Beres patut diapresiasi, baik oleh pemerintah daerah maupun komunitas sejarah. Sosoknya adalah miniatur hidup dari kejayaan masa silam yang terus berupaya menjaga agar sejarah tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga menjadi sumber kebanggaan dan jati diri.

Kerajaan Muara Beres mungkin tidak sebesar Majapahit atau Pajajaran, tetapi kisahnya tak kalah megah. Di antara lorong-lorong kecil, nama-nama bergelar raden, masjid tua, museum keris, dan cerita rakyat, sejarah Muara Beres terus bernafas. Kini saatnya masyarakat Bogor mengangkat kembali kisah ini, menjadikannya bagian dari narasi besar sejarah Nusantara.

Nama adalah jejak. Dan selama nama Keradenan masih disebut, selama pusaka masih dijaga, dan selama semangat sejarah masih menyala, Muara Beres akan tetap hidup dalam ingatan dan kebanggaan masyarakat Bogor.

Bogor, 22 Juni 2025
Abdullah Abubakar Batarfie


Posting Komentar untuk "Jejak Kerajaan Muara Beres"