Cibenol dan Cituan-Tuan di Empang

Aktivitas warga di Sungai Zaman Doeloe

Pelukis peranakan Arab Oemar Basalmah (O.Basalmah) dan juga para perupa ternama lainnya seperti Gusti Abdul Kadir  atau G.A.Kadir dan Ernest Dezentje, selalu menjadikan alam dan kehidupan yang di lihat disekitarnya menjadi objek lukisan mereka termasuk pemandangan di sungai Cisadane yang mengalir melintasi Kampung Arab di Empang. Pada masa lalu  sungai Cisadane jika dilihat dari arah manapun panoramanya akan sangat elok di pandang mata. Bahkan setiap objek lukisannya itu diberinya judul sesuai dengan nama lokasinya.

Pada setiap nama lokasi itulah warga di sepanjang sungai Cisadane melakukan berbagai aktivitas mereka. Nama-nama itu disesuaikan dengan ciri yang ada disana seperti pada lukisan karya O.Basalmah yang diberinya judul Tjikebo, karena ada batu berbentuk kerbau tengkurap di sungai itu yang diberi ciri oleh masyarakat.

Dahulu sungai adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan urat nadi kehidupan masyarakat. Mereka melakukan berbagai aktivitas di sungai seperti mandi, menyuci (sunda;nyeuseuh), tidak terkecuali pula aktivitas rutin untuk buang hajat. Konon menurut literatur dalam sejarah di Batavia (Jakarta), dahulu orang Belanda sebagaimana umumnya orang-orang Eropa di negerinya jarang mandi dan biasanya hanya dilakukan satu kali dalam satu minggu. Tuan-tuan meneer dan sinyo setelah menetap di Batavia baru terbiasa mandi setiap harinya di kali besar, kali yang membelah kota Batavia di molenvliet atau yang sekarang  dikenal dengan nama jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Bahkan menurut abah Alwi Shahab dalam bukunya "Saudagar Baghdad dari Betawi", Pemerintah kota praja di Batavia mengeluarkan larangan kepada orang-orang Eropa terutama para wanitanya agar tidak mandi di sungai tanpa busana, karena perbuatan tersebut aib dan sangat tercela bagi pribumi.

Dahulu disepanjang sungai Cisadane juga terdapat tempat-tempat dimana masyarakat melakukan aktivitasnya sebagaimana kebiasaan warga Betawi di Molenvliet. Biasanya ada tempat terpisah untuk kaum lelaki dan perempuan. Demikian juga dengan sungai Cisadane yang melintasi Kampung Arab di Empang Bogor. Hampir semua tempatnya itu memiliki nama seperti ciberenuk, cikebo, ci enden, leuwi ceuli, cikahiji, cikatilu, ci awewe, cibenol, cigan oceng, cimasjid, cikuda dan leuwi kuda.

Umumnya pilihan kaum hawa atau euceu-euceu (sunda;panggilan wanita dewasa/ kakak perempuan) memilih tempat untuk beraktivitas di sungai adalah yang dasarnya agak dangkal dan arus sungainya lambat yang dalam bahasa sunda disebut dengan bantar, sedangkan kalau arus sungainya deras disebut parung. Ada banyak ditemukan nama tempat di Bogor yang menggunakan kata Bantar dan Parung biasanya untuk menunjukan sebuah tempat maka di belakang kata Parung atau Bantar tadi ditambahkan nama tumbuhan atau hewan misalnya Parung Angsana, Bantar Jati, Parung Kuda dan Bantar Kambing. Dahulu di kota Bogor di kawasan pusat sentra penjualan kerajinan tas di Jalan Raya Tajur sekarang ada nama tempat yang disebut dengan Bantar Peuteuy. Paman penulis Abdul Kadir Abdullah Batarfie pernah menetap disitu dan membuka usaha Toko Bahan Bangunan (PB) Karya Sari. Belakangan setelah usahanya tidak lagi semaju seperti dulu, Ia kemudian membuka usaha restoran masakan khas timur tengah yang dinamainya Chiken Dou'an. Dou'an adalah nama sebuah lembah di Provinsi Hadramaut tempat marga Batarfie bermukim dan menyebar di Yaman Selatan. Dou'an juga dikenal sebagai penghasil madu terbaik Yaman dan termahal di dunia, karena itu ada lagu Arab (gambus) terkenal yang judulnya Asel Dou'an, asel dalam bahasa arab artinya adalah madu.

Nama-nama tempat dimana warga di sepanjang sungai Cisadane melakukan aktivitas mandinya itu memiliki latar belakang sendiri kenapa dinamakan demikian, disamping untuk pembagian wilayah pemisahan kaum pria dan wanita, nama itu ada yang diambil dari nama pohon dan batu yang menjadi ciri hingga warga terbiasa menyebutnya demikian. Juga ada yang karena aktivitas rutin seseorang di sungai itu dan nama orang yang dikenal disekitarnya. Ciberenuk misal, karena ada pohon berenuk di lokasi itu. Demikian juga dengan cikebo karena ada batu yang berbentuk seperti kerbau yang tengkurap. Kebo adalah nama hewan dalam bahasa sunda yang artinya kerbau.

Adapun Cienden diambil dari nama seorang tokoh wanita keturunan menak sunda bernama asli Raden Siti Aminah. Wanita keturunan menak sunda pada masa lalu lazim disapa dengan sebutan Enden dan untuk kaum prianya disebut Aden. Raden Siti Aminah yang disapa dengan panggilan Enden adalah  wanita bersahaja keturunan dalem sholawat yang telah berjasa memberantas buta huruf baca Al-Qur'an. Hampir disepanjang hidupnya Ia dedikasikan untuk mengabdi dan mengajari baca Al-Qur'an yang hanya di khususkan bagi kaum wanita.

Umumnya anak didik asuhan Enden Aminah mahir membaca Al-Qur'an yang diajarinya dengan menggunakan metode klasik dari kitab yang disebut tuturutan (sunda) atau kitab Juz Amma. Ibu penulis (Allahyarhamha Zainah bt Alladad Khan) adalah salah satunya. Khusus pada bagian ini secara khusus penulis mohon izin untuk memanjatkan doa bagi keduanya; semoga Allah curahkan rahmat bagi mereka dan juga murid-murid yang lainnya yang sama-sama telah kembali wafat yang insya Allah dalam Rahmat dan Ridho Allah dan semoga Allah shubhanahuwata'ala kumpulkan mereka semua di jannah-Nya. Aamiiin.

Sedangkan nama Cikahiji, Cikadua dan Cikatilu diambil dari jumlah tangga yang ada secara berurutan. Pada masa Tuan Mener masih berkuasa dulu di zaman Pemerintahan Colonial Belanda, talud yang dibangun disepanjang bantaran sungai Cisadane dibuatkannya tangga beton untuk turun ke bibir sungai agar memudahkan warga melakukan aktivitasnya. Hingga sekarang ini tangga-tangga itu masih tetap bisa digunakan walaupun pada bagian paling bawah di bibir sungai sudah hancur tergerus arus air. Bahkan ada dibeberapa lokasi talud beton buatan Belanda sudah ada yang ambrol sejak setelah kemerdekaan dan belum pernah di perbaiki kembali hingga kini.

Walaupun jumlah tangga yang di bangunnya ada sembilan tapi penyebutan penomorannya hanya sampai ke tiga karena ada nama lama yang tetap di lestarikan oleh warganya seperti halnya dengan nama Cigan Oceng yang diambil dari nama seorang tokoh setempat yang melakukan aktivitas mandinya di tempat itu sejak pagi buta sebelum azan subuh berkumandang. Selain panggilan Adang dan Aden untuk kaum menak pria sunda, nama Agan juga dipakai untuk laki-laki dewasanya yang berasal dari kata Juragan. Terkadang penyebutan juragan ditujukan kepada seorang atasan atau dunungan (sunda) dalam pekerjaan kasar seperti penggarap perkebunan, pekerja rumah tangga dan kuli bangunan.

Gan Oceng memiliki postur tubuh tinggi dan kekar. Olah raga rutinnya adalah memindahkan batu-batu besar di waktu mandi dan menatanya dipinggir-pinggir sungai. Ia selalu berpenampilan nyentrik dengan menggunakan alas kaki yang disebut tarompah kayu dan berambut gondrong dikuncir. Gan oceng adalah salah seorang staf pegawai pada museum Zoologi Bogor bersama Gusti Abdul Kadir sejawatnya yang bertugas melukis panorama dalam latar diorama untuk kelengkapan koleksi hewan-hewan yang di awetkan. Warga Bogor dahulu menyebutnya kantor bulao sebagai akibat salah ucap orang sunda untuk menyebut kata warna blue, karena gedung museumnya bewarna biru. Kata bulao juga di ucapkan untuk penyebutan sejenis obat pemutih baju bewarna biru yang cara pemakaiannya dicampur bersama diterjen. Bagi sebagian kecil masyarakat sunda, bulao dapat dianggap ampuh untuk mengobati penyakit gondongeun, sejenis penderita kelenjar pada area leher.

Bagi warga paranakan Arab di Empang, aktivitas di sungai hanya di dominasi oleh anak-anak dan remaja puteranya saja tanpa diketahui oleh kedua orang tuannya, karena hal yang mustahil akan mendapatkan izin. Sebagaimana pada umumnya seusia anak-anak dan remaja putera lainnya di Empang, dahulu di beberapa tempat dipinggiran sungai Cisadane ada yang di manfaatkannya sebagai tempat persembunyian untuk merokok. Dan ada tradisi pada sore hari setiap bulan Ramadhan menjelang waktu buka puasa dipinggiran sungai akan diramaikan oleh anak-anak dan remaja putera yang sedang bermain bedil lodong. Bedil Lodong adalah sejenis mainan dari selongsong bambu yang disumpal menggunakan sumbu untuk disulut agar meledak seperti meriam. Tradsi permainan serupa masih dapat dijumpai di Aceh pada setiap Ramadhan tiba yang dinamakan "Perang Meriam Karbit" terutama di daerah Pidie Aceh.

Salah satu tempat favorit anak-anak dan remaja Empang bermain di sungai Cisadane adalah di cikebo, di atas batu yang besar itulah mereka duduk dan bersenda gurau dengan disuguhi oleh pemandang sungai. Lokasi cikebo ada di dekat Kaum Empang yang berada dekat pencucian mobil (sunda;pangumbahan).

Warga peranakan Arab di Empang memang tidak pernah menggunakan sungai Cisadane untuk aktivitas pribadi mereka seperti mandi, cuci baju dan buang hajat. Hanya saja ada satu tempat di Empang yang dulu pernah didirikan sebagai kamar mandi umum dan digunakan oleh warga peranakan Arab. lokasinya berada di Pakojan yang disebut-sebut sebagai koloni Arab pertama di Bogor. Pemandian umum itu berbentuk seperti rumah panggung yang sengaja dibuat sebagai bagian dari fasilitas Masjid. Karena seringnya dipakai oleh laki-laki dewasa warga peranakan Arab, penduduk setempat menamainya dengan cituan-tuan. Masyarakat pribumi terbiasa memanggil kaum laki-laki Arab dengan sebutan Tuan, uwan atau wan saja.

Bogor, 28 Juli 2019, Abdullah Abubakar Batarfie

Jembatan Bambu di Sungai Cisadane

Sungai Cisadane Zaman Doeloe

Belum ada Komentar untuk "Cibenol dan Cituan-Tuan di Empang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel