Ustadz Hamid Al-Anshari, Wartawan dan Ulama
ustadz Hamid (kiri) dikediamannya - Bogor
menerima kunjungan kerabat dekatnya
Menteri Awqaf Republik Sudan
Dr. Yusuf Al-Khalifah Abubakar Surkati
(keponakan Syaikh Hasan)
Hamid Hasan Al-Anshari atau akrab disapa ustadz Hamid, boleh dibilang beliau adalah sosok "Irsyadi" yang telah tumbuh menjadi seorang Irsyadi sejak lahir.
Irsyadi adalah titel yang lazim disematkan sebagai sebuah identitas untuk anggota Al-Irsyad yang telah dengan setia bersetuju dan berkesepahaman secara "idiologis". Serta memiliki pengetahuan dan pengamalan mabda yang sangat mendalam.
Ustadz Hamid dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Al-Irsyad "24 karat". Diperkirakan lahir tahun 1932 di Batavia (Jakarta). Ayahnya Syaikh Hasan Al-Anshari, adalah seorang ulama dan pemuka Al-Irsyad yang sudah berkiprah sejak pertama kalinya organisasi itu didirikan, oleh sahabat dan juga menantunya, Syaikh Ahmad Surkati pada 6 September 1914 di Batavia.
Syaikh Hasan adalah salah satu diantara guru yang di datangkan oleh Surkati dari Sudan untuk sama-sama menjadi tenaga pengajar di Jamiatul Khair, Pekojan - Batavia. Dan pernah memimpin madrasah Jamiatul Khair yang ada di Buitenzorg, sejak lembaga itu diberi izin oleh pemerintah Hindia Belanda untuk membuka cabangnya di Bogor, Krukut dan Tanah Abang.
Di Pekojan, sejak menjadi tenaga pengajar di Jamiatul Khair, Syaikh Hasan juga pernah menjadi pengajar di Masjid Azzawiyah, Masjid yang didirikan oleh Sayyid Ahmad bin Hamzah Al-Attas pada tahun 1812. Habib Ahmad adalah ulama asal Tarim - Hadramaut yang pertama kali memperkenalkan kitab "Fathul Mu'in" di Indonesia, sebuah "kitab kuning" yang menjadi rujukan dan dipakai hingga sekarang oleh pondok-pondok pesantren di Indonesia.
Syaikh Hasan bersama guru & murid
Madrasah Al-Falah di kota Pontianak
Sebagai seorang ulama dan pendidik, Syaikh Hasan pernah berkelana untuk berdakwah ke berbagai tempat di Nusantara, termasuk mendapatkan tugas mengajar, sekaligus mengepalai Madrasah "Al-falah" di kota Pontianak, sebuah lembaga pendidikan yang berada dalam lingkungan Kesultanan Alkadiriyah di wilayah Sungai Bakau Besar kota Pontianak - Kalimantan Barat. Salah satu alumninya adalah Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila.
Masih di kota Pontianak, Syaikh Hasan pernah pula mengepalai Madrasah Al-Chairiyah pada tahun 1929, sebuah lembaga pendidikan yang sebahagian besar murid-muridnya adalah warga peranakan Arab di kota itu.
Di kota Bandung, Syaikh Hasan bersama putera tertuanya Muhammad, pernah memimpin "Pesantren Kecil" di Jalan Pangeran Sumedang, dua diantara lembaga pendidikan yang didirikan oleh organisasi Persatuan Islam. Masih di kota yang sama, Syaikh Hassan pernah mendirikan Madrasah Al-Hidayatul Islamiyyah di daerah Cicendo dan dikepalai oleh anaknya, Muhammad.
Selepas tahun 1939, Syaikh Hasan kembali berkiprah di Al-Irsyad dan sempat mengepalai sekolah Al-Irsyad di Bumiayu dan Brebes, hingga akhirnya pada pertengahan tahun 1941 menetap di kota Bogor dan aktif sebagai pendidik di perguruan Al-Irsyad sampai dengan akhir hayatnya.
Dimasa serba sulit, saat Jepang berhasil mengusai tanah air, sekolah Al-Irsyad cabang Bogor dapat tetap eksis dibawah kepemimpinannya dan terus dibinanya hingga beberapa tahun sesudah Indonesia merdeka.
Syaikh Hasan yang memiliki nama lengkap, Syaikh Hasan bin Hamid bin Muhammad Bey Al-Anshari, wafat di Bogor pada tanggal 4 Shafar, tahun 1953 masehi.
Syaikh Hasan beberapa kali menikah di Indonesia, istri pertamanya adalah Siti Rahmah wanita keturunan Arab di Bogor dan dikaruniai tujuh orang anak terdiri dari Fatimah, Muhammad, Laila, Zainab, Aisyah, Zaitun dan Hamid. Fatimah puteri tertuanya, kelak kemudian dinikahkan dengan Syaikh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad.
Istri keduanya adalah Siti Maemunah, puteri Haji Ali, bangsawan Melayu yang tinggal di kota Pontianak. Dari pernikahannya ini kemudian beroleh dua orang anak perempuan, Hasibah dan Nurulhuda.
Hamid anak bungsu dari pasangan Syaikh Hasan dan Siti Rahmah, mengawali pendidikannya di "Pesantren Kecil" Al-Ittihadul Islami pimpinan ayahnya, setingkat Taman Kanak-Kanak milik Persatuan Islam yang berada di Jalan Pangeran Sumedang Bandung, tahun 1937. Dilanjutkan kemudian di sekolah milik pemerintah, Hollandsch Inlandsche School (HIS) di kota Bandung.
Pada akhir tahun 1949, Hamid sudah mulai terjun dalam dunia pendidikan dan aktif mengajar di perguruan Al-Irsyad Bogor. Sejak saat itu, ia disapa oleh anak didiknya dengan panggilan Ustad Hamid.
Karirnya sebagai seorang pendidik, Ustadz Hamid pernah ditugaskan untuk mengajar dibeberapa perguruan Islam lainnya yang ada di kota Bogor, seperti di Muhammadiyah dan Sekolah Pendidikan Guru Agama, milik pemerintah yang berada di bawah jawatan Kantor Pendidikan Agama.
Selain pernah meniadi tenaga honorer sebagai guru bahasa Arab yang berada dibawah koordinasi Lembaga Bahasa Arab Jakarta, Ustadz Hamid pernah ditunjuk sebagai trainer dalam penataran guru-guru Pondok Pesantren yang diselenggarakan oleh BKSPPI Jawa Barat di Universitas Ibn Khaldun Bogor.
Kemampuannya dalam bidang jurnalistik, selama satu tahun, 1957-1958, ustadz Hamid pernah bekerja sebagai karyawan lepas pada Kantor Berita Nasional Antara di Jakarta. Ia melakukan tugas untuk meliput dan menyebarkan informasi penting negara, terutama tentang berita keagamaan (Islam) keseluruh wilayah Indonesia dan dunia internasional.
Ketokohan ustadz Hamid di Al-Irsyad memang tidak menasional, tapi tidak sedikit dari sejumlah tokoh-tokoh Al-Irsyad, baik dalam jajaran di pimpinan pusat hingga cabang, yang tidak mengenal dengan sosoknya yang bersahaja dan berpengetahuan luas ini.
Pengabdian dan Kiprahnya pada Al-Irsyad Bogor memiliki arti penting bagi perkembangan untuk kemajuan Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Ustadz Hamid adalah tokoh yang ikut membidani terbentuknya Yayasan Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kota Bogor dan duduk sebagai Sekretaris yayasan sejak pembentukannya yang pertama tahun 1958 s.d 1989.
Selain dalam kepengurusan Yayasan Al-Irsyad Al-Islamiyyah kota Bogor, ustadz Hamid juga aktif berkiprah di Pimpinan Cabang sejak 1950 sebagai sekretaris, yang periode itu masih diketuai oleh al-ustadz Umar Sulaiman Nadji. Disetiap periode berikutnya, sampai dengan tahun 1989, jabatan Sekretaris cabang selalu dipercayakan kepadanya.
Selama dalam masa pengabdiannya untuk Al-Irsyad Bogor, banyak sudah kontribusi yang telah beliau berikan lewat ide-idenya. Salah satunya adalah dengan berdirinya SMP Al-Irsyad yang dirintisnya bersama-sama dengan tokoh-tokoh Al-Irsyad Bogor lainnya pada tanggal 1 Desember 1966. Demikian pula pembentukan SMA Al-Irsyad Bogor yang pernah ada, merupakan saksi dari kiprah beliau yang dibentuknya pada tahun 1970. Kontribusinya yang amat berarti lainnya adalah, usahanya dalam mendirikan Balai Pengobatan Umum Al-Irsyad Al-Islamiyyah kota Bogor pada tanggal 16 September 1980.
Meski Ia sebagai salah seorang tokoh penting di Al-Irsyad Bogor, profesianya sebagai pendidik yang merupakan bakat menurun dari sang Ayah, tugasnya sebagai tenaga pengajar bahasa Arab tetap Ia lakoni. Pengetahuan bahasa Arab Ustadz Hamid pernah diungkapkan oleh salah seorang muridnya, mantan Anggota DPR RI dari Fraksi PKS K.H.Yusuf Supendi, Lc.
"Salah seorang guru saya di Bogor, KH Hamid Al-Anshory punya kelebihan, bisa menerjemahkan bahasa Arab sama persis dengan terjemahan bahasa Indonesianya. Misalnya, bahasa Arabnya satu halaman, maka terjemahan bahasa Indonesianya juga satu halaman. Saya tanyakan, berapa lama kalau mau bisa belajar bahasa Arab. Dia bilang, sekitar tiga tahun". Dikutip dari buku ; Dai Parlemen – Bersih, Serius dan Merakyat, halaman 19, penulis Hepi Andi Bastoni & Syaiful Anwar, penerbit Pustaka al Bustan tahun 2006.
Untung Wahono, yang juga anggota DPR RI periode 2004 - 2009 dari Partai Keadilan Sejahtera dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Majelis Syuro PKS periode 2015-2020, termasuk yang pernah bersentuhan langsung dengan Ustadz Hamid.
Kegemarannya membaca, membuat Ia banyak memilki wawasan yang sangat luas tentang berbagai hal, demikian pula penguasaan bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan Belanda yang sangat dikuasai olehnya. Beliau banyak memiliki kitab-kitab, buku dan majalah yang menemani kesehariannya, melahap semua pengetahuan yang ada di dalamnya, terutama buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab.
Ketelitiannya dalam mengumpulkan dan menyimpan dokumen yang bernilai historisy, sangat berguna bagi Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Buah penanya telah melahirkan tulisan yang sarat dengan sejarah, khususnya sejarah Al-Irsyad, antaranya “Selajang Pandang Perdjoangan Al-Irsjad Pada Zaman Keemasannja “, diterbitkan pada bulan Agustus tahun 1964, dan "Sejarah Singkat Al-Irsyad Bogor“, yang dibukukan secara sederhana pada tahun 1983.
Ustadz Hamid menikah dengan Shofiyah bt Ghalib bin Muchsin bin Ghalib Tebe, cicit salah satu pemuka Al-Irsyad, Syaikh Ghalib bin Said Tebe,
Syaikh Ghalib bin Said Tebe pernah ditulis oleh Pramudya Ananta Tur dalam bukunya "Sang Pemula", sebagai pengurus Sjarekat Dagang Islamijjah, yang pendiriannya dibidani oleh saudagar-saudagar Arab di Buitenzorg (Bogor) bersama RM Tirtho Adishuryo, bapak Pers Indonesia.
Dari pernikahannya dengan Shofiyah Tebe, ustadz Hamid dikarunia tiga orang anak perempuan dan dua anak laki-laki. Mereka adalah Hasan, Malikah, Muhammad, Nadiah dan Aminah.
Ustadz Hamid wafat pada Hari Jum’at, Tanggal 14 Agustus tahun 2000, pukul 21.00 WIB di Rumah Sakit Asy Syifa, Kota Sukabumi dalam usia 68 Tahun. Dan dimakamkan pada keesokan harinya, sabtu 15 Agustus , pukul 10 pagi di Pemakaman wakaf Los, Empang Bogor.
Sosok sang pengabdi itu kini telah kembali pada al-Khaliq, meninggalkan sesuatu yang amat bermakna dan teramat penting bagi al-Irsyad.
Posting Komentar untuk "Ustadz Hamid Al-Anshari, Wartawan dan Ulama"
Posting Komentar