Pekojan, cikal bakal Kampung Arab pertama di Empang

Masjid Pakojan Tempo Doeloe

Di berbagai kota di Jawa, termasuk Bogor, terdapat beberapa tempat yang dikenal sebagai kampung Pekojan. Nama "Pekojan" ini sendiri, mempunyai akar sejarah yang menarik, sebut saja misalanya di Jakarta, zona awal pemukiman bagi para pendatang hadharim di Batavia sejak berlakunya aturan kependudukan yang dibuat oleh Belanda, bahkan jauh sebelumnya, yang oleh bangsa Portugis disebut sebagain bangsa "Moor". 

Menurut Van den Berg, Pekojan berasal dari kata "Khoja", istilah yang digunakan di masa Hindia Belanda untuk merujuk kepada penduduk India yang beragama Islam, dimana jauh sebelum para pendatang Arab dtempatkan di kawasan itu, para pendatang India muslim asal Benggali ini sudah terlebih dahulu tinggal dan menetap disana dan menjadi jejak berharga dari keragaman budaya yang pernah berkembang di wilayah tersebut.

Pekojan di Bogor memiliki jejak sejarah yang unik. Meskipun pada awalnya terdapat beberapa komunitas India, namun mereka baru menetap pada akhir abad ke-19, oleh karenanya dapat dipastikan bahwa, nama "Pekojan" di Bogor tidak berhubungan dengan komunitas India yang pernah ada.

Sebaliknya, Pekojan di Empang telah lama menjadi pusat kehidupan bagi komunitas Arab. Wilayah ini menjadi cikal bakal kampung Arab yang kemudian tumbuh dan mendominasi wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai Soekaati. Nama "Empang" kemudian menggantikan nama Soekaati, dan wilayah tersebut lebih dikenal sebagai Kampung Arab di Bogor. Ini adalah cerminan dari perkembangan sejarah yang menarik, di mana jejak keberagaman budaya terus hidup dan berkembang dalam kota ini.

Di masa lalu, terdapat sebuah jalan menurun dari samping "Hotel Bellevue" yang terkenal di Buitenzorg (Bogor), yang berdekatan dengan bekas kediaman Raden Saleh, seorang pelukis berdarah Arab. Dalam berbagai sumber lama, kawasan tersebut sudah disebut sebagai "Tandjakan Empang". Begitu juga dengan keberadaan sekolah milik pemerintah yang gedungnya sudah berdiri sejak zaman Belanda, hingga sekarang sekolah itu masih dinamakan dengan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Empang I-V. Konon gedung sekolah itu disebut-sebut adalah bekas sekolah "Tiong Hoa Hwee Kwan".

Seiring dengan perkembangan waktu dan kaya akan perubahan, dari arah Tanjakan Empang hingga ke lampu merah Empang sekarang, ruas jalan itu kini dinamakan dengan Jl.Raden Saleh Syarif Bustaman, untuk mengenang dan mengabadikan namanya sebagai tokoh perintis seni rupa Indonesia.


Jalan menurun ke Arah Empang (samping Hotel Bellevue), koleksi Tropenmuseum

Briefkart (kartu pos) Jalan "Tandjakan Empang"


Di kawasan Pekojan, salah satu jejak peninggalan yang masih tegar adalah Masjid At-Taqwa. Pada awalnya, masjid ini hanya digunakan untuk kegiatan ibadah shalat rawatib, sebagaimana mushola, langgar, atau surau di tanah Melayu. Masjid yang lebih dikenal sebagai Masjid Pekojan ini adalah wakaf dari Sjaich Saleh bin Abdullah Al-Bakri, yang dulunya merupakan pemilik sebagian besar properti di kawasan tersebut. Ini adalah bukti nyata dari warisan sejarah dan budaya yang masih hidup dalam sebuah kawasan bersejarah.

Dahulu, dalam peta kolonial, konon Pekojan diyakini terhubung hingga ke ujung jalan sedane yang sekarang dikenal sebagai Gang Al-Irsyad. Sebagai titik awal pemukiman para pendatang dari Hadramaut, Pekojan dianggap sebagai tempat pertama bagi sebagian besar orang Arab yang menetap di Bogor. Dari sini, pemukiman ini berkembang dan menjalar ke wilayah sekitarnya, menjadi jejak yang menghidupkan sejarah dan keberagaman budaya di kota ini.


Rumah panggung terakhir di pekojan 
yang kini sudah musnah


Salah satu rumah panggung tertua di Pekojan akhirnya roboh dan kembali bersatu dengan tanah pada tahun 2020, adalah rumah panggung yang terakhir kalinya ditempati oleh keturunan Sjaich Karamah bin Hadi Tebe. Abdullah, putra Sjaich Karamah, dikenal sebagai tokoh agama di Pekojan. Rumah tua tersebut, awalnya dimiliki oleh Sjaich Muhammad Bin Said Bawazier, yang telah menghuni bangunan tersebut sejak sebelum tahun 1900. Dengan musnahnya rumah tua terakhir berkontruksi panggung itu, tentunya akan meninggalkan kenangan dan cerita yang berharga bagi kawasan ini.

Pekojan, sebuah kawasan pemukiman yang bersejarah bagi para pendatang dari Hadramaut, bukan hanya menjadi pusat kehidupan sosial, tetapi juga menjadi katalisator bagi pergerakan pembaharuan Islam. Di antara jalanan-jalanan berliku dan bangunan-bangunan tua, lahirnya gerakan-gerakan yang mencoba mengubah wajah kehidupan umat Islam di tanah ini.

Masjid Pekojan menjadi simbol keberadaan kegiatan dakwah para aktivis Al-Irsyad sejak tahun 1915. Itu bukan hanya tempat untuk beribadah, tetapi juga pusat pembelajaran dan inspirasi bagi kaum muslimin Bogor. Tidak hanya itu, di Pekojan ini pula, pada tahun 1928, Al-Irsyad cabang Bogor lahir dan diresmikan, menandai awal dari gerakan yang lebih terstruktur dan terorganisir.

Pada bulan Maret tahun 1933, di lokasi yang sama, gerakan perubahan semakin berkembang. Ulama asal Kuwait, Sjaich Abdul Azis Ar-Rasyid, menerbitkan Majalah At-Tauhied, sebuah media yang menjadi corong gagasan dan pemikiran baru bagi masyarakat. Sementara itu, di waktu yang hampir bersamaan, Sjaich Junus Al-Bahrry, seorang jurnalis dan ulama asal Irak, juga turut andil dengan menerbitkan Surat Kabar Al-Haq. Kehadiran media ini memperluas jangkauan dakwah dan memberikan pengaruh yang signifikan dalam merubah pandangan dan pemikiran masyarakat Bogor pada waktu itu.

Tidak hanya itu, sejumlah majalah lainnya juga terbit di Empang, menyemarakkan ranah publikasi dalam bahasa Arab. "Al-Wivac", yang dikelola oleh Syaikh Abdul Fattah Al-Makky, dan majalah Al-Kuwait & Al-Iraqy", yang esitornya adalah oleh Sjaich Abdul Azis Ar-Rasyid bersama Sjaich Junus Al-Bahrry, menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan bagi banyak kalangan di kawasan ini. Semua ini mencerminkan semangat intelektual dan keberagaman pemikiran yang hidup di Pekojan, menjadikannya sebagai salah satu pusat kegiatan intelektual dan "api dalam melawan kolialisme bersama spirit "Pan-Islamisme" yang berpengaruh dalam sejarah Islam di Indonesia, bahkan dunia Islam yang jangkauan media itu tersebar luas hingga ke luar negeri.

Majalah At-Tauhied terbit di Pekojan

Majalah Al-Iraqi wal Quwaity

Majalah Al-Wivac


Di penghujung tahun 1970-an, langkah kita di Pekojan Bogor masih bisa menemui jejak-jejak rumah tua yang menggambarkan masa-masa kedatangan generasi pertama para pendatang dari Hadramaut, yang dikenal dengan istilah wulaiti. Salah satu contohnya adalah rumah keluarga bin Munif, yang kini berdiri megah sebagai gedung SMP Al-Irsyad. Rumah-rumah ini tidak hanya menjadi bangunan fisik, tetapi juga menyimpan sejarah dan kenangan yang tak tergantikan. Mereka menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang komunitas Arab di tanah ini.

Di balik dinding rumah kediaman keluarga bin Munif, terdapat tradisi yang kaya akan makna: Majlis. Majlis adalah istilah untuk berkumpul dalam lingkaran, dan bagi kaum laki-laki Hadrami, ini adalah momen penting. Di tengah cakrawala tahun tujuh puluhan, generasi terakhir Wulaiti yang masih hidup menjalani ritual ini hampir setiap hari. Pagi dan sore selepas Ashar, mereka berkumpul untuk berdiskusi tentang berbagai hal. Mulai dari urusan bisnis hingga problematika dunia Arab dan Islam, hingga keadaan keluarga dan negeri leluhur mereka di Hadramaut. Tak luput dari pembicaraan adalah isu-isu politik terkini yang membara di tanah air. Setelah mencermati berita dari siaran BBC London dan sumber-sumber berita Timur Tengah lainnya, seperti Mesir dan Aden-Yaman, mereka berdiskusi dengan semangat yang membara. Di tengah hembusan diskusi yang serius, aroma hoga, yang selalu tersedia di rumah, mengisi udara, menambah kehangatan dan kebersamaan di Majlis mereka.

Pada tahun yang sama, pemandangan di beberapa rumah orang Arab masih mempertahankan keaslian dan kekhasan mereka. Dengan tata ruang yang kental akan tradisi dan ajaran Islam, rumah-rumah ini memancarkan aura kediaman khas Arab. Salah satu ciri khasnya adalah beranda luas yang berfungsi sebagai tempat berkumpul bagi tamu laki-laki, sementara kamar mandi tersedia di halaman luar, menciptakan suasana yang hangat dan ramah bagi setiap pengunjung.

Di antara pemilik rumah-rumah yang menonjol pada masa itu adalah orang-orang Arab yang memiliki pengaruh dan dihormati di komunitas mereka. Misalnya, Ali Sungkar, yang rumahnya terletak di posisi paling depan di jalan masuk ke Pekojan, menandai kehadiran penting keluarga Sungkar di daerah tersebut. Istrinya, Ibu Enjon (Khadijah Sungkar), juga dikenal luas oleh warga Empang, menunjukkan pengaruh dan keberadaan keluarga tersebut di lingkungan sekitarnya.

Selain itu, rumah keluarga Sjaich Soelaiman Nadji Bareba dan anaknya, al-Ustadz Oemar Soelaiman Nadji, juga menjadi salah satu pusat perhatian. Bekas kediaman Sjaich Ahmad bin Jislam Balweel, seorang kapten Arab terakhir pada masa kolonial Belanda, juga masih berdiri kokoh di kawasan tersebut.

Tidak hanya itu, daerah tersebut juga menampung sejumlah rumah penting lainnya. Diantaranya adalah rumah Aboed Sungkar, kediaman tokoh Pandu Indonesia di Bogor, Ali Azzan Abdat, serta kediaman ulama terkemuka asal Sudan, Sjaich Hassan Hamid Al-Anshary. Tak lupa, bekas kediaman keluarga Al-Idroes, seorang saudagar kaya, yang terletak di bagian depan menuju alun-alun Empang, juga menjadi bagian dari jejak sejarah yang berharga.

Pasar di Aloen-Aloen Tahun 1888 
Lukisan karya Antoine A. J. Payen


Pada akhir abad ke-19, jumlah penduduk Arab Hadrami yang menetap di Bogor, terutama di kawasan Pekojan hingga sekitar Alun-alun Empang, masih cukup terbatas, kurang dari 300 orang. Komunitas ini dipimpin oleh seorang wijkmeester yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda sebagai kepala koloni. Namun, dengan dibukanya jalur kereta api yang menghubungkan Batavia dengan Buitenzorg, jumlah penduduk tersebut mulai meningkat pesat.

Data statistik awal tahun 1900 hingga 1910-an mencatat peningkatan jumlah yang signifikan, melebihi hampir 600 orang. Komunitas ini terdiri dari generasi pertama (wulaiti) yang lahir di Hadramaut (Yaman), serta anak-anak mereka yang lahir di Jawa (muwalad). Termasuk dalam catatan ini adalah istri-istri mereka yang berasal dari penduduk pribumi, yang juga dianggap sebagai warga koloni oleh pemerintah Belanda.

Selain itu, ada juga pendatang Muslim dari Hindustan meskipun jumlah mereka cukup sedikit. Mereka menyebar di sekitar Lolongok dan daerah sekitarnya. Bahkan, pada tahun 1920-an, beberapa keluarga sudah mulai menetap di luar wilayah Empang, terutama di pusat kota dekat stasiun Bogor. Keputusan ini biasanya terkait dengan jenis usaha yang mereka jalankan, tentunya setelah melewati pengajuan izin yang ketat dari pemerintah Belanda.

Dengan pertumbuhan yang pesat, komunitas Arab di Kampung Empang menjadi semakin berpengaruh, meramaikan kehidupan pemerintahan feodal pribumi yang dipimpin oleh seorang Demang/Regent/Patih. Keberadaan mereka memberi warna tersendiri pada kawasan ini. Pasar Empang, yang pusatnya berada di Alun-alun, semakin berkembang, sementara Masjid Empang dan masjid-masjid di sekitarnya menjadi pusat kegiatan dakwah, dipimpin oleh ulama-ulama yang berasal dari Hadramaut.

Kehidupan masyarakat di Kampung Empang berkembang pesat, mencakup semua aspek kehidupan mulai dari spiritualitas dan pendidikan diniyah Islamiyyah hingga ekonomi, budaya, sosiologi, dan bahkan politik. Ini menandai puncak perkembangan kawasan ini sebagai pusat kehidupan dan kegiatan komunitas Arab di Bogor.

Meskipun jarak antara Empang dan pusat perdagangan di pecinan (Jalan Roda, Perniagaan, Pedati, dan Lawang Saketeng) relatif dekat, dengan semakin ramainya Kampung Empang sebagai sebuah pemukiman, pusat pemerintahan, dan pusat keagamaan, ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, kawasan ini menjadi semakin hidup dan beragam.

Pada tahun 1920-an, beberapa pedagang Cina mulai meramaikan kawasan ini setelah mendapatkan izin dari otoritas setempat untuk membuka usaha mereka di Empang. Kedatangan mereka menambah warna dan keragaman dalam kehidupan kawasan, menciptakan suasana yang semakin dinamis dan multikultural.

Di tengah ramainya kehidupan di Empang, kehadiran pedagang Cina semakin menambah warna dalam keberagaman kawasan ini. Mereka membuka berbagai jenis usaha, mulai dari toko klontongan, mainan, hingga kebutuhan sehari-hari seperti bahan pokok, tembakau, areng, dan kopi. Tak hanya itu, ada pula toko yang khusus menjual barang elektronik, seperti radio tabung, yang kemudian menjadi agen penjualan radio transistor dan televisi setelah tahun 1960-an.

Beberapa pedagang Cina yang menjadi ikon di Empang antara lain Lie Ek Gie, Tjioe Ban Sioe, Njan Hien, Yoe Hong Keng, Bah Kim Tjang, Bah Tjen Tie, Bah Giok, Bah Balon, Bah Jenggot, dan Bah Gemuk. Meskipun sebagian dari mereka bertahan hingga tahun 1980-an, kehadiran mereka telah menciptakan sebuah komunitas yang hidup berdampingan dengan toko-toko milik orang Arab setempat, seperti Toko Kitab Bahanan, Toko Kitab Dar El Qolam, dan "BATIKHANDEL Empang" milik Sjaich Ahmad bin Aboebakar Ba'Afiff.

Pasar di Alun-Alun Empang
Karya Pelukis G.A.Kadir

Di antara keberagaman toko di Empang, Toko Kitab Bahanan milik Mualim Bahanan menonjol sebagai salah satu toko kitab tertua yang telah berdiri sejak sebelum tahun 1930-an. Sebelumnya, pada tahun 1920-an, ada toko kitab yang didirikan oleh Sjaich Abdullah bin Ali Munif al-Nahdi, namun sayangnya, toko tersebut tutup sebelum kemerdekaan.

Masih di sekitar Jalan Empang, Toko Kitab Dar El Qolam juga pernah berdiri. Toko ini menjual kitab-kitab klasik dari penerbit Timur Tengah, serta kitab-kitab lokal untuk mata pelajaran madrasah dan pesantren yang dikenal dengan sebutan kitab kuning. Pemiliknya adalah Sjaich Ali Bafadhol, yang juga menantu dari Mualim Bahanan. Keberadaan kedua toko ini menjadi bagian penting dari warisan intelektual dan budaya di kawasan Empang.

Di masa lalu, keberadaan usaha di Empang tercermin dalam beragam sektor. Salah satu usaha yang menjadi andalan di kalangan orang Arab adalah wasserette, yang oleh warga pribumi kerap diucapkan sebagai "wasrey" atau binatu, milik keluarga Nahdi. Di samping itu, terdapat juga penjualan kambing dan daging kambing untuk memenuhi kebutuhan komunitas Arab sendiri.

Usaha-usaha orang Arab pada masa tersebut meliputi perdagangan kain batik dan sarung, penjualan furniture, bahan bangunan, rempah-rempah, serta ekspor-impor dan properti. Properti menjadi salah satu bidang yang diminati, dengan investasi dalam bentuk rumah hunian dan toko yang disewakan kepada warga Eropa dan Cina. Properti tersebut tersebar di pusat kota Bogor dan Batavia, bahkan beberapa di luar kota-kota tersebut, seperti di Singapura. Keberagaman usaha ini mencerminkan dinamika ekonomi dan keberanian berinvestasi orang Arab pada masa itu.

Dengan meningkatnya jumlah orang Arab di Empang, sesuai dengan kebijakan sistem kependudukan yang diberlakukan, status sosial mereka pun mengalami perubahan signifikan. Para pemimpin mereka yang sebelumnya hanya diangkat sebagai wijkmeester, kini naik pangkat menjadi Luitenant Hoofd der Arabieren. Selain itu, untuk memperkuat struktur koloni, Belanda juga menunjuk seorang Penghoeloe Arab atau yang dikenal dengan sebutan Tuan Kadhi di tanah Melayu. Hal ini mencerminkan peran dan pengaruh yang semakin berkembang dari komunitas Arab dalam struktur pemerintahan dan sosial di Empang pada masa itu.



Abdullah Abubakar Batarfie, ditulis tanggal 8 Juni 2020 dan dipernaharui kembali pada 1 Maret 2024.

Suasana Alun-Alun Empang Tempo Doeloe
Sore Hari selepas Ashar jelang Magrib

Pertigaan Jalan Empang Tahun 1901

 Keramaian di pertigaan Empang 1940

Pemandangan Empang 
dari arah Masjid Noer Alattas

Belum ada Komentar untuk "Pekojan, cikal bakal Kampung Arab pertama di Empang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel