Pemberontakan jiwa Marco Kartodikromo, Fatwa Solo dan Lahirnya Al-Irsyad 1914


Bagi yang pernah merasakan hidup di negeri yang masih berstatus sebagai Hindia Belanda lebih dari 100 tahun lalu, tentu akan mengalami masa pengklasifikasian golongan penduduk yang didasarkan kepada stratifikasi sosial, dimana setiap orang tidak bisa sesukanya untuk "Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah", peribahasa yang menggambarkan suatu kondisi yang setara, sama atau seimbang.

Ketidak setaraan itu berlaku pada semua sendi kehidupan masyarakat, baik dalam hal nasab (keturunan), pangkat (kedudukan) dan harta (kekayaan). Karena itu pula tidak semua anak-anak negeri memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama, Demikian pula dengan status sosial seseorang akan ter-identifikasi dari gelar yang disandangnya dan pakaian yang dikenakan.

Gelar-gelar yang disandang, bahkan ada yang menggunakan dalih agama, dimana tidak sembarang orang menyematkan gelar itu di depan namanya. Meski tidak terancam dipidana, pakaian yang dikenakan pun disesuaikan dengan derajat para pemakainya.

Adalah Marco Kartodikromo yang pernah membuat novel berbahasa Melayu saat dirinya mendekam dalam penjara di Batavia pada tahun 1917 - 1918. Novel yang diberinya judul Student Hidjo itu menceritakan perjalanan seorang bumiputera bernama Hidjo yang merantau ke negeri Belanda untuk belajar di Institut Teknologi Delft.

Dalam novel itu, Hidjo digambarkan memiliki kisah gaya hidup pribumi modern yang berpakaian ala Eropa. Bercelana panjang, jas, berdasi dan dua pena yang tampak terjepit di saku jasnya. Modernitas gaya hidupnya pun mengikuti gaya hidup orang-orang barat pada umumnya, seperti makan di restoran, menonton opera, piknik dan naik trem. Yang paling disenanginya adalah, saat dia dilayani oleh para pelayan Belanda.

Sepintas potret kehidupan hidjo yang ala barat selama berada di negeri Belanda itu biasa-biasa saja, tapi bagi penulisnya, Marco Kartodikromo, novel yang ditulisnya mengandung muatan revolusioner sebagai bentuk pemberontakan jiwanya akibat diskriminasi yang diterima oleh kaum bumiputera pada masa itu, karena pakaian yang mereka kenakan.


Sebagai seorang jurnalis, Marco Kartodikromo yang pernah menjadi anggota Sarekat Islam afdeeling Surakarta, sangat muak terhadap segala bentuk rasisme. Karena itu semenjak dirinya bekerja sebagai wartawan pada Medan Prijaji di Bandung tahun 1911, Marco mulai menulis kritik pedas sebagai bagian terpenting perlawanannya terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Munculnya polemik dan fatwa-fatwa Syaikh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad yang dimuat secara berturut-turut dalam harian Oetoesan-Hindia, sontak telah menjadi perhatiannya. Betapa tidak, isu rasisme yang muncul dan tabu untuk dibicarakan karena dikemas dengan dalih agama, menjadi "tabir" yang kemudian ramai dibicarakan orang.

Sejak itu Marco Kartodikromo berhubungan erat dengan Surkati untuk berdiskusi yang dikemudian hari ketika banyak para pejuang kemerdekaan menjadi "Orang Boeangan" ke Tanah Merah di Boven Digoel, Syaikh Ahmad Surkati mengumpulkan donasi dari banyak warga Al-Irsyad untuk menyantuni keluarga mereka. Data-data keluarga itu diperolehnya dari Mas Marco Kartodikromo, yang juga ikut ditahan sebagi digulis dan wafat di tanah pembuangan pada tahun 1932.

Sebagai jawaban atas pertanyaan dan permintaan HOS Tjokroaminoto, pemimpin surat kabar Oetoesan-Hindia, fatwa-fatwa Syaikh Ahmad Surkati itupun dihimpunnya menjadi sebuah Risalah Surat al-Jawab yang diterbitkan tahun 1915. Sehubungan dengan makin meluasnya pembicaraan tentang kafa'ah tersebut.

Fatwa Syaikh Ahmad Surkati tentang kafa'ah itu muncul, karena dilatar belakangi oleh keadaan sekelompok masyarakat di Indonesia yang dijumpainya pada abad ke-20. Dimana ada dalam golongan dalam masyarakat yang merasa sebagai keturunan paling mulia dan menganggap rendah kepada yang bukan dari golongannya. Mereka mempertahankan hak-hak istimewa yang dinikmatinya itu selama berabad-abad secara turun menurun.

Di antara hak-hak istimewa itu antaranya adalah tentang hukum kafa’ah, yaitu mengatur pernikahan yang melarang seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan yang bukan dari golongannya.

Peristiwa yang terjadi di kota Solo itu, kelak dikenal orang sebagai Fatwa Solo, karena fatwa itu muncul saat lawatannya di kota itu sebagai penilik pada lembaga Jamiatul Khair yang mengundangnya datang ke Hindia Belanda bulan oktober 1911. Tapi akibat dari lahirnya Fatwa Solo sebagai penyebab perbedaan interpretasi hukum Islam tentang kafa’ah tersebut, kerenggangan pun tak dapat dihindarinya antara Syaikh Ahmad Surkati sebagai ikon reformis Islam, dengan para pemimpin Jamiatul Khair yang konservatif.

Sejak peristiwa itu, Syaikh Ahmad Surkati hanya mampu bertahan selama tiga tahun saja di Jamiat Khair. Pada 1914 ia pun memutuskan untuk mengundurkan diri dari lembaga yang mengundangnya itu "sonder mendapatkan pesangon" dan diikuti oleh guru-guru lainnya yang berhaluan Islam reformis. Atas dorongan para pendukungnya, beliau kemudian membuka sekolah sendiri dan dinamainya Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Salah satu dari muridnya di Jamiatul Khair yang kemudian ikut pindah di sekolah barunya itu adalah Abdullah Salim Al-Attas, ayahanda mantan Menlu RI Ali Attas pada era presiden Suharto.

Lokasi sekolah baru tersebut berada di jalan Djati Baroe Jakarta, atau yang pada masa Hindia Belanda masih bernama Batavia. Hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari bekas kediaman Sayyid Abdullah bin Alwie Al-Attas yang sekarang menjadi Museum Tektstil, seorang pengusaha tajir di Batavia yang dijuluki sebagai Saudagar Baghdad dari Betawi yang bersama saudagar lainnya, dari koceknya sendiri uang ribuan gulden diberikannya kepada Al-Irsyad saat untuk pertama kalinya didirikan.

Tanah dan bangunan sekolah, sekaligus kediaman resmi Syaikh Ahmad Surkati, dipersiapkan secara cuma-cuma oleh Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy, Kapten Arab dimasa itu. Tokoh ini boleh dibilang orang nomor wahid yang paling berjasa di dalam melahirkan Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Syaikh Umar bin Yusuf Manggusy, juga terkenal sebagai orang kaya raya yang ikut menghibahkan tanah miliknya seluas 28.650 meter persegi untuk pendirian KPM Ziekenhuis di Djati Baroe, rumah sakit milik perusahaan milik pelayaran Belanda yang sekarang menjadi RS Pelni No.92-94 di Jalan Aipda KS Tubun, Petamburan Jakarta Pusat.

Sayyid Abdallah bin Alwi Al-Attas 
menggunakan torbus sebagai atribut Pan Islam


SYAIKH AHMAD SURKATI PENDIRI AL-IRSYAD

6 September 2021, Al-Irsyad Al-Islamiyyah genap akan memasuki usianya yang ke 107 tahun, apabila merujuk pada penanggalan Miladiyah yang dihitung dari sejak dibukanya dengan resmi madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah pada 6 September 1914.

Dalam waktu yang bersamaan, sebagai penopang dan induk sekolah, dibentuk organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam sebagai pengusung ide di dalam menyebarkan faham-faham pembaharuan Islam yang dibawanya Jam'iyyah al-Ishlah wal Irsyad al-Islamiyyah dan baru mendapatkan pengakuan resminya dari Pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.

Saat mendirikan Al-Irsyad, ide dan pemikiran Syaikh Ahmad Surkati tentang konsep al-musawa, menjadi jargon perjuangannya. Selain gerakan dakwah pemurnian ajaran Islam yang telah disepakatinya bersama ulama-ulama tajdid lainnya adalah untuk pemberantasan pemyakit "TBC" (takhayul, bid'ah dan churafat).

kafa'ah yang dipersandingkan dengan al-musawah, merupakan pemikiran Syaikh Ahmad Surkati dalam kerangka tajdid di bidang keagamaan (syariat Islam) terhadap diskriminasi dalam masyarakat Hadrami pada masa Hindia Belanda. Jauh dari itu, konsep al-musawa yang bermakna keseteraan derajat ini menandakan betapa pentingnya kemerdekaan individu untuk membangun jiwa-jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku sebagai dasar kemajuan dan hakekat kemerdekaan sebuah bangsa.

Prinsip al-musawa itu tercermin dari al-Ummahatul Akhlaq, judul syair yang dibuat oleh Syaikh Ahmad Surkati semasa masih mengajar di Jamiatul Khair, syair yang dijadikannya sebagai hafalan wajib bagi murid-muridnya; "Tidaklah kebanggaan itu karena pakaian atau keturunan, dan bukan pula karena tumpukan uang atau emas, tetapi kemuliaan itu karena ilmu dan adab. Dan Agama adalah pelita bagi orang yang berakal"

Bung Karno, bapak proklamator dan presiden pertama Indonesia menjulukinya Abaa Ruh al-Jalil kepada Syaikh Ahmad Surkati, tokoh yang sempat dan kerap kali ditemuinya sejak kembalinya dari tempat pembuangannya di Endeh dan Bengkulu.

Sebutan untuk Syaikh Ahmad Surkati itu mengandung makna sebagai seorang bapak yang telah memberikan ruh kemuliaan dalam dirinya bersama teman-teman seperjuangannya, yang telah memberinya kesadaran akan hakikat Islam yang sebenarnya, sehingga menjadi spirit dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Ungkapan dan perasaan Bung Karno tersebut sebagai akibat rasa penyesalannya, karena bertemu dengan sosok yang dikaguminya itu disaat kedua matanya tidak lagi dapat melihat (buta). "Alhamdulillah, karena disaat penglihatan saya (Syaikh Ahmad Surkati) sudah tiada, tapi pandangan kalian kini sudah terbuka, sehingga dapat mengetahui akan hakikat Islam".

Syaikh Ahmad Surkati sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia diperbudak oleh orang-orang Belanda. Sikap anti penjajahan itu diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia (Al-Musawa). Menurutnya; ”Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih oleh jiwa-jiwa yang rendah.”

Bung Karno

Gagasan Syaikh Ahmad Surkati melalui lembaga pendidikan yang diirintisnya, dengan konsep madaris sebagai idenya, yaitu sekolah-sekolah yang berjenjang, berkurikulum dan berseragam menjadi sebuah terobosan dahsyat yang meraih sukses besar. Perlahan namun pasti, umat Islam mendapatkan pendidikan yang layak, menyamai pendidikan ala barat yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda yang diperuntukan bagi kalangan elit tertentu, kaum ningrat dan priyayi.

Prinsip al-musawa atau kesetaraan yang dimaksudkan lainnya adalah menyamakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah SWT, untuk mendapatkan hak pendidikan, berjuang dan berketerampilan, karenanya 16 tahun setelah Al-Irsyad berdiri, organ Wanita Al-Irsyad yang embrionya dilahirkan di kota Pekalongan dengan nama Nahdlatul Moe'minat, terbentuk untuk pertama kalinya pada tahun 1930. Nahdlatul itu sendiri mengandung makna yang berarti kebangkitan.

Akhirnya, selamat Milad Al-Irsyad Al-Islamiyyah ke 107 dengan gerak dakwah Islam yang moderat, berkarya untuk Indonesia, untuk dunia kemanusiaan dan kelangsungan kehidupan umat manusia bersama Islam yang rahmatan lil alamin.

Abdullah Abubakar Batarfie
Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Bogor




Belum ada Komentar untuk "Pemberontakan jiwa Marco Kartodikromo, Fatwa Solo dan Lahirnya Al-Irsyad 1914"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel