Ustadz Umar Nadji Baraba, ulama Patriotik dan Penulis
Ustadz Umar Naji dalam seri perangko
menyambut Muktamar Al-Irsyad ke-37
USTADZ UMAR NAJI, LULUSAN PERTAMA AL-IRSYAD BATAVIA
Selepas berdirinya Al-Irsyad di Jakarta, 6 September 1914, sekolah yang dinaunginya dalam waktu relatif cepat telah banyak melahirkan lulusan-lulusan terbaiknya. Dua diantaranya memiliki nama yang sama dan sama-sama berhasil lulus memperoleh ijazah Madrasah pada jenjang Muallimin dibawah pengajaran dan bimbingan gurunya Syaikh Ahmad Surkati. Semenjak saat itu pula, keduanya sama-sama mengabdikan diri untuk almamaternya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, hingga disepanjang hayat keduanya.
Kedua nama Umar yang dijulukinya sebagai "UMARAEN" oleh guru yang mengajarinya itu ialah Umar bin Sulaiman bin Naji Baraba dan Umar bin Salim Hubeis. Dua orang bersaudara satu seperguruan ini kemudian tampil menjadi penerus estafeta perjuangan dakwah Surkati yang dilahirkannya dari rahim Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah Batavia (Jakarta).
Umar bin Salim Hubeis atau biasa disebut dengan Ustadz Umar Hubeis saja, irsyadi kelahiran Betawi ini telah resmi menjadi "arek suroboyo". Pengabdian dan ketokohannya telah membumi di kota barunya Surabaya.
Banyak kalangan yang tidak mengira bahwa Ustadz Umar Hubeis adalah putera asli dari tanah Betawi. Slogannya yang akan menetap hingga akhir hayatnya sebagai komitmen pengabdian untuk almamaternya di kota keduanya itu, membuat namanya kian dikenal luas sebagai tokoh dan ulama para pemuka Islam di kota Pahlawan.
Ia seolah mengikuti jejak gurunya Syaikh Ahmad Surkati, saat memutuskan untuk meninggalkan kota suci mekkah pergi berlayar ke tanah Jawa (Indonesia), di negeri tempatnya berhijrah dan berdakwah yang setelah "bertahun-tahun berkecimpung dan memimpin Al-Irsyad di Indonesia, pada setiap dzarrah dalam badannya, telah berganti menjadi unsur-unsur Indonesia dan akan tetap hidup di tanah air barunya Indonesia hingga akhir hayatnya.
Sedangkan saudara seperguruannya Umar Sulaiman Naji atau biasa disebut dengan Ustadz Umar Naji, mengabdikan dirinya di kota Pekalongan. Penugasannya di "Kota Batik" tersebut terkait erat dengan terbentuknya cabang Al-Irsyad di kota itu pada 20 November 1917, sebagai cabang kedua yang didirikan setelah terbentuknya cabang pertama Al-Irsyad di kota Tegal, masih dalam tahun yang sama, yaitu 29 Agustus 1917.
Di kota keduanya itulah, Ustadz Umar Naji tampil bukan hanya sebagai kepala sekolah Al-Irsyad, tapi juga banyak menelorkan serta mewujudkan berbagai gagasan-gagasan cemerlangnya, salah satunya adalah menerbitkan dan memimpin majalah bulanan berbahasa arab As-Shifa dan pembentukan Nahdatul Mu'minat yang untuk pertama kalinya dipimpin oleh Ibu Khadidjah Al-Bakri. Nahdatul Mu'minat sebagai cikal bakal organisasi Wanita Al-Irsyad yang sekarang kita kenal, konon disebut-sebut sebagai organisasi pergerakan tempat berhimpunnya perempuan pertama peranakan Arab di Indonesia.
Ustadz Said Thalib adalah satu diantara sederet panjang alumni Al-Irsyad Pekalongan yang telah beruntung mendapatkan didikan dan bimbingan langsung dari al-Ustadz Umar Naji. Ulama dan penulis produktif yang memiliki nama pena H.S.A.Alhamdani kelahiran Kuala Kapuas 1903 (kalteng) yang dikenal sebagai "Faqih Al-Irsyad" ini, bersama gurunya al-Ustadz Umar Naji pernah duduk sebagai anggota Majelis Ifta wa Tarjih yang diketuai oleh Syaikh Ahmad Surkati sejak tahun 1939.
H.S.A. Alhamdani banyak menulis kitab, terutama tulisan-tulisannya yang banyak mengupas tentang aneka masalah fiqhiyah yang aktual dalam dinamika umat Islam. Bahasan masalah dalam kitabnya tidak lekang dimakan zaman dan tetap menjawab semua persoalan yang berkembang pada umat Islam hingga kini.
Ustadz Umar Naji, tengah sebagai guru di Madrasah Al-Irsyad Batavia
SULAIMAN NAJI, AYAHANDA USTADZ UMAR NAJI
Ustadz Umar Naji atau Umar bin Sulaiman bin Umar bin Naji Baraba, dilahirkan pada tahun 1900 di kota Heyderabad, kota terbesar kelima di India saat ini. Ia adalah anak tunggal dari seorang ibu peranakan Arab yang juga lahir di kota itu. (menurut keterangan puteranya, ada kemungkinan ibunya masih bermarga sama dengan ayahnya dari qabilah Al Raba' asal Hadramaut yang sudah berdiaspora di negeri Hindustan)
Ayahnya Sulaiman bin Umar bin Naji Baraba berimigrasi dari Hadramaut ke Heyderabad pada masa kekuasaan Mir Mahbub Ali Khan Nizam-Ul-Mulk Asaf Jah VI, dinasti yang mengusai kota itu di bawah kekuasaan Maharaja Mughal yang sejak 1798 telah menyerahkan urusan luar negerinya kepada British East India Company dan menjadi salah satu wilayah kerajaan (princely state) Britania di India, sebelum akhirnya dipaksa bergabung dengan India setelah pemisahan wilayah tersebut menjadi India dan Pakistan pada tahun 1947.
Awal tahun 1900, ayahnya Sulaiman kemudian hijrah ke Indonesia dan menikah untuk yang kedua kalinya dengan Badriah binti Saleh bin Amir Baraba, wanita peranakan Arab di Buitenzorg (Bogor) dan menetap di Pekojan - Batavia. Dari pasangan ini kemudian melahirkan dua orang anak, yaitu Abdul Aziz bin Sulaiman Baraba dan Zahra bt Sulaiman Baraba. Umar anak tertua dari istri pertamanya itu diajak serta dari kota kelahirannya di Heyderabad dan tinggal bersamanya di Batavia, kala itu Ia masih berusia 5 tahun.
Sejak kedatangan Syaikh Ahmad Surkati ke Indonesia pada bulan Maret 1911, ayahnya Sulaiman memiliki hubungan yang sudah dekat dan akrab. Karena itu ia turut andil serta memiliki peran penting pada awal kelahiran Al-Irsyad, sejak sahabatnya Syaikh Ahmad Surkati memilih meninggalkan Jamiatul Khair yang mengundangnya datang ke Indonesia dan memutuskan untuk mendirikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Sulaiman bin Umar bin Naji Baraba dipandang memiliki pengetahuan agama yang mumpuni, karena itu Ia dapat dengan mudah dan cepat memahami konsep dasar (mabadi) yang menjadi tujuan dan landasan berdirinya madrasah Al-Irsyad yang dirintis, dikendalikan dan dikelola oleh sahabatnya Syaikh Ahmad Surkati, yang pada awal kelahirannya telah menuai banyak kontroversi dan fitnah-fitnah keji yang dilancarkan oleh pihak "lawan" dari kalangan konservatif dimasanya.
Bersama para pemuka Arab lainnya di Batavia, ia telah menjadi garda terdepan dalam membela dan memperteguh pendirian Al-Irsyad. Ayahnya Sulaiman, termasuk salah satu diantara 19 orang tokoh yang duduk sebagai komisaris pada hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Al-Irsyad sejak diterbitkannya besluit oleh pemerintah kolonial belanda 31 Agustus 1915. Organ penting jumiyyah ditingkat pusat ini berfungsi menjadi tahkim dalam setiap persoalan yang dihadapi organisasi dan ikut menentukan disetiap kebijakan penting yang akan diputuskan oleh Pimpinan Pusat.
USTADZ UMAR NAJI, KEPALA SEKOLAH PERTAMA AL-IRSYAD CABANG PEKALONGAN
Umar Naji tercatat sebagai salah satu dari empat orang angkatan pertama lulusan Surkati yang mendapatkan pelajaran takhasus sejak pertama kalinya pembukaan madrasah Al-Irsyad di Jati Baroe, Batavia tahun 1914. Tiga dari empat orang muridnya itu adalah Salim bin Awad Sungkar Al-Urmei, Abdullah Agil Badjerei dan Abdullah Salim Alatas.
Untuk menguji kemampuan dari keempat bibit unggul angkatan pertamanya itu, Umar Naji bersama dua orang lainnya, Abdullah Salim Alatas dan Abdullah Agil Badjerei, langsung ditempatkan sebagai pengajar pada almamaternya, madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Batavia, sebelum akhirnya ketiganya disebar untuk memimpin madrasah-madrasah baru yang dibuka dalam waktu yang hampir bersamaan, baik di Batavia maupun di luar Batavia, sebagai bagian dari usaha Al-Irsyad dalam rangka memperlebar sayap perjuangannya dengan membentuk cabang-cabang barunya.
Semenjak uji coba dan penugasannya sebagai pengajar yang teruji kemampuannya dari hasil benih yang telah disemai dan tumbuh menjadi bibit-bibit unggul itulah, ketiganya pun kemudian menyandang gelar barunya sebagai guru, yang ditakzimkan dengan panggilan al-Ustadz.
Selain dipersiapkan khusus mendampingi aktivitas Surkati berdakwah dengan meniadi penerjemah tunggalnya dan juga sekretaris pribadinya, yang diantara kegiatan-kegiatannya adalah menerjemahkan kepada publik, baik itu muhadhoroh, diskusi maupun dialog serta mentarjimkan materi tulisan dan karya tulis lainnya. Al-Ustad Abdullah Agil Badjerei, telah diminta oleh gurunya "Mualim Surkati" untuk tetap berada di Batavia, sekaligus sebagai pengajar dan menjadi kepala madrasah kedua yang ada di Batavia, madrasah Al-Irsyad di Krukut yang secara resmi dibuka sejak 15 Agustus 1918.
Sementara itu, selepas menjadi guru di madrasah Al-Irsyad Batavia, al-Ustadz Abdullah bin Salim Alatas, ayah dari Ali Alatas (alex) mantan Menlu RI, ditugaskan untuk menjadi kepala madrasah saat untuk pertama kalinya Al-Irsyad membuka cabangnya di kota Tegal pada 29 Agustus 1917. Sedangkan kepada Ustadz Umar Naji, alumni dari empat angkatan pertamanya tersebut setelah selesai melaksanakan masa tugasnya mengajar di madrasah Al-Irsyad Batavia, diberikan kepercayaan untuk memimpin madrasah Al-Irsyad di kota Pekalongan, sebagai cabang kedua yang dibentuk sejak 20 November 1917.
Selama masa penugasannya di kota Pekalongan itulah, selain menelorkan lulusan-lulusan terbaiknya lewat Madrasah Al-Irsyad yang dipimpinnya, beliau (ustadz Umar Naji) melakukan safari dakwah ke berbagai tempat di pelosok-pelosok Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Satu diantara sahabat seperjuangannya dalam berdakwah membangun kekuatan umat Islam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapinya adalah KH Abdul Gaffar Ismail.
Kedekatan al-Ustadz Umar Naji dengan KH Abdul Gaffar Ismail mendapatkan kesaksian dari penulis, yang didengar lansung dari pernyataan KH Kosim Nurzeha, Kyai kondang yang meroket namanya dalam berdakwah melalui radio Kayu Manis dan kyai yang sempat dekat dengan keluarga Cendana itu menuturkan bahwa; "Ustadz Umar Naji adalah guru tempat saya menimba ilmu agama dan sahabat guru saya KH Abdul Gaffar Ismail di kota Pekalongan".
Lahirnya Pondok Modern Darussalam Gontor di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, atau sering dikenal sebagai Pondok Modern Gontor, sedikit banyak pernah mendapatkan sentuhan dari al-ustadz Umar Naji. Hal itu pun senada dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Cak Nur (sapaan akrab Nurcholis Majid), dimana Kyai Sahal banyak mendapatkan bahan-bahan dari Al Irsyad saat akan mendirikan pondok pesantren tersebut, terutama ciri dari gerakan moderenisasinya yang telah memberinya inspirasi.
Kyai Hasbullah Baihaqie, salah seorang alumni Gontor pernah bercerita pada penulis tentang bagaimana kharismanya ustadz Umar Naji dimata para pendiri dan pengajar Gontor. Menurut penuturannya, pondok yang sejak didiriikan pada tahun 1926 itu, hampir dapat dipastikan amat ketat dalam memberlakukan untuk menghentikan ataupun meliburkan kegiatan para santrinya dari aktivitas jam belajar.
Tapi hari itu, semua santri tiba-tiba diliburkan dan meminta seluruhnya berkumpul di halaman pesantren untuk menyambut kedatangan tamu penting, yang hari itu akan datang mengunjungi pondok. Tentu saja dalam benak santri dan staf pengajar, tamu itu bukanlah orang sembarangan dan pastinya tokoh yang terpandang dan sangat berpengaruh, ujar Hasbullah.
Hingga waktu itu pun tiba, Hasbullah Baihaqi menyaksikan dengan harunya, tamu yang telah disambut oleh barisan santri yang berdiri berjejer dengan penuh hormat dan gempita tersebut adalah Ustadz Umar Naji gurunya dari Bogor dan juga sahabat ayahnya Mualim Baihaqie. Mualim Baihaqi adalah ulama Bogor yang aktiv memberikan pengajian rutin di Masjid Al-Irsyad cabang Bogor.
Meski jarak tugas yang memisahkan antara Batavia dan Pekalongan, posisi dan kedudukan al-Ustadz Umar Naji sebagai salah seorang alumni terbaik angkatan pertamanya itu, tetap diperhitungkan dan terlibat dalam berbagai forum-forum resmi umat Islam berskala nasional yang dihadiri oleh gurunya. Bersama dengan Ustadz Abdullah Agil Badjerei dan Ustadz Umar Hubeis, Ia mendampingi Surkati dalam arena Kongres Umat Islam pertama yang berlangsung di Cirebon tahun 1922.
Kegiatan lainnya yang diselenggarakan secara berkala dalam berbagai forum Umat Islam Indonesia hampir tidak pernah absen dihadirinya oleh Ustadz Umar Naji mewakili Al-Irsyad. Termasuk kehadirannya dalam forum-forum perdebatan yang mengupas tuntas tentang isu-isu yang muncul dalam dinamika umat Islam pada masa kolonial Belanda.
Pada tahun 1926, Ustadz Umar Naji bersama Muhammad bin Thalib menjadi utusan Al-Irsyad mewakili Syaikh Ahmad Surkati, sebagai delegasi resmi ulama-ulama Indonesia dalam Muktamar Alam Islami di Mekkah, bersama-sama dengan H.O.S. Tjokroaminoto dan K.H. Mas Mansyur. Seluruh delegasi tersebut diterima dan beraudiensi dengan Raja Abdul Aziz Ass-Saud di istana Kerajaan Saudi Arabia.
Bersama dengan tokoh-tokoh Islam terkemuka Indonesia, Ustadz Umar Naji bersama dengan Ustadz Umar Hubeis, tercatat sebagai salah satu pengurus dalam Majelis Islam A'la Indonesia atau MIAI, sebuah badan federasi ormas Islam yang dihasilkan dari hasi pertemuan 18-21 September 1937. Badan ini untuk pertama kalinya dicetuskan oleh KH Hasyim Asy'ari dan beliau sendiri duduk sebagai ketua Badan Penesehat MIAI dengan beberapa anggotanya, antaranya adalah Syaikh Ahmad Surkati, K.H.M. Mansjoer dan A.Hassan.
USTADZ UMAR NAJI, ULAMA YANG ORGANISATORIS
Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya Al-Irsyad berikut dinamika yang dihadapinya, terdapat tiga lapisan basis anggotanya yang telah terbagi menjadi tiga kelompok. Yang pertama adalah figur-figur dari golongan "tua" sebagai para pendiri dan pengurus awal. Dua kelompok berikutnya ialah alumni atau "mutakharirijiin" keluaran sekolah-sekolah Al-Irsyad secara menyeluruh dan lulusan mu'allimin yang terbentuk secara paripurna untuk dipersiapkan sebagai guru-guru dengan keahlian khusus dalam disiplin ilmu yang dikuasainya. Menurut H.Hussein Badjeri; ketiga kelompok basis anggota ini satu sama lain kadangkala sering terjadi benturan, karena itu oleh Surkati ketiga kelompok tersebut digarap dengan memilah ketiganya meniadi kesatuan tersendiri. Untuk para alumninya, yang merupakan intelektual muda Al-Irsyad, dihimpun dan dibinanya sebagai kader-kader penerus.
Sejak menetap di Lawang, gagasan untuk memilah tiga lapisan itu oleh Surkati kemudian didahuluinya dengan menyelenggarakan kongres pendahuluan (voorlopig Conggres) para alumnus Al-Irsyad yang berlangsung di kota Surabaya pada 11 Maret 1930, yang dalam keputusannya telah mengangkat Ustadz Umar Naji dan Ustadz Muhammad Munif, masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Badan Eksekutif Komite Kongres yang berkedudukan di kota Pekalongan. Badan yang bekerja untuk mempersiapkan kongres ini berhasil melaksanakan KONGRES PEMUDA AL-IRSYAD di Batavia, pada 12 s.d 13 Mei 1930.
KONGRES PEMUDA AL-IRSYAD yang semestinya tercatat sebagai momentum tanggal kelahiran Pemuda Al-Irsyad ini, berhasil pula membentuk Hoofdkwartier atau setingkat Pengurus Besar. Penggunaan istilah Hoofdkwartier ini untuk membedakan dengan Pengurus Besar (Hoofdbestuur) yang sudah resmi digunakan oleh induk organisasinya atau yang sekarang dikenal dengan istilah Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
Hoofdkwartier Pemuda Al-Irsyad yang berhasil dibentuk dan diputuskan dalam Kongres Pemuda Al-Irsyad tersebut diketuai langsung oleh Syaikh Ahmad Surkati dan Awab Albarqi sebagai sekretaris. Dibantu oleh tiga orang anggota pengurus terdiri dari Abdullah Bajerei, Umar Naji dan Umar Hubeis.
Kongres Pemuda Al-Irsyad yang mengangkat makalah utamanya dengan mengambil tema "Masa Depan Pemuda Al-Irsyad", ditulis dan disampaikan oleh Ustadz Umar Hubeis ini, selain terbentuknya Hoofdkwartier Pemuda Al-Irsyad, terdapat beberapa keputusan penting lainnya antaranya adalah mendirikan usaha dagang, dengan memilih kader yang memiliki jiwa intrepreneur, dimana pilihan itu jatuh kepada Ali Hubeis yang ditunjuknya sebagai Direktur usaha berkapital (modal awal) f.25.000, tersebut. Perusahaan (Maatschappij) yang beranggotakan empat orang Komisaris terdiri dari Hasan Argubi, Abdullah Agil Badjerei, Muhammad bin Abud Alamudi dan Ahmad Masy'abi ini, ditujukan untuk mendatangkan nilai tambah dalam rangka pembiayaan Hoofdkwartier.
Meski Ustadz Umar Naji sudah terlibat dalam kancah organisasi berskala nasional sejak tahun 1929, kader-kader intelektual muda yang dihimpun oleh Surkati lewat Pemuda Al-Irsyad yang dibentuknya, kader-kader muda yang terbinanya termasuk Ustadz Umar Naji, mulai mengisi estafeta dalam kepempinan Al-Irsyad dan mereka duduk sebagai Hoofdbestuur Al-Irsyad, dengan komposisi yang terwakili dan terwarnai oleh tiga lapisan basis anggotanya tersebut.
Setelah berlangsungnya Kongres Al-Irsyad di Batavia, 6 s.d 10 Mei 1931, Ustadz Umar Naji bersama tiga orang kader muda lainnya, ustadz Ali Hubeis, Ustadz Abdullah Agil Badjerei dan Ustadz Ali Harharah tampil sebagai Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Al-Irsyad dalam priodisasi yang diketuai oleh Ali bin Sadi Mughits. Dalam formasi ini Ustadz Umar Naji ditunjuk sebagai Ketua Majelis Pendidikan yang diberi tugas untuk memperbaiki dan menyempurnakan mutu pendidikan sekolah-sekolah Al-Irsyad. Termasuk menerbitkan buku mata pelajaran sekolah, menetapkan program pendidikan nasional dan menyusun peraturan dan juklak untuk para kepala sekolah-sekolah Al-Irsyad.
Di priodisasi ini, Ustadz Umar Naji dengan tim yang terdiri dari Syaikh Ahmad Surkati, Ustadz Abdullah Agil Badjerei, Ustadz Umar Hubeis, Ustadz Ali Hubeis dan Sayyid Muhammad Abud Alamudi terpilih sebagai tim perumus dan penyempurna Konstitusi organisasi (Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga) Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Tim tersebut melaporkan hasil kerjanya kepada Jaarlijksch Vergadering pada bulan Agustus 1931, terhitung bekerja merumuskan konstitusi tersebut dalam waktu tiga bulan saja sejak berlangsungnya kongres.
Sampai dengan Muktamar Al-Irsyad ke 28 Tahun 1954, Ustadz Umar Naji selalu tampil sebagai penasehat dan anggota pengurus dalam kepengurusan Al-Irsyad ditingkat pusat. Dalam periode tahun 1954, bersama dengan banyak tokoh yang terwakili dari berbagai cabang yang duduk sebagai anggota paripurna Pengurus Besar, tercatat pula nama DR. Mohammad Natsir (mantan Ketua Umum Masyumi dan Perdana Menteri RI) sebagai penasehat resminya.
Kehadiran Ustadz Umar Naji yang untuk terakhir kalinya pada pentas nasional Al-Irsyad, adalah saat menghadiri Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyyah Ke-30 di Bondowoso tahun 1970. Bersama tokoh-tokoh Al-Irsyad yang masih hidup saat itu, ia berhasil merumuskan kembali Pedoman Azasi Al-Irsyad atau Mabadi' Al-Irsyad.
Sejak mulai kembali ke kota Bogor, dan menetap hingga akhir hayatnya, Ustadz Umar Naji pernah memimpin Al-Irsyad cabang Bogor, yang dipilih sebagai ketua cabang pada periode 12 Agustus 1950 s.d 13 Desember 1952. Dan selama di Bogor itulah, profesinya sebagai pengajar tetap dilakoninya, menjadi guru dan kepala sekolah Al-Irsyad Bogor dan pengajar pada beberapa perguruan lainnya, antaranya sebagai guru Agama di SMA milik pemerintah (sekolah negeri).
USTADZ UMAR NAJI, JURNALIS DAN PENULIS PRODUKTIF
Ash-Shifa dan Al-Irsyad adalah dua nama majalah yang pernah terbit di Pekalongan. Kedua majalah tersebut dipimpin dan diasuh langsung oleh Uatadz Umar Naji. Meski kedua usia majalah itu tidak berlangsung lama, tapi sejak kehadirannya pada zaman kolonial Hindia Belanda telah menjadi organ penting organisasi sebagai penyedia informasi mengenai pertumbuhan jum'iyyah, perkembangan pergerakan Islam di Indonesia, hingga issu-issu keumatan yang terkupas dalam berbagai artikel yang ditulis secara ilmiah baik oleh beliau sendiri (Ustadz Umar Naji), maupun tulisan-tulisan bermutu lainnya dari ulama-ulama terkemuka, termasuk artikel dan ulasan yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Surkati.
Jika majalah Ash-Shifa yang bertahan terbit antara tahun 1920 s.d 1923 dan penerbitannya tersebut merupakan gagasan langsung dari Ustadz Umar Naji sendiri dan berada di bawah naungan Al-Irsyad Pekalongan, majalah Al-Irsyad, sebagai majalah tiga bulanan, merupakan amar keputusan congres Al-Irsyad yang berlangsung di kota Surabaya 27 April 1933.
Baik majalah 'Ash-Shifa' maupun majalah tiga bulanan 'Al-Irsyad', kedua organ penting sebagai media informasi internal dan dunia Islam, dan juga sebagai media literasi ilmu pengetahuan ini, keduanya majalah tersebut terbit dalam bahasa Arab. Ketika bahan bacaan masih sangat terbatas dan terbilang langka, Majalah Ash-Shifa dan Majalah Tiga Bulanan Al-Irsyad adalah salah satu sumber pengetahuan penting bagi umat Islam, khususnya di Jawa pada dekade 1920-an dan 1930-an.
Di masa kolonial, masa saat dimana umat Islam terbelenggu dari penguasaan pengetahuan yang jumud, liberalisasi yang ditumbuh kembangkan oleh pemikiran orientalis kaum barat, serta pemikiran-pemikiran lainnya yang menjadikan umat Islam terbelakang dan "bodoh". Pembangunan literasi bagi kalangan masyarakat Indonesia dikala itu, khususnya umat Islam, salah satunya ditopang oleh kehadiran majalah-majalah ataupun brosur yang diterbitkan oleh Al-Irsyad, termasuk antaranya, Ash-Shifa dan Al-Irsyad, yang terbit di kota Pekalongan di bawah pimpinan Al-Ustad Umar Naji.
Beedasarkan sumber dari buku Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, H.Hussein Badjerei; Tahun 1920 di Surabaya sebuah surat kabar berbahasa Arab diterbitkan oleh Al-Irsyad dengan nama As-Salam yang nomor perdananya terbit tanggal 29 April 1920, redaksinya dipimpin oleh Muhammad Utsman Alhashimi, disponsori oleh Umar Manggusy dan Roebaya bin Thalib dan dicetak oleh Sulaiman Mar'ie. Surat kabar ini hanya terbit satu nomor saja dan sebagai gantinya diterbitkan sebuah koran mingguan dalam bahasa Arab bernama Al-Irsyad, nomor perdananya terbit tanggal 11 Juni 1920 dan mampu bertahan hingga akhir tahun 1921. Dan yang terkenal lainnya adalah Majalah Al-Mursyid dibawah asuhan Ustadz Umar Hubeis.
Beberapa media lainnya yang juga sempat terbit di kota Surabaya adalah majalah mingguan Al Qisthas ( terbit perdana 3 Februari 1923) dipimpin dan ditangani oleh Umar bin Ali Makarim. Soeara Santrie, majalah bulanan untuk Pelajar dalam aksara jawa dengan tulisan Arab yang terbit antara 1923-1924. Koran dwimingguan Al-Ahqaf, terbit dalam waktu singkat, tahun 1925, diasuh oleh Ustadz Umar Hubeis. Ada pula Majalah Ad-Dahna (1928-1930), Al-Mishbah (1928).
Majalah Adzdzakhirah Al-Islamijjah diterbitkan di Batavia yang mampu bertahan terbit sebanyak sepuluh nomor; september 1923 - Mei 1924, dipimpin dan diasuh langsung oleh Syaikh Ahmad Surkati. Masih di Batavia pernah terbit pula majalah mingguan berbahasa Arab Al-Maarif (12 Mei 1927), pimpinam Ustadz Abul Fadhel Surkati, adik kandung Syaikh Ahmad Surkati. Dan majalah Al-Ishah, sebuah majalah mingguan bahasa Arab pimpinan Ustadz Ali Harharah (22 Desember 1930). Dan bisa jadi media-media lainnya, yang juga pernah diterbitkan di kota-kota Indonesia, termasuk majalah Al-Wifaq, koran Al-Haq dan majalah Attauhied yang ketiganya pernah diterbitkan di Buitenzorg (Bogor).
Dalam majalah-majalah dan koran yang diterbitkan di atas, ustadz Umar Naji juga aktif menulis ragam, termasuk tulisan-tulisan lainnya yang dimuat oleh berbagai majalah maupun koran yang diterbitkan oleh berbagai kalangan umat Islam, baik yang terbit di tanah air maupun di luar negeri, termasuk antaranya dalam majalah Al-Fath yang terbit di Cairo, Mesir.
Akan tetapi, itu tidak berarti bahwa Al-Irsyad hanya menyediakan majalah maupun koran saja sebagai sumber informasi dan inspirasi bagi umat. Ada kerja literasi lain yang juga dilakukannya di era kolonial, saat dimana tengah berkobarnya semangat gerakan dan bangkitnya rasa nasionalisme keindonesiaa. Dan kerja literasi itu adalah dengan menyediakan sumber pengetahuan yang lebih luas dengan tema beragam dalam bentuk buku. Salah satunya adalah kitab karangan Ustadz Umar Naji; Risalah Titel-Titel Sayyid.
Risalah itu ditulis oleh Ustadz Umar Naji kala tersiar akan kekeliruan di kalangan umat Islam, khususnya isu-isu dalam berbagai media lokal dan luar negeri yang ramai menyoal tentang gelar sayyid. Risalah tulisan ustadz Umar Naji tersebut memberi penjelasan bahwa perkataan sayyid itu artinya adalah tuan dan dapat digunakan kepada siapa saja untuk sebuah penghormatan, sedangkan penggunaaan syaikh ditujukan bagi mereka untuk kepala keagamaan atau ahli dalam bidang pengetahuan keagamaam, seperti halnya syaikhul islam.
Kitab Risalah Titel-Titel Sayyid yang ditulis oleh Ustadz Umar Naji tersebut, kemudian mendapatkan tanggapan dari umat Islam, baik yang pro maupun kontra, termasuk reaksi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Untuk itu dalam risalah resmi berikutnya, yang diterbitkan oleh Hoofdbestuur Al-Irsyad, risalah tulisan Ustadz Umar Naji diberi judul baru menjadi; Titel-Titel Sayyid djadi oeroesan, Pemerintah tjampoer tangan? Keterangan dan penerangan djelas tentang hak dan hoekoem jang njata di dalam Islam.
Dalam surat-surat Soekarno dari Endeh kepada A.Hassan yang dimuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Sukarno antara lain msnyatakan:
"Kemudian daripada itu, djika saudara-saudara ada sedia, saja minta sebuah risalah jang membitjarakan soal "sajjid". Ini buat saja bandingkan dengan alasan-alasan saja sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal jang beribu kali lebih besar dan lebih sulit daripada soal "sajjid" itu, maka toch menurut kejakinan saja, salah satu ketjelaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia jang menghampiri kemusjrikan itu. Alasan-alasan kaum "sajjid", misalnja mereka punja brosjur "Boekti kebenaran", saja sudah batja, tetapi tidak bisa mejakinkan saja. Tersesatlah orang jang mengira, bahwa Islam mengenal suatu "aristokrasi Islam".Tiada suatu agama jang menghendaki kesama-rataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab mematahkan djiwanja sesuatu agama dan ummat, oleh karena pengermatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebentjanaan!..."
Karya tulis Ustadz Umar Naji lainnya yang berhasil menjadi sebuah buku, meski masih dalam bentuk manuskrip adalah "Taarikh Tsaurah Al-Ishlaah wal Irshaad bi Indonesia jilid 1". Buku tentang sejarah Al-Irsyad itu adalah tugas yang diberikan kepadanya secara resmi oleh Pengurus Besar Al-Irsyad, yang selama dalam penulisannya tersebut, Ustadz Umar Naji telah dibebas tugaskan untuk tidak mengajar.
Tapi sayangnya, manuskrip itu terpaksa tidak untuk diterbitkan oleh Al-Irsyad, karena dinilai ada persepesi yang belum pas dan dikhawatirkan akan mengundang kontroversi sejarah dan belum sempat untuk diperbaiki kembali. Karena sebelum perbaikan, bahan dan kelanjutan dari kitab itu, dihilangkan dengan secara sengaja oleh orang yang tidak bertanggung jawab, termasuk hilangnya karya ustadz Umar Naji yang seharusnya akan menjadi tulisan monumental karya ulama Al-Irsyad, Tafsir Al-Qur'an yang ditulisnya setelah cukup lama, selama bertahun-tahun.
Kebiasaannya dalam menulis, menurut kesaksian salah satu muridnya di Bogor kepada penulis, dimasa tuanya tangan ustadz Umar Naji mengalami sedikit perubahan, tangannya melekuk (bengkok) dan setiap pagi secara rutin dipijat menggunakan minyak zaitun oleh anak kesayangannya Nekmah bt Umar Naji, satu-satunya anak perempuan yang dia miliki dari keenam orang anaknya.
USTADZ UMAR NAJI, ULAMA DAN POLITISI DARI PARTAI MASYUMI
Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat Masyumi yang sudah berdiri sejak tahun 1943 dan kemudian merubah menjadi Partai Politik selepas Kemerdekaan RI pada 7 November 1945, merupakan rumah besar bagi umat Islam yang didirikan sebagai wadah pemersatu dalam bidang politik.
Al-Irsyad sebagai salah satu ormas yang turut membidani kelahirannya, adalah anggota istimewa dari Partai Masyumi ini, termasuk keterwakilan anggotanya sebagai anggota legislatif dari Partai tersebut, baik ditingkat pusat maupun daerah. Dalam bidang poitik itulah, pada tahun 1946, Ustadz Umar Naji pernah pula duduk menjadi anggota Legislatif dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota Bogor dari unsur Partai Masyumi.
USTADZ UMAR NAJI, PEJUANG KEMERDEKAAN ARABIA SELATAN
Sebelum peleburan wilayah Yaman Selatan dan Yaman Utara menjadi sebuah negara berdaulat berbentuk Republik, wilayah Yaman Selatan yang dua kota besarnya meliputi Aden dan Hadramaut, sejak masa kekuasaan monarkinya, kedua wilayah tersebut berada dibawah pengaruh protektorat Britania Raya atau kerajaan Inggris.
Yaman selatan atau dimasa dulu terkenal dengan istilah Arabia Selatan ini, sejak berada di bawah kekuasaan monarki, sultan-sultan yang berkuasa tersebut ada di bawah kontrol kerajaan Inggris dan hanya memiliki kewenangan terbatas pada urusan dalam negeri saja. Sebagai negeri yang terjajah, hal itu menjadikan Arabia Selatan menjadikan negeri yang tidak berkembang maju, baik dalam bidang politik, pendididikan dan ekonomi.
Adanya spirit dari rasa nasionalisme anti kolonialisme dan propaganda perjuangan negara-negara Asia dan Afrika, terutama kemerdekaan diri atas semua bangsa dari penjajahan kolonialisme barat, bahwa penjajahan adalah sesuatu yang harus dihapuskan dari muka bumi. Gagasan untuk memerdekaan diri Arabia Selatan juga telah digelorakan dan menjadi sebuah cita-cita yang diperjuangan oleh warga masyarakat keturunan Arab yang hampir tersebar disemua negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Dengan dukungan penuh dari pemerintah Indonesia sebagai pelopor diplomasi Asia Afrika melalui Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di kota Bandung, disokong oleh berbagai pihak, baik dari kalangan tokoh-tokoh nasionalis Indonesia seperti dari P.N.I, sebuah partai politik yang didirikan Ir.Sukarno, maupun dari tokoh-tokoh dan kekuatan politik umat Islam Indonesia, antaranya Masyumi, P.S.I.I dan Nahdlatul Ulama. Bersama dengan tokoh-tokoh lainnya, al-Ustadz Umar Naji membentuk Badan Pedjoangan Kemerdekaan Arabia Selatan di Jakarta.
Badan yang di deklarasikan pada 1 Juli 1956 ini, melakukan propaganda dengan mengajak "seluruh petjinta Tanah Air Indonesia dari putera-putera Arabia Selatan, baik yang warga negara maupun yang bukan, semua golongan yang berdjiwa Islam atau yang berdjiwa satria (nasionalis) untuk menolak segala matjam tjorak kedaliman pendjadjahan, untuk turut aktif pada pergerakan kemerdekaan Arabia Selatan.
Ustadz Umar Naji bersama
Badan Perdjoangan Kemerdekaan
Arabia Selatan
Tujuan Badan Perdjoangan Kemerdekaan Arabia Selatan, yang dikutip dari majalahnya "Suara Arabia", sebagai corong resmi yang ditulis dalam dua bahasa ini, Arab dan Indonesia. Menurut Ustadz Umar Naji, gerakan Badan ini mempunyai dua tujuan, yaitu;
PERTAMA : menjedarkan dan mendorong putera-putera Arabia Selatan, baik jang disini maupun disana, kearah membebaskan diri dari ikatam-ikatan rauhani dan djasamani jang tidak adil. Diantaranja memerdekakan Tanah Airnja dari kekuasaan asing.
KEDUA : Mengingat, bahwa Masjarakat Arab disini menjadi suatu bagian jang tidak dipisah-pisahkan dari masjarakat Indonesia, maka timbulah perasaan hati, apa sumbangan kami bagi Indonesia merdeka kini.
Sebagai tokoh dan ketua "Badan Perdjoangan Kemerdekaan Arabia Selatan", propaganda dan mobilisasi untuk dukungannya dalam gerakannya tersebut, al-Ustadz Umar Naji sebagai tokoh yang dicari pihak lawan, dengan adanya provokasi dari sejumlah pihak, terutama dari agen-agen asing yang merasa terancam dengan gerakannya tersebut, sempat berhasil memenjarakan beliau (ustadz Umar Naji) dengan tuduhan yang tidak beralasan. Setelah hampir satu tahun menjalani hukuman penjara, atas upaya diplomasi pemerintah RI, beliau akhirnya bebas tanpa syarat.
Majalah Suara Arabia Selatan
Ustadz Umar Naji wafat di Bogor pada 5 Maret 1974 dalam usia 74 tahun. Dari pernikahannya dengan Khadidjah bt Muslie Abdul Fattah, beliau dikaruniai 5 orang anak yaitu Ne'mah, Faisal, Khalidz, Abdurrahman dan Luqman. Istrinya Khadidjah adalah saudara kandung Ustadz Bustomi Musli Al-Mausul, kepala sekolah pertama Al-Irsyad cabang kota Semarang dan merupakan alumnus Al-Irsyad, anak didik Surkati pada Madrasah Al-Irsyad di Batavia.
Berita wafatnya Ustadz Umar Naji dimuat dalam koran harian Pelita, sebagai bentuk duka cita atas wafatnya ulama dan panutan umat Islam Indonesia. Sehari sebelum beliau wafat, ia masih sempat bertemu dan diskusi dengan Ustadz Said Thalib Alhamdani, anak didiknya dikediamannya, Jalan Pekojan No.5, Bogor. Bahkan hari itu, ustadz Said Thalib yang keesokan harinya akan melanjutkan perjalanannya ke Bandung, untuk urusan penerbitan buku karangannya pada penerbit PT Al-Maarif, dicegahnya untuk tidak berangkat dan tetap dimintanya untuk berada di Bogor menemaninya.
Tepat pada pukul 04.pagi, al Ustadz Umar Naji yang dihormati dan dicintainya sebagai guru yang memiliki kharisma dimata murid-muridnya itu, wafat menghadap sang Khaliq Allah SWT. Ia dimakamkan siang selepas sholat dzhuhur di pemakaman wakaf - Los Lolongok Empang. Pemakamannya dihadiri oleh para pemimimpin Al-Irsyad di Jakarta, sahabat seperjuangannya dan seluruh Irsyadi di kota Bogor.
Rumah bersejarah milik ulama besar Al-Irsyad itu, kini menjadi kantor sekretariat Pimpinan Cabang Al-Irsyad kota Bogor dan menjadi kantor Pusat Dokumentasi (Pusdok) dan Kajian Al-Irsyad Bogor. Dari rumahnya itulah, yang berjarak hanya beberpa meter saja dengan masjid At-Taqwa, masjid milik Al-Irsyad Bogor sejak 1930an, ustadz Umar Naji menjadi pengisi tetap kajian tafsir Al-Manar.
Posting Komentar untuk "Ustadz Umar Nadji Baraba, ulama Patriotik dan Penulis"
Posting Komentar