Muhammad SAW memimpin dengan CINTA

Jika kita mengukur kebesaran dengan pengaruh, maka dia merupakan seorang raksasa sejarah. Ia berjuang meningkatkan tahap ruhaniah dan moral suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban karena panas dan kegersangan sahara. 

Dia berhasil lebih sempurna dari pembaharu manapun, belum pernah ada orang yang berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya seperti dia, tulis Will Durant dalam bukunya "The story of civilization".

Dia adalah Rasulullah (Shalallaahu 'Alayhi Wasallam) yang datang bagaikan sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang sahara yang tandus, kemudian meledakkan butir butir debu menjadi mesiu yang membakar angkasa.

Keutamaan sosoknya yang agung, mendorong kuat untuk mengetahui lebih banyak tentang pribadinya yang mulia. Pada zaman Khalifah Umar ibn Khattab, seorang Yahudi datang menemuinya; "Ceritakan kepadaku akhlaq Rasul kalian", Dan khalifah Umar pun tak kuasa menjawabnya, beliau lalu memintanya agar Yahudi itu untuk menemui Bilal ibn Rabah.

Bilal pun sama seperti Umar Ibn Khattab, kedua sahabat baginda Rasul itu tak mampu menceritakan sang Ulil Azmi. Sampailah Yahudi itu menemui Sayyidina Ali ibn Abi Thalib. 

Bukankah Ali mengenalnya sejak kecil? bukankah Ali jua sering tidur bersamanya? Selain menantu, Ali adalah sahabat dan juga sepupu yang keduanya saling mengasihi.

Ali anak paman Nabi SAW, yang digelari Haidar itupun berkata; "Aku masih dapat merasakan harumnya tubuh Nabi shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Ia (Ali ra) selalu menyertainya kemanapun beliau (Rasulullah SAW) pergi.

Ali merupakan sahabat setia yang mengenali Nabi SAW lebih dari dirinya, Ia juga tak sanggup seperti halnya Umar ibn Khattab karena baginya terlalu sulit untuk melukiskan dengan kata-kata tentang akhlaq Rasul SAW,  Rasul yang juga disebut sebagai "Al-Aqib" dan "Penghulu Para Nabi" (Sayyidul Anbiyaai' wal Mursaliin).

Bagaimana kalau kita tanya Aisyah Ummul Mukminin? Karena dalam sebuah kisah diriwayatkan, ketika Saad ibn Hisyam bertanya kepada Aisyah tentang akhlaq baginda Nabi SAW, Aisyah malah balik bertanya; "Apakah kamu membaca Al-Quran?" Tentu saja! dan Ia (Aisyah) pun menjawab bahwa akhlaqnya adalah Al-Qur'an. Ketika Aisyah didesak lagi untuk memperincikannya, dia lalu menyuruh orang-orang untuk membaca 10 ayat Al-Qur'an dalam surah Al-Mu'minun. (dinukil dari kitab Hayat Ash-Shohabah 3 : 107 - Syaikh Muhamamd Yusuf al-Kandahlawi)

Dinamai Al-Mu'minun, karena permulaan ayat ini menerangkan bagaimana seharusnya sifat-sifat orang mukmin yang menyebabkan keberuntungan mereka di akhirat dan ketenteraman jiwa mereka di dunia. Demikian tingginya sifat-sifat itu, hingga ia telah menjadi akhlak bagi Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alayhi Wasallam.

Dalam pandangan Aisyah, salah seorang istri beliau yang dia (Nabi saw) panggilnya dengan sebutan "Humaira", junjungan umat Islam, Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang lembut dan penuh kasih sayang. seluruh perilakunya sangat

mempesonakan. Dia (Aisyah) mengutip saat Nabi SAW junjungan alam, manusia paling mulia, meminta izin kepadanya untuk beribadah di tengah malam. 

Untuk Aisyah, permintaan izin itu terkandung penghormatan, perhatian, dan kemesraan. Bagi Aisyah, hal apa lagi yang lebih indah, yang diperoleh seorang istri dari suaminya selain itu?

Dalam pandangan Jarir ibn Abdallah, sahabat yang berasal dari Kabilah Bajilah, karena itu sering pula di akhir namanya disebut dengan "Al-Bajali",  beliau pernah mengalami peristiwa indahnya ketika mendatangi majelis Rasulullah SAW. Karena datang terlambat, ketika dia tiba tempat pun sudah penuh dan dicarinya tempat duduk yang kosong. 

Dari posisinya, Nabi SAW melihatnya ketika Jarir ibn Abdallah belum mendapatkan tempat duduk, lalu Ia (Rasulullah SAW) yang mulia membuka gamisnya. Dengan tangannya sendiri gamis itu kemudian dilipat-lipatnya dan di antarkan kepada Jarir ibn Abdallah sambil berucap; "jadikan ini tikar untuk tempat dudukmu".

Jarir ibn Abdallah tidak menduduki gamis itu, tapi diciuminya baju Nabi yang dikasihinya dengan air mata yang berlinang. "Ya Rasulullah, semoga Allah memuliakanmu sebagaimana anda memuliakanku". Dengan tersenyum Nabi SAW bersabda; "Bila datang kepada kalian orang mulia, maka muliakanlah dia" (dinukil dari kitab Hayat Ash-Shohabah 2 : 544).

Penggalan pada peristiwa di atas, adalah sepenggal kisah yang tidak dapat dilupakan oleh Jarir ibn Abdallah. Di dalamnya terkandung penghormatan, perhatian dan kasih sayang dua orang sahabat yang bertali kasih karena Allah. 

Hanya untuk menciumi tubuhnya yang mulia, tidak jarang para sahabat mencari akal, seperti yang pernah dilakukan oleh Sawad ibn Ghazyah pada perang Badar. Peristiwa itu terjadi ketika Nabi SAW sedang meluruskan barisan, Saad maju kedepan dan ketika itu juga dia (Nabi SAW) memukul perutnya dengan anak panah; "Lurus dalam barisan ya Sawad!" tapi Sawad pun memprotesnya; "Ya Rasulullah anda telah menyakitiku, padahal Allah telah mengutusmu dengan membawa kebenaran dan keadilan. Dan aku akan menuntut Qishash kepadamu".

Demi melihat kejadian tersebut, para sahabat yang lain berteriak lantang; "Hai Sawad! Engkau mau menuntut balas dari Rasulullah SAW?" Tapi dengan sigapnya Nabi SAW malah menyingkapkan perutnya; "Balaslah ya Sawad!" Sawad seketika itu juga memeluk tubuh Nabi SAW dan menciumnya. Rasul yg mulia pun bertanya; "Hai Sawad, apa yg mendorongmu untuk melakukan ini?".  Sawad menjawab; "Ya Rasulullah, sudah terjadi apa yang kusaksikan, ingin sekali pada akhir pertemuanku denganmu kulitku menyentuh kulitmu, berilah aku syafaat pada hari kiamat kelak". Nabi SAW kemudian mendoakan kebaikan baginya. (dinukil dari kitab Hayat Ash-Shohabah 2 : 417).

Tiga peristiwa di atas dari banyak kisah-kisah ketauladanan Rasulullah SAW, menunjukan bahwa beliau merupakan seorang pemimpin yang ditaati karena CINTA. Namun bukan berarti Ia adalah Rasul yang tidak berwibawa. Kisah Usamah ibn Syarik berikut ini dapat melukiskan gambaran itu; "Bila kami duduk mendengarkan Rasulullah SAW, tidak sanggup rasanya untuk mengangkat kepala, seakan di atas kami bertengger burung-burung".

Salah seorang dari sahabat yang hidup di masa Nabi, Al-Barra bin Azib Al-Anshari Radhiyallahu'anhu berkata; "Aku bermaksud bertanya kepada Nabi SAW tentang satu urusan, akan tetapi aku menangguhkannya sampai dua tahun lamanya karena segan akan kewibawaanya".

Pernah pula seorang badui menemui Nabi SAW, tubuhnya bergetar sehingga Nabi pun berusaha untuk menenangkan badui itu; "Tenangkanlah dirimu karena akupun manusia biasa dan berhajat hidup seperti kamu juga yang suka makan daging", ujar Rasulullah SAW. 

Dari peristiwa dan kisah-kisah ketauladanan di atas, kita dapat melukiskan tentang sosoknya sebagai seorang Rasul yang berwibawa bukan karena berperangai dan menggunakan kekerasan, kekuasaan, ataupun kekayaan. Tapi dia berwibawa karena dicintai oleh umatnya dan karena akhlaqnya yang mulia.

Patutlah kiranya ketauladanan beliau (Nabi SAW) sebagai uswah, ditiru dan dijadikan panutan bagi para pemimpin seperti dimasa sekarang ini, baik itu para pemimpin negara, dan pemimpin di semua level dalam pemeritahan, para pejabat dan pemimpin komunitas di masyarakat, tidak terkecuali pula pemimpin dalam lingkup rumah tangga. 

Seorang pemimpin hendaknya dapat bertindak dan mengambil kebijakan-kebijakannya yang dihiasi oleh akhlaqnya yang mulia, tidak merasa besar kepala, berlaku sewenang-wenang karena merasa berkuasa, apalagi sampai merendahkan, menekan dan menindas rakyatnya.


Abdullah Abubakar Batarfie


Belum ada Komentar untuk "Muhammad SAW memimpin dengan CINTA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel