Pekojan, cikal bakal Kampong Arab pertama di Empang
08 Juni 2020
Tulis Komentar
Di sejumlah kota di Jawa terdapat beberapa nama tempat yang disebut kampung Pekojan termasuk di Bogor. Pekojan di Jakarta merupakan salah satu tempat bersejarah yang menurut van den Berg nama itu berasal dari kata Khoja, istilah yang di masa Hindia Belanda digunakan untuk menyebut penduduk India yang beragama Islam.
Adapun Pekojan di Bogor meski dahulu sempat ada sejumlah komunitas India dekat kawasan itu, sudah dapat dipastikan tidak berhubungan dengan cikal bakal penamaan daerah ini karena mereka baru menetap pada akhir abad ke-19. Pekojan di Empang telah menjadi cikal bakal kampung Arab yang kemudian meluas dan mendominasi wilayah yang dahulunya bernama Soekaati. Setelah nama Soekaati tergeser oleh nama Empang, Empang kemudian lebih dikenal sebagai Kampung Arab di Bogor.
Jalan menurun dari samping hotel bellevue yang terkenal dekat dengan bekas kediaman Raden Saleh pelukis berdarah Arab, dalam berbagai sumber lama kawasan itu sudah disebut sebagai Empang. Karena itulah jalan yang menurun hingga pada jembatan rel kereta api yang selesai dibangun pada tahun 1920-an itu dinamainya jalan Tandjakan Empang, demikian pula dengan sekolah milik pemerintah yang sejak zaman kolonial Belanda sudah berdiri, hingga sekarang sekolah itu masih dinamakan SDN Empang.
Jalan menurun dari samping hotel bellevue yang terkenal dekat dengan bekas kediaman Raden Saleh pelukis berdarah Arab, dalam berbagai sumber lama kawasan itu sudah disebut sebagai Empang. Karena itulah jalan yang menurun hingga pada jembatan rel kereta api yang selesai dibangun pada tahun 1920-an itu dinamainya jalan Tandjakan Empang, demikian pula dengan sekolah milik pemerintah yang sejak zaman kolonial Belanda sudah berdiri, hingga sekarang sekolah itu masih dinamakan SDN Empang.
Jalan ke Arah Empang (Hotel Bellevue)
koleksi Tropenmuseum
Salah satu jejak peninggalan yang masih ada di kawasan Pekojan adalah Masjid At-Taqwa yang pada awal dibangun hanya diperuntukan bagi kegiatan Ibadah shalat rawatib saja, seperti halnya Mushola, Langgar atau Surau di tanah Melayu. Masjid yang lebih dikenal sebagai Masjid Pekojan ini merupakan wakaf dari Sjaich Saleh bin Abdullah Al-Bakri yang dahulunya pemilik hampir sebagian besar properti di kawasan itu.
Konon dalam peta kolonial dahulu, Pekojan tersambung hingga ke ujung jalan sedane yang sekarang menjadi Gang Al-Irsyad. Pekojan sebagai cikal bakal pemukiman para pendatang dari Hadramaut ini disebut-sebut menjadi pemukiman awal hampir semua orang-orang Arab yang sejak pertama kali datang bermukim di Bogor. Dari pekojan inilah kemudian penghuninya berkembang dan menyebar hingga meluas ke daerah disekitarnya.
Salah satu peninggalan rumah tertua di Pekojan yang baru tahun ini (2020) roboh dan rata dengan tanah adalah rumah panggung kayu yang terakhir didiami oleh keturunan Sjaich Karamah bin Hadi Tebe. Abdullah anak laki-laki Sjaich Karamah dikenal sebagai tokoh dan pemuka Agama di Pekojan. Rumah tua tersebut pemiliknya adalah Sjaich Muhammad Bin Said Bawazier yang sebelumnya sudah dihuni oleh beliau sejak sebelum tahun 1900.
Salah satu peninggalan rumah tertua di Pekojan yang baru tahun ini (2020) roboh dan rata dengan tanah adalah rumah panggung kayu yang terakhir didiami oleh keturunan Sjaich Karamah bin Hadi Tebe. Abdullah anak laki-laki Sjaich Karamah dikenal sebagai tokoh dan pemuka Agama di Pekojan. Rumah tua tersebut pemiliknya adalah Sjaich Muhammad Bin Said Bawazier yang sebelumnya sudah dihuni oleh beliau sejak sebelum tahun 1900.
Pekojan sebagai kawasan pemukiman awal para pendatang dari Hadramaut ini dahulunya menjadi pusat lahirnya pergerakan pembaharuan Islam. Selain karena Masjid Pekojan yang telah menjadi pusat kegiatan dakwah para aktivis Al-Irsyad sejak tahun 1915, di Pekojan ini pula untuk pertama kalinya Al-Irsyad cabang Bogor lahir dan diresmikan pada tahun 1928. Dilokasi yang sama pada bulan maret tahun 1933 ulama asal kuwait Sjaich Abdul Azis Ar-Rasyid meneruskan penerbitan Majalah At-Tauhied. Dan rekannya di waktu yang hampir bersamaan yaitu Sjaich Junus Al-Bahri seorang jurnalis dan ulama asal Irak juga menerbitkan Surat Kabar Al-Haq. Majalah lainnya yang terkenal dan pernah diterbitkan di Empang dalam bahasa Arab antaranya adalah al-Wifaq dan al-Iraqi wal Quwaity.
Majalah At-Tauhied terbit di Pekojan
Majalah Al-Iraqi wal Quwaity
Pada akhir tahun 1970-an di Pekojan Bogor masih dapat kita jumpai beberapa rumah yang dihuni oleh generasi pertama para pendatang dari Hadramaut yang disebut dengan istilah wulaiti. Antaranya adalah kediaman keluarga bin Munif yang bekas rumahnya sekarang sudah berdiri gedung SMP Al-Irsyad.
Salah satu dari tradisi kaum laki-laki hadrami adalah berkumpul melingkar yang dinamakan dengan istilah Majlas, dan di kediamannya-lah (al-munif) generasi terakhir wulaiti yang tersisa dan masih hidup di era tahun tujuh puluhan berkumpul hampir setiap harinya dalam dua kali pertemuan (majlas), yaitu pada pagi hari dan sore selepas ashar. Banyak hal yang mereka bicarakan, dari mulai dunia perniagaan, tentang problematika dunia arab dan Islam, hal ihwal tentang keadaan keluarga dan negeri leluhur mereka di Hadramaut, hingga isu-isu politik terkini yang sedang terjadi di tanah Air. Mereka juga menghisap hoga yang selalu tersedia di rumah itu.
Di tahun yang sama itu pula masih terdapat beberapa rumah orang-orang Arab yang masih menampakan wujud aslinya, lengkap dengan tata ruang khas keluarga Arab yang kental dengan tradisi Arab dan ajaran Islam yang kuat. Salah satu ciri dari rumah-rumah ini adalah adanya beranda yang cukup luas sekaligus berfungsi sebagai ruang terbuka untuk tamu laki-laki dan kamar mandi yang tersedia di halaman luar.
Diantara pemilik rumah-rumah tersebut pada masa itu adalah orang-orang Arab yang cukup terpandang dan ditokohkan di masanya, seperti Ali Sungkar yang kediamannya berada paling terdepan arah jalan masuk ke Pekojan. Istrinya Ibu Enjon (Khadijah Sungkar) juga cukup dikenal luas oleh warga Empang. Kediaman lainnya adalah milik keluarga Sjaich Soelaiman Nadji Bareba dan anaknya yang ditokohkan yaitu al-ustadz Oemar Soelaiman Nadji. Demikian pula ada bekas kediaman Sjaich Ahmad bin Islam Balweel, kapten Arab yang terakhir pada masa kolonial Belanda. Masih dalam satu kawasan ada kediaman Aboed Sungkar, kediaman tokoh Pandu Indonesia di Bogor Ali Azzan Abdat, kediaman Sjaich Hassan Hamid Al-Anshary ulama asal Sudan. Dan bekas kediaman saudagar kaya keluarga Al-Idroes yang lokasinya berada dibagian terdepan ke arah alun-alun Empang.
Salah satu dari tradisi kaum laki-laki hadrami adalah berkumpul melingkar yang dinamakan dengan istilah Majlas, dan di kediamannya-lah (al-munif) generasi terakhir wulaiti yang tersisa dan masih hidup di era tahun tujuh puluhan berkumpul hampir setiap harinya dalam dua kali pertemuan (majlas), yaitu pada pagi hari dan sore selepas ashar. Banyak hal yang mereka bicarakan, dari mulai dunia perniagaan, tentang problematika dunia arab dan Islam, hal ihwal tentang keadaan keluarga dan negeri leluhur mereka di Hadramaut, hingga isu-isu politik terkini yang sedang terjadi di tanah Air. Mereka juga menghisap hoga yang selalu tersedia di rumah itu.
Di tahun yang sama itu pula masih terdapat beberapa rumah orang-orang Arab yang masih menampakan wujud aslinya, lengkap dengan tata ruang khas keluarga Arab yang kental dengan tradisi Arab dan ajaran Islam yang kuat. Salah satu ciri dari rumah-rumah ini adalah adanya beranda yang cukup luas sekaligus berfungsi sebagai ruang terbuka untuk tamu laki-laki dan kamar mandi yang tersedia di halaman luar.
Diantara pemilik rumah-rumah tersebut pada masa itu adalah orang-orang Arab yang cukup terpandang dan ditokohkan di masanya, seperti Ali Sungkar yang kediamannya berada paling terdepan arah jalan masuk ke Pekojan. Istrinya Ibu Enjon (Khadijah Sungkar) juga cukup dikenal luas oleh warga Empang. Kediaman lainnya adalah milik keluarga Sjaich Soelaiman Nadji Bareba dan anaknya yang ditokohkan yaitu al-ustadz Oemar Soelaiman Nadji. Demikian pula ada bekas kediaman Sjaich Ahmad bin Islam Balweel, kapten Arab yang terakhir pada masa kolonial Belanda. Masih dalam satu kawasan ada kediaman Aboed Sungkar, kediaman tokoh Pandu Indonesia di Bogor Ali Azzan Abdat, kediaman Sjaich Hassan Hamid Al-Anshary ulama asal Sudan. Dan bekas kediaman saudagar kaya keluarga Al-Idroes yang lokasinya berada dibagian terdepan ke arah alun-alun Empang.
Pasar di Aloen-Aloen Tahun 1888
Lukisan karya Antoine A. J. Payen
Pada akhir tahun 1800 jumlah penduduk Arab Hadrami di Bogor yang menetap dalam kawasan Pekojan hingga disekitar Alun-alun Empang jumlahnya masih dibawah 300 orang yang dikepalai oleh seorang wijkmeester sebagai kepala koloni yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda. Jumlah ini kemudian semakin bertambah seiring setelah dibukanya jalur kereta Api yang menghubungkan Batavia - Buitenzorg. Hingga pada data statistik di awal tahun 1900 s.d 1910-an, jumlahnya sudah meningkat drastis melibihi hampir 600 orang, baik dari golongan generasi pertama (wulaiti) yang lahir di Hadramaut (Yaman) maupun anak-anak mereka yang dilahirkan di Jawa (muwalad), termasuk pencatatan istri-istri mereka yang pribumi digolongkan sama oleh Belanda sebagai warga koloni. Demikian juga para pendatang muslim dari negeri Hindustan, meski jumlahnya sangat sedikit sekali. Sebaran tempat tinggalnya pun diperluas hingga ke Lolongok dan sekitarnya. Bahkan di atas tahun 1920-an beberapa keluarga sudah ada yang menetap di luar Empang, tapi tetap dalam satu jalur yang berada di pusat kota dekat stasiun Bogor. Hal itu karena terkait erat dengan jenis usaha yang dijalaninya.
Seiring dengan semakin pesatnya jumlah pertumbuhan warga Arab tersebut, keadaan Kampong Empang sebagai pusat pemerintahan feodal pribumi yang dikepalai oleh seorang Demang, Regent atau Patih semakin menjadi ramai. Keberadaan orang-orang Arab telah memperkaya area yang ada dengan tumbuhnya pasar Empang yang berpusat di Alun-alun dan juga keberadaan Masjid Empang dan masjid disekitarnya sebagai pusat kegiatan dakwah dengan peran ulamanya yang berasal dari Hadramaut. Urat nadi roda kehidupan masyarakatnya kemudian tumbuh berkembang pesat meliputi semua aspeknya seperti spiritual keagamaan meliputi pendidikan diniyah Islamiyyah, ekonomi, budaya, sosiologi dan bahkan politik.
Meski dari Empang ke pusat perdagangan di pecinan (Jalan Roda,Perniagaan,Pedati dan Lawang Saketeng) jaraknya relatif dekat, tapi dengan semakin ramainya Kampong Empang sebagai sebuah pemukiman, pusat pemerintahan, pusat keagamaan dan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 1920-an beberapa dari para pedagang cina-pun mulai berdatangan dan telah mendapatkan izin dari otoritas setempat untuk membuka usahanya di wilayah sekitar Empang.
Para pedagang Cina ini umumnya membuka usaha toko klontongan, mainan, kebutuhan bahan pokok, tembakau, areng dan kopi. Dan ada juga satu toko yang khusus menjual elektronik berupa radio tabung, belakangan menjadi agen penjualan radio transistor dan televisi setelah tahun 1960-an. Beberapa pedagang Cina di Empang yang dikenal itu antaranya adalah Lie Ek Gie, Tjioe Ban Sioe, Njan Hien, Yoe Hong Keng, Bah Kim Tjang, Bah Tjen Tie, Bah Giok, Bah Balon, Bah Jenggot dan Bah Gemuk. Sebagian dari mereka ada yang bertahan hingga sampai di tahun 1980-an, hidup berdampingan dengan toko-toko milik orang Arab setempat seperti Toko Kitab Bahanan, Toko Kitab Dar El Qolam dan dengan BATIKHANDEL Empang milik Sjaich Ahmad bin Aboebakar Ba'Afiff.
Karya Pelukis G.A.Kadir
Toko Kitab Bahanan milik Mualim Bahanan merupakan salah satu toko kitab tertua di kawasan itu yang sudah berdiri sejak sebelum tahun 1930-an. Sebelumnya sempat ada toko kitab yang dirintis sejak tahun 1920-an oleh Sjaich Abdullah bin Ali Munif al-Nahdi, tapi kemudian ditutup sebelum kemerdekaan. Masih di kawasan Jalan Empang dahulu pernah berdiri Toko Kitab Dar El Qolam yang menjual kitab-kitab klasik dari penerbit Timur Tengah, serta kitab-kitab lokal untuk mata pelajaran madrasah dan pesantren yang disebut dengan kitab kuning. Pemiliknya adalah Sjaich Ali Bafadhol, menantu Mualim Bahanan.
Satu-satunya usaha jasa di Empang milik orang Arab dimasa itu adalah wasserette, tapi lidah pribumi melafalkannya dengan ucapan wasrey atau binatu milik keluarga Nahdi. Selain ada yang menjual kambing dan daging kambing di Empang untuk kebutuhan orang-orang Arab itu sendiri. Usaha-usaha orang Arab di masa lalu pada umumnya memperdagangkan kain batik dan sarung, furniture, bahan bangunan, rempah, perkebunan teh, kuda, eksport&import dan properti. Properti dimaksud berupa rumah-rumah hunian dan toko milik orang-orang Arab yang disewakan kepada orang-orang Europah dan Cina, baik yang tersebar di pusat kota Bogor maupun di Batavia, bahkan ada yang di luar dua kota itu, termasuk berinvestasi jauh di negeri Singapura.
Dengan bertambahnya jumlah statistik orang-orang Arab di Empang maka sesuai aturan dari kebijakan sistem kependudukan yang diberlakukan, secara otomatis status kedudukan yang sebelumnya sebagai kepala koloni ditingkatkan dari wijkmeester menjadi Luitenant Hoofd der Arabieren. Untuk kelengkapan koloni ini Belanda pun menunjuk pula seorang Penghoeloe Arab atau istilah Tuan Kadhi di tanah Melayu. (Abdullah Abubakar Batarfie)
Suasana Alun-Alun Empang Tempo Doeloe
Sore Hari selepas Ashar jelang Magrib
Pertigaan Jalan Empang Tahun 1901
Keramaian di pertigaan Empang 1940
Pemandangan Empang
dari arah Masjid Noer Alattas
Belum ada Komentar untuk "Pekojan, cikal bakal Kampong Arab pertama di Empang"
Posting Komentar