Harapan Ditengah Alun-alun Empang



Secangkir kopi hitam Cap Kacamata saya sajikan kepada seorang jurnalis muda yang energik. Baginya ini adalah kali pertama Ia mendengar merek kopi ini yang menurutnya terdengar unik tapi klasik. Ia pun tersenyum ketika saya sebut nama lain dari kopi itu adalah Bah Sipit, merujuk ke pembuatnya seorang cina totok bermata sipit.

Tampak dari raut wajahnya yang rupawan dipandanginya busah kopi yang tebal mengapung menutupi permukaan air yang kopinya saya seduh dalam cangkir porselain antik bermotif bunga kangkung biru, khas keluarga cina peranakan.

Aromanya yang kuat harum semerbak, keluar dari diaduknya seduhan kopi itu searah jarum jam berputar.

Tegukan pertama kopi cap kacamata itu membuat matanya yang sayu menjadi terbuka lebar dan menggugah rasa penasarannya sambil berguman "Bagaimana bisa kopi seenak ini tidak ada di Jakarta, tempat saya tinggal".

Kopi yang menjadi saksi bisu sejarah tumbuh dan berkembangnya kawasan empang, sebagai pemukiman kaum peranakan arab di Bogor, membuat alam fikiran saya kembali terusik dan terbawa pada masa yang silam, bahkan jauh sebelumnya yang tak pernah saya alami sejak kota ini dinamakan Buitenzorg.

"Ini adalah kopi yang menjadi andalan warga kampung arab di empang selama berpuluh-puluh tahun lamanya,". Kopi yang sudah ada sejak tahun 20-an. Sayapun membuka percakapan dengannya

***

Suasana Alun-Alun Empang tahun 1800-an


Saya yang lahir pada tahun 1970, tentu saja menyaksikan dengan langsung perkembangan kawasan empang yang dicap sebagai kampung arab oleh sejumlah kalangan ini, bahkan telah ada yang menyebutnya sebagai salah satu pusat peradaban Islam di Kota Bogor.

“Kawasan Empang sendiri memang memiliki romantisme sendiri bagi saya”. Demikian saya utarakan kandungan maksud dihati kepadanya.

Salah satu lokasi yang saya tidak dapat melupakannya adalah lapangan terbuka yang terhampar luas, terutama pada tahun 1980-an masa di mana paling menyenangkan jika menghabiskan waktu menjelang sore hari di alun-alun empang yang lokasinya kini berada di depan RS Ummi.

Duduk di bawah pohon karet kebo yang pohonnya terbentuk serupa dengan beringin, menjadi tempat favorit yang tidak sekalipun pernah saya lewatkan sejak masa belia hingga usia beranjak dewasa. Saya ingat betul suasana berkesan itu dirasakan sambil menikmati matahari terbenam dari balik gunung salak yang menjulang tinggi. Atau sekali tempo turut pula menyaksikan permainan bola yang saban sore menjadi aktivitas rutin para pemuda dan remaja putra. Bahkan di setiap momen hari kemerdekaan, di lahan seluas 2.905 meter persegi yang pada masa kejayaan Pajajaran disebut sebagai palagan ini, selalu diramaikan oleh kompetisi sepak bola antar kampung. 

Pada setiap kompetisi itu berlangsung, panji-panji antar club berkibar mewarnai acara lomba dari berbagai nama dan corak. Nama kejayaan club yang sudah melegenda itu antaranya adalah PORAM, belakangan baru saya ketahui itu adalah nama kepanjangan dari Persatuan Olah Raga Angkatan Muda. Dari para tetua per-sepak bolaan di empang, selain club PORAM yang sempat populer, di era tahun 60-an juga ada nama club GELORA singkatan dari Gerak Laju Olah Raga yang pembentukannya di motori oleh alm Faradj Bisyir, salah seorang pejuang veteran angkatan 45 yang juga disebut-sebut salah satu penggagas berdirinya Persatuan Olah Raga Bogor atau PSB.

Semua warga masyarakat dari berbagai usia tumpah ruah diiringi dengan riuh gemuruhnya para penonton yang datang dari segala penjuru kampung. “Seru jika mengingat kembali masa-masa yang indah itu”.

Menanti sunrise dari alun-alun Empang selepas salat subuh juga menjadi sebuah kenangan yang tak akan bisa saya lupakan.

Dari ufuk Timur, sang surya menyinari kampung arab empang. Kehangatan cahaya matahari pagi yang menembus sela-sela dedaunan, membuat saya nyaman dan betah untuk tinggal di tanah kelahiran ini. Tak terpikir dan tersirat dalam benak sedikit pun hasrat untuk meninggalkan kampung yang setiap oksigennya dengan karunia Ilahi telah memberikan nafas penyambung bagi hidupku hingga di usiaku yang tidak lagi muda tapi belum pula memasuki masa yang senja. Tapi tidak terasa generasi sesudah saya yang terlahir kemaren sore sudah akrab ditelinga menyapaku dengan panggilan ami dolah. Suka dan tidak suka, kusadari harus kuterima dengan lapang dada, karena di usia mereka sekarang, dahulu pun aku menyapa yang seusiaku dengan sapaan serupa.

Sambil berjalan memutari alun-alun, sarapan bubur dipinggir masjid Agung Empang, ditemani secangkir kopi cap kacamata abah sipit, membuat suasana di empang memamg sangat nyaman dan memberi kesan. Lain pula ingatan dimasa silam pada dodongkal bu mamah ustad yang rumahnya di antara lorong ter himpit pada muka gang pekojan. Kenangan pada kudapan pagi itu paling diingat adalah terutama pada rebutan congcot dodongkalnya sebagai bagian yang ter ajib dari ujung kukusan, favorit para penggemar makanan tradisional berbahan tepung beras dan gula merah, khas dari bumi priangan. 

***

Cangkir kopi yang tadinya penuh, tak terasa sudah berkurang setengahnya. Sembari melirik tajam pada jurnalis muda yang kritis, tatapan saya pun tertuju pada poto-poto tua perkembangan kawasan Empang dan narasi berita yang tertulis di koran, yang sengaja saya pajang dalam ruangan yang selama ini saya berkiprah, di Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Bogor, disingkat PUSDOK AL-IRSYAD BOGOR.

Saya dan jurnalis muda pun larut dalam percakapan soal wacana Pemerintah Kota Bogor yang akan  merevitalisasi kawasan Empang sebagai bagian dari ambisinya mewujudkan kota pusaka dan kampung arab sebagai ikonnya. Konon tahapan proyek bagian dari kawasan kota pusaka itu dimulainya dengan merevitalisasi alun-alun Empang.

Saya dan jurnalis itu sama-sama masih segar dalam ingatan, peletakan batu pertama revitalisasi alun-alun Empang dilakukan oleh Wali Kota Bogor, Bima Arya pada Jumat (31/1/2020) silam. Entah apakah dilihat dari usia, sejumlah lelaki tua dihadirkan pertanda disepuhkan yang jika logam bukan emas, orang di pasar menyebutnya doblet memberikan doa restu meski doanya belum teruji terkabul, menyaksikan prosesi yang bisa disebut sebagai resmi-resmian. Ada pula eks anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari partai Islam yang paling sibuk mengatur jalannya acara, yang hampir setiap hari saya lihat paling getol siang dan malam beradu urat syaraf dengan para pelapak dan petugas parkir yang berontak karena ricuh untuk di relokasi. 

 Prosesi peletakan "Batu Pertama" revitalisasi Alun-Alun Empang 

Alun-Alun Empang sebelum Persesmian

 Suasana Alun-Alun Empang Sesudah Peresmian

Pembangunan yang menurut rencananya akan memakan waktu sekitar 7 bulan itu dengan menggunakan dana CSR dari PT Duta Graha Afiah, kini terlihat mangkrak dan terbengkalai atau bisa jadi, di mangkrak-mangkrak-an (wallahu'alam). konon menurut kabar burung, itu semua akibat dampak covid-19. Tapi anehnya lahan parkir kendaraan roda empat yang direncanakan bagi fasilitas RS Ummi sudah rampung duluan dan sudah digunakan. Bahkan ada lahan parkir motor yang sudah dipagari, digunakan khusus sebagai fasilitas para pengguna SMK Ummi, karena namanya mirip, bisa jadi adalah underbow rumah sakit tersebut.

Kami pun berhenti sejenak, mendengkuk tekukan tarikan lidah dipersimpangan kerongkongan, sedikit menelan sisa ludah bercampur extrak kafein dan kemudian sama-sama menenggak kopinya kembali.

Seingat kami berdua, wacana revitalisasi alun-alun Empang ini sudah mencuat sejak 2013 silam. Sebab sepengetahuan kami dalam pemetaan dan perancangan Rencana Aksi Kota Pusaka kawasan empang juga masuk ke dalam salah satu kawasan prioritas pengembangan Kota Pusaka.

Dalam Perda no 8 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor, kawasan Empang juga merupakan Kawasan Strategis Kota. Dari sudut pandang sosial budaya dan Masjid Agung Empang atau juga dikenal sebagai Masjid At-Thohiriyah termasuk dalam salah satu dari 26 Kawasan Cagar Budaya di Kota Bogor yang sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan kondisinya.

"Dari dulu memang kawasan Empang jarang tersentuh. Bahkan masjid Agung Empang saja tidak pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah." 

Menelisik kembali ke belakang saya bercerita pada jurnalis muda di depan saya tersebut, bahwa alun-alun empang, sejak zaman yang silam sering dijadikan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat jika ada pengumuman sejak dari pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda. Pohon karet besar yang dahulunya di lokasi itu ada pohon beringin, oleh warga kota disebutnya dengan pohon bicara karena menjadi tempat untuk menaungi para pembawa titah membawa berita.

Pasca kemerdekaan, hingga saya  beranjak dewasa. Kawasan Empang terkenal sebagai tempat tersyiarnya agama Islam dan pusat perbelanjaan tradisional. Terutama daging kambing yang terkenal.

***

Masa kejayaan wilayah Empang seakan tergerus zaman.

Wilayah yang tadinya jadi pusat pemerintahan, penyiaran agama Islam dan pendidikan, kini menjadi kawasan padat penduduk.

Wilayahnya yang dibatasi dengan sungai cisadane, sebenarnya membuat empang memiliki potensi yang cukup tinggi.

Kembali kepada penerawangan dalam angan, selama saya beranjak dewasa, selalu membayangkan pusat perekonomian Islam dan pusat syiar agama Islam itu bertumpu di Empang.

Namun, tanpa adanya campur tangan pemerintah dalam menata kawasan, membuat wilayah empang seakan terpinggirkan. Berbeda dengan kawasan serupa di pecinan, yang terpusat di jalan surya kencana yang telah berabad-abad berdampingan hidup rukun dengan kampung arab di empang, warna merah merona dan penataan tiada henti di poles di kawasan itu hingga sekarang.

"Tapi di empang, masyarakatnya mencoba membangun wilayah itu dengan sendirinya. Akhirnya sekarang banyak toko-toko dan kuliner bernuansa arab yang muncul tanpa direncanakan".

Sambil kembali meneguk kopi cap kacamata saya katakan bahwa, keberadaan toko pernak pernik dan kuliner khas dari semenanjung arabia ini telah menghiasi perkembangan wilayah di empang.

Mulai dari toko parfum, oleh-oleh khas Timur Tengah, hingga kuliner kini tersedia di empang.

“Dalam desahan nafas pada usia yang kini sudah menginjak masa perak, saya berharap pemerintah mau serius dalam membenahi dan mengangkat kawasan empang”.

“Saya berharap, empang bisa mendapatkan kembali masa kejayaannya. Nuansa Islami yang dibalut dengan budaya menjadi ciri khas empang dimasa dulu dan itu harus dihadirkan kembali”.

"Jangan hanya mengedepankan pembangunan di kawasan atas, tapi yang bawah juga harus dilestarikan". Saya terus berguman dalam hati, tapi terlontar kata itu kepada jurnalis muda yang rupawan berada di hadapan saya. 

Kumandang azan pun terdengar dari Masjid Agung Empang. Saya pun bergegas mengambil sajadah dan berangkat ke masjid untuk salat Ashar berjamaah. 

Jurnalis muda itu menatap dan memperhatikan setiap langkah saya yang menyusuri jalanan di empang menuju Masjid Agung Empang, seakan melihat saya yang tengah memanggil kembali memori masa kecil dimasa yang lampau.

Menyeberangi jalanan, menyusuri pinggiran alun-alun empang yang beratapkan dahan pohon karet kebo serupa beringin yang lebat menjadi satu-satunya kenangan yang tak akan bisa dilupakan. Saya katakan bahwa pohon karet kebo ini adalah generasi kedua yang ditanam kembali oleh para pemuda empang pada tahun 80-an, salah seorang antaranya ialah Husen Hadad yang diambilnya dari anak pohon induk di rumah bekas penghulu empang zaman kolonial.

Namun kini, selain suara azan, desingan suara mesin mobil menjadi penanda perkembangan zaman.

Semua sudah berubah.

Bahkan yang tersisa dari Masjid Agung Empang hanya empat tiang pancang yang ada ditengah-tengah Masjid. Sedangkan sisanya sudah berubah pasca direnovasi oleh warga. Renovasi masjid seolah tidak terencana sehingga tampak ada bagian yang serupa dengan model interior pabrik kerupuk. Dari kejauhan tenda-tenda biru dari terpal plastik mempertontonkan kekumuhan tempat suci yang seharusnya dipandang elok. Bangunan mangkrak dari beton yang di cor serupa dengan atap pabrik menjadi pelengkap "kumuhnya kawasan empang" yang bagaikan mega proyek terbengkalai lengkap dengan gundukan tanah di sekelilingnya, seolah bukan gundukan kuburan dan taman pun bukan. Konon kepemilikan lahan alun-alun empang itu sendiri sebagai aset wakaf masjid ini kini seolah menjadi sebuah misteri seperti dalam sebuah film horor yang dibintangi oleh aktris Indonesia Suzzana. Masyarakat dan pemerintah seolah terbungkam akibat kebodohan dan atau  oleh ke tidak perduli an atau kura-kura dalam perahu.

Langkah kaki para pelaku yang terlibat, sering terlihat wara wiri ke masjid hampir setiap lima waktu, berzikir sejenak seusai salat rawatib, seolah tertutupinya kepalsuan tingkah polah mereka karena duduk tafakur bermunajat mengedahkan tangan tanda berbakti kepada yang maha kuasa, Allah khaliqul rahman. Tutur katanya sopan dan senyuman sembari membungkuk, seakan kepalusan memang sengaja diciptakan untuk menutupi kepicikan yang dibuat-dibuat, wallahu'alam bishowab seraya ber-istighfar memohon ampunan jika tulisan ini terbilang lancang, silaf dan khilaf.

Ditulis di awal tahun hijriyah dan di akhir dalam bulan hari kemerdekaan. Bogor, 14 Muharram 1442/1 September 2020. Dari hasil gubahan narasi yang dibuat oleh jurnalis idaman yang tak pernah dimuatnya entah kenapa dan karena itu dirampungkan kembali oleh;



Abdullah Abubakar Batarfie

Konon maket bakal revitalisasi Alu-Alun Empang yang akan dibuat

Belum ada Komentar untuk "Harapan Ditengah Alun-alun Empang "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel