Jejak Perlawanan: Koloni Arab di Empang dari Pendudukan Jepang hingga Agresi Belanda ke-2 dan Masa Kemerdekaan

Hizbul Irsyad Padvinderij 

Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1887-1978) adalah sosok yang mencatat sejarah sebagai Gubernur Jenderal terakhir yang memegang kendali penuh atas wilayah jajahannya di Hindia Belanda, memerintah dari tahun 1936 hingga 1942. Namun, masa jabatannya yang berkuasa diakhiri oleh kedatangan pasukan Jepang di Tanah Air pada bulan Maret 1942, ketika Batavia dan Buitenzorg jatuh ke tangan pendudukan Jepang.

Pendudukan Jepang ini mengubah lanskap politik dan otoritas di wilayah Hindia Belanda dengan cepat. Otoritas Belanda secara efektif terhenti, meskipun mereka mencoba menunjuk Johannes van Mook (1942-1948) sebagai pengganti Tjarda van Starkenborgh.

Setelah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, pemerintah Jepang segera menetapkan pejabat tinggi untuk mengelola wilayah Jawa. Jenderal Hitoshi Imamura diangkat sebagai Gubernur Jenderal untuk periode Maret hingga November 1942. Di bawah kepemimpinannya, berbagai kebijakan baru diterapkan, menggantikan sistem yang sudah ada di bawah pemerintahan Belanda.

Namun, transisi kekuasaan ini tidak menghapuskan sepenuhnya struktur administratif yang telah ada sebelumnya. Meskipun sistem "wijkenstelsel & Passensteelseel" sudah tidak lagi berlaku sejak lama saat masih berkuasanya Belanda, Jepang memilih untuk melanjutkan sebagian dari sistem pengaturan kependudukan tersebut. Ini termasuk pengaturan bagi komunitas Arab di Bogor, yang tetap menjadi perhatian penting dalam aturan kependudukan administrasi wilayah kekuasaan kekuasaannya.

Selama masa kekuasaan Jepang di Hindia Belanda, Jenderal Kumashaki Harada dan kemudian Jenderal Shigeichi Yamamoto mengambil alih jabatan Gubernur Jenderal, membawa perubahan dan tantangan baru bagi masyarakat setempat. Meskipun pemerintahan Jepang membawa perubahan dramatis dalam politik dan kehidupan sehari-hari, namun jejak-jejak masa lalu, termasuk keberadaan komunitas Arab di Bogor, masih membentuk bagian penting dari lanskap sosial dan budaya yang berkembang di bawah bayang-bayang pendudukan Jepang.

Kartu Identitas Orang Arab Zaman Jepang
Milik Sjaich Ahmad Batarfie

Jepang kemudian mendata seluruh warga eks koloni Arab di Bogor dan memberinya kartu identitas kependudukan yang terutama dibuat khusus bagi orang-orang Arab untuk golongan totok (wulaiti) dengan pengikatan pada sebuah ikrar "bersoempah kesetiaan pada tentara Nippon".

Jepang memahami situasi Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam dan orang-orang Arab yang  dinilainya memiliki pengaruh besar. Karena itu menurut H.J.Benda, Jepang kemudian menerapkan kebijakan pendekatan yang disebutnya sebagai Nippon’s Islamic Grass Root Policy. Tujuannya adalah memanfaatkan propaganda dan kekuatan Umat Islam demi mewujudkan ambisnya, untuk menjadikan negaranya sebagai satu-satunya pemimpin atau penguasa di Asia Timur Raya.

Sama halnya ketika membentuk Shumubu – semacam Kantor Urusan Agama pada akhir maret 1942 dengan bekerjasama dengan para ulama untuk menuai simpati umat Islam. Hal yang sama dilakukan pula oleh penguasa militer Jepang di Indonesia terhadap orang-orang Arab eks warga koloni. Jepang mengumpulkan tokoh-tokoh Arab berpengaruh dan melakukan perundingan dalam usahanya membentuk sebuah institusi yang dibawahinya, sebagai pengganti Hoofd der Arabieren warisan dari pemerintahan Hindia Belanda.

Dalam salinan dokumen "Djawa Hookookai", yaitu setingkat pada satuan militer Jepang di tingkat Provinsi atau "Syuu" yang disimpan penulis. Di bawah pengaruh tekanan pemerintahan pendudukan Jepang, terungkap kehadiran yang tidak terhindarkan saat para pemuka Arab dipakasa melakukan perundingan di kantor Bogor "Syuutjookan", yang sebelumnya menjadi pusat kekuasaan Karesidenan Priangan Barat pada masa Hindia Belanda. 

Dalam suasana tegang ini, pada 31 Maret 1945, para pemimpin Arab dari wilayah-wilayah sekitarnya dipanggil untuk membentuk "Soesoenan Panitia Arab Bogor Syuu" yang meliputi wilayah Tjiandjoer dan Soekaboemi, sebuah langkah yang jelas terpaksa di bawah pengaruh kuat dan tekanan yang tak terelakkan dari kekuatan pendudukan Jepang. Tugasnya adalah semacam formatur guna menunjuk kepala orang-orang Arab yang ditugasi untuk mengurusi koloninya di tingkat daerah yang disebut dengan istilah "Ken/Shi".

Susunan yang kemudian berhasil terbentuk itu diketuai oleh Abdoellah Salim yang berkedudukan di Soekaboemi. Dari perwakilan Bogor ditunjuk beberapa orang wakil ketua (Kanzi) terdiri dari Toean Oemar Geiran, Toean Ali Tolib, Toean Oemar Basalmah, Toean Abdoellah Djawas dan Toean Abdoellah Al-Hadad. Tercatat nama Toean Hasjim Mansjoer sebagai Kanzi mewakili wilayah Tjiandjoer.

Susunan ini juga dilengkapi dengan Badan Penasehat yang diketuai oleh Toean Moechsien TB yang berkedudukan di Bogor dan empat orang anggota badan penasehatnya terdiri dari Toean Said Alwi Al-Hadad, Toean Oemar Nadji (keduanya berkedudukan di Bogor), Toean Ali Marta (Tjiandjoer) dan Toean Sjaid Alatas (Soekaboemi).

Nama Toean Oemar Geiran yang tertulis dalam susunan naskah asli di atas itu adalah Umar Harran. Sedangkan Toean Moechsien TB yang tercantum itu ialah nama lain dari Muchsin Thebe, anak tertua dari Sjaich Galib bin Said Thebe tokoh yang pernah menduduki jabatan sebagai Luitenant Hoofd der Arabieren pertama di Buitenzorg. Dan Said yang dimaksudkan untuk nama Said Alwi Al-Hadad adalah karena kesalahan penulisan gelar Sayyid menjadi Said. 

Dalam dokumen yang bersejarah itu, terungkaplah pula permintaan yang tegas dari "Djawa Hookookai" kepada panitia yang telah terbentuk, untuk segera membentuk pengurus di tingkat "Ken/Shi". Batas waktu yang ditetapkan adalah sebelum tanggal 6 April 1945, untuk memperoleh pengesahan dari, "Padoeka Toean Syuutjookan".

Telah dijadwalkan pula bahwa apabila seluruh susunan yang telah terbentuk, mulai dari tingkat Syuu hingga Ken/Shi, akan diundang secara resmi untuk bertemu pada tanggal 10 April 2606 (1945) pukul 10.30. Pertemuan ini akan dipimpin oleh Padoeka Toean Syuutjookan Shigeichi Yamamoto, yang bertugas di Istana Bogor saat ini. Kemungkinan besar, pertemuan resmi ini akan menjadi acara pelantikan yang dipersiapkan dan diadakan secara serentak.


Notulensi Pembentukan
Soesoenan Panitia Arab Bogor Syuu

Pada saat menjelang pelantikan, belum terdapat bukti konkret yang menunjukkan bahwa kepengurusan di tingkat "Ken/Shi" telah berhasil terbentuk dan disahkan. Fakta ini membuat penulis terpaksa berpikir ulang tentang keberlangsungan proses tersebut. Terlebih lagi, pada rentang tanggal 6 hingga 9 Agustus 1945, kota Nagasaki dan Hiroshima di Jepang diluluhlantakkan oleh serangan bom yang menghancurkan, mengakhiri tragisnya Perang Dunia II. Kejadian ini, yang juga menandai penyerahan Jepang kepada sekutu pada 16 Agustus 1945, memberikan konteks yang mendalam terhadap perjuangan Indonesia. Tak butuh waktu lama bagi Indonesia untuk mengambil langkah berani dengan memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, yang memanfaatkan momentum tersebut.

Meskipun Kemerdekaan Indonesia telah diumumkan secara resmi, tantangan besar masih menanti di ujung jalan: pengakuan resmi dari dunia internasional. Perjuangan panjang untuk mendapatkan pengakuan de jure belum berakhir. Sementara itu, kedatangan pasukan sekutu ke Indonesia pada pertengahan September 1945, yang seringkali disertai dengan kehadiran pasukan NICA, menciptakan suasana yang rumit. Propaganda yang dibawa oleh pasukan tersebut cenderung condong kepada pemerintah Belanda, meninggalkan kesan bahwa mereka lebih mendukung kepentingan Belanda daripada aspirasi kemerdekaan Indonesia. Dengan kondisi ini, perjuangan untuk meraih pengakuan internasional menjadi semakin kompleks dan menantang.



Rumah Bersejarah
Peninggalan Sjaich Ahmad bin Said Bajened
Foto ini ketika proses PENGHANCURAN untuk Pembangunan RS UMMI

Ditengah gelombang perjuangan diplomatik untuk mendapatkan pengakuan internasional, misi yang dipimpin oleh H. Agus Salim menjadi tonggak penting bagi kemerdekaan Indonesia. Salah satu tokoh utama dalam misi tersebut adalah AR Baswedan, seorang peranakan Arab yang berperan krusial dalam upaya mendapatkan pengakuan dari negara-negara Arab. Keberhasilan mereka terlihat dari pengakuan pertama yang diperoleh dari Mesir pada tanggal 10 Juni 1947, diikuti oleh Suriah pada tanggal 2 Juli 1947, Irak pada tanggal 16 Juli 1947, Afganistan pada tanggal 23 September 1947, dan Arab Saudi pada tanggal 21 Oktober 1947. Namun, kemenangan tersebut tidak lantas membawa kedamaian. Pada 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan Agresi Belanda Ke-II terhadap Indonesia, yang disusul dengan penangkapan Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan para pemimpin lainnya. Dalam cobaan yang berat ini, tekad untuk meraih kemerdekaan semakin diuji, dan perjuangan menuju pengakuan internasional pun berlanjut dengan semangat yang tak tergoyahkan.

Jatuhnya ibu kota negara dan penangkapan para pemimpin republik menjadi dalih Belanda untuk menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki kepemimpinan yang kuat. Namun, alasan tersebut segera terbantahkan dengan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra, yang dipimpin oleh politisi Muslim Sjafruddin Prawiranegara. Melalui dukungan negara-negara Arab/Islam yang memberikan pengakuan pertama atas kemerdekaan Indonesia, PDRI menjadi bukti yang kuat bagi dunia internasional bahwa Indonesia tetap memiliki kedaulatan yang utuh. Dengan demikian, meskipun diuji oleh cobaan berat, semangat kemerdekaan Indonesia terus berkobar dan terus menginspirasi di mata dunia.

Selama rentang waktu yang panjang, dari tahun 1946 hingga akhir 1948, Indonesia menjalani periode perjuangan yang sangat berat. Di tengah tantangan fisik dan diplomasi yang terus-menerus disulitkan oleh blokade Belanda, negara ini berada dalam situasi sulit dan kacau. Belanda, dengan ambisi untuk kembali menguasai, berusaha merestrukturisasi kebijakan yang pernah diterapkan, termasuk dalam hal pengaturan sistem kependudukan bagi komunitas Arab, sesuai dengan praktik yang pernah mereka terapkan sebelumnya.

Namun, upaya Belanda tersebut ternyata bertemu dengan kegagalan yang gemilang. Tidak hanya di Empang, tetapi di seluruh bekas koloni Arab, termasuk di antaranya penguasa-penguasa feodal Islam keturunan Arab Hadrami seperti Kesultanan Siak di bawah kekuasaan Sultan Sjarif Kasim II, dan kesultanan lainnya di tanah Melayu, dengan tegas menyatakan dukungan penuh mereka terhadap kemerdekaan Indonesia. Mereka menolak dengan tegas segala bentuk kerjasama dengan Belanda. Dalam momen ini, sikap kokoh dan kesatuan Indonesia mendapat pujian dan dukungan, menandai kekuatan moral yang mengilhami perjuangan kemerdekaan yang tak kenal lelah.

Orang-orang Arab yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, terutama yang terkonsentrasi di kampung-kampung Arab, adalah saksi hidup dari warisan kolonial masa lalu. Namun, mereka bukanlah penonton pasif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya, mereka turut serta dalam gelombang perjuangan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.

Dengan semangat yang sama, mereka bergabung dalam laskar-laskar yang dibentuk oleh rakyat, menunjukkan solidaritas yang kuat dengan perjuangan nasional. Tidak hanya itu, mereka juga memberikan dukungan finansial yang signifikan, terutama kepada Laskar Hizbullah yang dibentuk oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia sejak tahun 1944. Kontribusi ini tidak hanya mencerminkan kepedulian mereka terhadap nasib bangsa, tetapi juga menegaskan komitmen mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan segala cara yang mereka miliki.

Pertemuan Tokoh Al-Irsyad di Bogor bersama Bapak Kasman Singodimedjo 
Tokoh Masyumi dan Eks Daidancho PETA


Laskar Hizbullah, yang didirikan oleh Masyumi, menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan Indonesia. Mereka menjalani latihan intensif di Tjibarusah, di mana ulama dan santri, serta kader-kader kepanduan Islam, dengan penuh semangat merekrut mereka sebagai bagian dari Tentara Pembela Tanah Air. Inilah awal dari perjalanan panjang menuju lahirnya Tentara Nasional Indonesia, sebuah langkah bersejarah yang diawali oleh dedikasi dan komitmen yang kuat dari para pejuang masa itu.

Di Empang, tokoh-tokoh Arab yang progresif, baik yang berasal dari kalangan wulaiti (Arab tulen) maupun muwalad (peranakan), turut serta aktif dalam kesatuan Laskar Hizbullah dan kelompok-kelompok perjuangan republik lainnya. Salah satu contohnya adalah Ali Said Balbeid, yang diberi wewenang sebagai polisi Arab di wilayah Bogor Raya. Sementara itu, Umar Nadji, Muhammad Abdorrab Thalib, dan Jafar Abdorrab Thalib, sebagai pemimpin dari Laskar Hizbullah, bertanggung jawab atas keamanan eks anggota koloni Arab di Empang, yang dalam masa revolusi dikenal sebagai wilayah selatan. Para tokoh lainnya yang juga merupakan anggota inti dari Laskar Hizbullah meliputi Siddiq Atmawidjaja, Abdullah Karamah, dan masih banyak lagi. Keberadaan mereka tidak hanya memberikan kontribusi besar dalam memperkuat perlawanan, tetapi juga menunjukkan solidaritas dan kesatuan yang kuat dalam menghadapi tantangan masa revolusi.

Orang-orang Pakistan eks Hindustani muslim (belakangan disebut Pakistan) yang menjadi bagian dari warga koloni Arab di Empang, berusaha meyakinkan tentara british muslim asal India yang tergabung dalam pasukan sekutu untuk membelot kepada Tentara Indonesia. Hasilnya tidak ada saling serang karena gema takbir dalam perjuangan fisik menjadi pertanda bahwa keduanya adalah bersaudara, bahkan tidak sedikit diantaranya yang kemudian membelot dan bergabung menjadi tentara republik indonesia dengan ikut memanggul senjata menghantam balik pasukan sekutu yang diboncengi oleh Belanda.

Orang-orang Pakistan eks Hindustani muslim (belakangan disebut Pakistan), tidak hanya menjadi bagian dari komunitas koloni Arab di Empang, tetapi juga aktif dalam usaha meyakinkan tentara Muslim British dari India, yang bergabung dalam pasukan sekutu, untuk beralih dukungan ke Tentara Indonesia. Keberanian mereka membawa pesan perdamaian, terbukti dalam situasi di mana takbir perjuangan bersama menggema, menandakan solidaritas di antara mereka. Bahkan, banyak di antara mereka yang akhirnya memutuskan untuk membelot dan bergabung dengan Tentara Republik Indonesia, siap mempertahankan tanah air dengan senjata menghadapi pasukan sekutu yang didukung oleh Belanda. Keputusan ini menjadi bukti nyata bahwa persaudaraan seagama dan kesatuan di antara mereka tidak bisa dihancurkan oleh batasan geografis atau latar belakang budaya.

Para pemuda keturunan Arab yang telah terlatih dalam kepanduan Al-Irsyad atau "Hizbul Irsyad Padvinderij", tidak hanya memiliki keterampilan ketangkasan semi-militer, tetapi juga telah dihadapkan pada latihan yang mengasah kesiapan mental dan fisik mereka untuk menghadapi tantangan dari agresor Belanda. Di tengah situasi yang menegangkan ini, tiga tokoh utama yang namanya disebut sebagai penanggung jawab keamanan di wilayah selatan, mereka itulah yang kemudian tampil sebagai kader militan yang terlatih sebagai anggota "Hizbul Irsyad Padvinderij".

Pada masa yang sama, kepanduan Al-Irsyad di bawah kepemimpinan Ali Azzan Abdat, dengan pasukan Drum Band-nya yang terkenal sebagai pasukan seruling, telah sejak lama mempersatukan seluruh kepanduan di kota Bogor ke dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (K.B.I). Bersama-sama dengan Kepanduan Pasundan dan Pandu Rakyat Indonesia yang dipimpin oleh Ali Azzan Abdat, mereka menjalin solidaritas yang kuat dalam persiapan untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Dalam kebersamaan ini, semangat persatuan dan kesatuan menjadi pendorong utama dalam perjuangan mereka untuk mencapai kemerdekaan.


Para Pemuda Arab 
Yang Tergabung dan Terlatih di Kepanduan
Al-Irsyad Buitenzorg Padvenderij


Para aktivis Pemuda Arab, dengan tekad yang teguh dan komitmen yang kokoh, yang telah bersatu dalam wadah Persatuan Arab Indonesia, secara bersinergi menyatukan visi dan semangat mereka dalam menghadapi gelombang perjuangan di masa revolusi. Dengan satu suara, mereka menghadapi tantangan dari pasukan sekutu dan agresor Belanda, menunjukkan kesatuan yang menginspirasi dan keteguhan yang luar biasa.

Dari kalangan tua hingga generasi muda, semua golongan Arab, baik wulaiti maupun muwalad, berdiri bersama dalam pertahanan dan pembelaan terhadap kemerdekaan Indonesia. Dalam keberagaman dan persatuan mereka, terukirlah kisah heroik tentang semangat yang tak tergoyahkan dalam menjaga dan mewujudkan cita-cita bangsa.  "Wulaiti adalah sebutan untuk mereka yang dilahirkan di Arab (Hadramaut), sedangkan Muwalad untuk mereka yang dilahirkan di Indonesia".

Di kediaman Sjaich Ahmad bin Said Bajened, eks "Hoofd der Arabieren" di Buitenzorg dan salah satu tokoh kunci di balik kelahiran Sjarekat Dagang Islamijjah pada tahun 1909, tersembunyi sebuah cerita yang menarik. Bagian belakang rumahnya di Empang, yang dahulu digunakan sebagai pabrik tenun, menjadi tempat yang tak terduga untuk sebuah inisiatif berani.

Dikutip dari tulisan Bapak Taufik Hassuna, beberapa pemuda ahli kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor, seperti sdr. Itja dan Marpaung, memutuskan untuk mengambil langkah ajaib dalam perjuangan. Dengan tekad yang kokoh, mereka mulai merancang granat tangan untuk digunakan dalam pertempuran. Granat tersebut, berupa granat tarik, memiliki daya ledak yang mematikan, mampu menciptakan efek mematikan dengan hantaman pecahan besi coran dalam radius sekitar 10 meter.

Kisah ini menjadi bagian dari sejarah perjuangan yang membanggakan, mencerminkan semangat dan keberanian para pejuang dalam menciptakan alat-alat untuk melawan penjajah. Dokumentasi ini, berdasarkan kesaksian langsung para pelaku perjuangan, memberikan gambaran yang hidup tentang kreativitas dan keteguhan hati mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. (Sumber; Peristiwa Peristiwa Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Daerah Bogor ; Berdasarkan kesaksian para pelaku perjuangan, oleh Taufik Hassunna)


Pemuda Arab Empang 
Pada Apel Siaga Yang Tergabung Dalam Kesatuan Laskar Rakyat 

Dari kalangan konservatif, tokoh seperti Sayyid Alwi Al-Hadad menonjol sebagai sosok yang tegas menolak segala bentuk kompromi dengan penjajah. Bahkan, gurunya yang dihormati, Sayyid Abdullah bin Muchsin Al-Attas, yang dikenal sebagai wali qutub di Empang, telah mengalami penjara Belanda sejak pertengahan abad sebelumnya. Keduanya menjadi simbol keteguhan dan keberanian dalam menegakkan prinsip-prinsip kemerdekaan, menginspirasi banyak orang untuk tidak menyerah dalam perjuangan melawan penindasan.

Kekhawatiran Belanda terhadap penerapan "Wijkenstelsel & Passensteelseel" dari masa lalu akhirnya terbukti beralasan. Kesadaran akan pentingnya pemikiran dan identitas bangsa Indonesia yang pernah dijajah muncul, tidak sedikit di antaranya dipengaruhi oleh kampung-kampung Arab sebagai pusat pengaruh sosial. Terutama, pengaruh dari luar, terutama dalam bentuk Pan-Islamisme, menyebar melalui gerakan, pendidikan, dan propaganda yang disebarkan melalui media massa, memperkuat semangat persatuan dan perlawanan terhadap penindasan kolonial.

Pada awal abad ke-19, kesadaran akan pentingnya organisasi pergerakan muncul secara nyata di kalangan masyarakat Arab. Sejumlah Kampung Arab menjadi pusat lahirnya beberapa organisasi penting, yang menjadi tonggak dalam pergerakan nasional Indonesia. Di antaranya adalah:

1. Jamiatul Kher (1901): Merupakan salah satu organisasi pertama yang didirikan oleh orang-orang Arab, menekankan pada nilai-nilai kemajuan sosial dan kesejahteraan umat.

2. Sjarikat Dagang Islamijjah (1909): Organisasi dagang Islam yang bertujuan untuk menggalang solidaritas ekonomi dan sosial di antara masyarakat Arab dan Indonesia.

3. Al-Irsyad Al-Islamiyyah (1914): Merupakan lembaga pendidikan dan sosial yang berperan dalam menyebarkan ajaran Islam serta nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

4.Rabithoh Alawiyah (1928): Sebuah jaringan keagamaan yang mempromosikan ajaran dan praktik tasawuf dari tarekat Alawiyyin, berperan dalam memperkuat identitas keagamaan dan sosial masyarakat Arab di Indonesia, serta turut aktif dalam pergerakan nasional sebagai sumber inspirasi spiritual dan moral.

5.Persatuan Arab Indonesia (1934): Organisasi yang memperjuangkan hak-hak politik dan kesejahteraan masyarakat Arab di Indonesia, serta berperan dalam menggalang solidaritas antar-komunitas untuk mencapai kemerdekaan.

Melalui organisasi-organisasi ini, masyarakat Arab di Indonesia turut aktif dalam pergerakan nasional, memperjuangkan hak-hak mereka dan berkontribusi dalam pembentukan identitas nasional Indonesia.


Mayor Polisi Ali bin Said Balobaid
Pejuang Revolusi Kemerdekaan Indonesia
Kepala Orang-Orang Arab Terakhir
Non Struktural

Setelah berakhirnya masa revolusi kemerdekaan, peran tokoh-tokoh masyarakat Arab di Bogor terus berkembang, terutama setelah penghapusan penunjukan posisi kepala koloni. Dua tokoh utama yang menonjol dalam periode ini adalah Ali bin Said Balbeid dan Muchsin Ghalib Tebe. Meskipun tidak lagi memiliki peran secara struktural, kedua tokoh ini tetap aktif secara fungsional, terutama dalam urusan internal sosial kemasyarakatan dan mobilisasi.

Ali bin Said Balbeid dan Muchsin Ghalib Tebe menjadi panutan dan pemimpin informal bagi masyarakat Arab di Bogor. Mereka memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas budaya Arab dan memperkuat solidaritas komunitas. Selain itu, keterlibatan mereka dalam urusan sosial kemasyarakatan membantu memperjuangkan hak-hak dan kepentingan masyarakat Arab di tengah dinamika politik dan ekonomi pasca-kemerdekaan.

Dengan keterampilan kepemimpinan dan jaringan yang luas, Ali bin Said Balbeid dan Muchsin Ghalib Tebe mampu menggerakkan dan menginspirasi masyarakat Arab di Bogor untuk terlibat aktif dalam pembangunan dan perubahan sosial. Keberadaan mereka sebagai tokoh fungsional memberikan kontribusi signifikan dalam memperkuat komunitas Arab di Bogor dan membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat Indonesia secara lebih luas.

Muchsin Ghalib Tebe, selain menjadi sosok yang ditokohkan dalam komunitas Arab di Bogor, juga memiliki tanggung jawab khusus sebagai petugas nadzhir wakaf pemakaman orang-orang Arab yang terkenal dengan sebutan Los, di lolongok, yang lokasinya berada di arah timur dari alun-alun Empang, wakaf dari Syaikh Abdurrahman Bajened sejak tahun 1898. Sebagai penanggung jawab pemakaman, Muchsin Ghalib Tebe memastikan bahwa proses pemakaman dilakukan dengan tata cara yang sesuai dengan tradisi dan nilai-nilai keagamaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Arab.

Kepiawaian Muchsin Ghalib Tebe tidak hanya terbatas pada urusan sosial kemasyarakatan, tetapi juga dalam hal diplomasi. Dikenal sebagai sosok yang mampu berkomunikasi dengan lancar dalam bahasa Sunda halus, dia memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara baik dengan masyarakat pribumi. Gaya kesantunannya yang menonjol membuatnya dikenal luas dan dihormati oleh berbagai kalangan, baik dari masyarakat Arab maupun pribumi. Karena beliau sangat dihormati dan diandalkan dalam menjaga keharmonisan antara komunitas Arab dan masyarakat pada umumnya di Bogor.

Setelah Indonesia merdeka dan masa penjajahan berakhir, terjadi perubahan yang signifikan dalam struktur sosial dan kebijakan politik. Kebijakan pembagian wilayah dan aturan yang membatasi interaksi antar etnis seperti "wijkenstelsel & passensteelseel" yang dulu diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda secara otomatis berakhir, sebuah kebijakan yang dibuat sebagai bagian dari sistem politik etis yang mereka terapkan.

Kehadiran orang-orang Arab di Nusantara tidaklah sekadar imigrasi, tetapi merupakan hijrah. Mereka datang dengan penuh kesadaran, tidak hanya untuk berdagang atau berdakwah, tetapi juga untuk memperbarui hidup mereka secara total. Mereka menyebut negeri baru tempat mereka tinggal sebagai "almahjar", yang mencerminkan semangat hijrah mereka. Orang Arab datang tanpa membawa keluarga, dan sering kali menikahi wanita pribumi, menjadikan mereka sebagian dari keluarga Indonesia. Keturunan Arab menyebut pribumi dengan istilah "ahwal", mengingat ibu mereka adalah orang pribumi. Prinsip kewarganegaraan yang dianut oleh mereka adalah "ius soli": di mana seseorang dilahirkan, di situlah tanah airnya. Ini adalah ungkapan dari ikatan yang kuat antara individu dan tanah tempat ia dilahirkan.

Kampung Arab, sebagai warisan budaya yang tersisa dari kebijakan sistem kependudukan kolonial Belanda, bukan sekadar sebatas sisa-sisa masa lalu, tetapi menjadi tonggak penting dalam perjalanan sejarah bangsa. Keberadaannya tidak hanya merefleksikan nilai-nilai sejarah, tetapi juga mewakili akulturasi yang kaya dan beragam, yang telah memberikan warna dan corak yang unik dalam khazanah budaya Nusantara. Dengan melestarikannya, kita tidak hanya menghormati warisan nenek moyang kita, tetapi juga memperkaya pemahaman kita tentang identitas dan keberagaman budaya Indonesia.


Bogor 20 Syawal 1441 Hijriyyah atau bertepatan dengan tanggal 11 Juni 2020. Diperbaharui kembali pada 1 Maret 2024.



Abdullah Abubakar Batarfie

Belum ada Komentar untuk "Jejak Perlawanan: Koloni Arab di Empang dari Pendudukan Jepang hingga Agresi Belanda ke-2 dan Masa Kemerdekaan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel