Lebaran dan Tradisi Keliling Kota di Empang

Suasana Kemeriahan Lebaran di Empang
Dalam goresan Iqbal Amirdha

Lebaran, sebuah hari besar umat Islam, dirayakan dengan penuh suka cita dan kebahagiaan, sebagaimana makna dari kata "Ied Saeed". "Ied" berarti Hari Raya dan "Saeed" bermakna bahagia. Di berbagai negara dan daerah di Nusantara, perayaan Lebaran diwarnai dengan beragam cara dan tradisi yang khas. Semua ini merupakan ekspresi dari hati yang gembira, lahir dari rasa syukur dan kebahagiaan setelah menjalani bulan penuh ibadah puasa Ramadan.

Lebaran, sebuah kata yang merujuk kepada bahasa Sunda, berasal dari kata "leubar" yang artinya adalah hati yang lapang, sebagaimana dalam ungkapan "hate anu leubar". Istilah "lebaran" juga populer di kalangan masyarakat Betawi dengan makna yang serupa. Lebih dari sekadar sebuah perayaan, Lebaran melambangkan sikap lapang dada dan rasa syukur yang mendalam.

Tradisi Lebaran telah mengiringi kita sepanjang masa, membudaya di hampir setiap daerah dan bahkan di seluruh belahan dunia dengan berbagai corak dan ragam. Di Empang, bekas koloni Arab di Buitenzorg (Bogor), tradisi Lebaran terbentuk melalui akulturasi unsur adat istiadat Arab, yang dikenal sebagai "hadharim", dengan budaya lokal yang khas. Perpaduan ini menciptakan perayaan yang kaya akan warna dan makna, memperkaya warisan budaya yang kita nikmati hingga hari ini.

Jauh sebelum teknologi berkembang pesat seperti sekarang ini, serta sebelum adanya "sidang isbat" yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama dan disiarkan langsung oleh televisi, Kantor "HoofdPenghoeloe" yang terletak di sebelah Masjid Agung Empang, sebelum Kemerdekaan pernah menjadi tempat resmi pusat penentuan awal Ramadan dan Hari Raya. Utusan atau perwakilan umat Islam dari berbagai pelosok di kota Bogor pada zaman kolonial Hindia Belanda, mereka akan datang ke Masjid Agung Empang pada siang hari menjelang sore untuk menunggu keputusan dari para ahli ilmu falak, kapan Lebaran akan tiba.

Dari sanalah mungkin awal mula tradisi malam takbiran dikumandangkan, karena setelah pulang dari Masjid Agung, utusan yang datang secara berombongan, baik berjalan kaki maupun berkendara, mereka bertakbir disepanjang perjalanan pulang sebagai syiar bahwa esoknya akan jatuh tanggal 1 Syawal. Di daerah lain di Jawa dan di Melayu, biasanya penanda itu ditandai dengan membunyikan meriam dari halaman Keraton, pendopo Bupati, atau di Alun-Alun Masjid Agung.

Pada masa lalu, Masjid Agung Empang menjadi pusat pelaksanaan kegiatan akbar spiritual umat Islam di kota Bogor, termasuk shalat Iedul Fitri yang bukan saja diikuti oleh para pejabat pemerintah, tokoh dan masyarakat setempat, juga oleh umat Islam disekitarnya, baik yang datang dari arah Bondongan dan Paledang, maupun dari tempat lainnya.

Di Masjid Noer Al-Attas, atau yang lebih dikenal sebagai Masjid Keramat Empang, shalat Iedul Fitri biasanya dimulai setelah pukul 7 pagi. Mayoritas jamaah yang mengikuti shalat berasal dari kaum sadah, meskipun ada juga sebagian kecil dari golongan Arab dan peranakannya yang mereka sebut sebagai "masyaikh wal muhibbien".

Sejak era tahun tujuh puluhan, sebagian warga peranakan Arab non-muhibbien di kampung Empang telah menjalankan tradisi melaksanakan Shalat Idul Fitri bersama sebagian umat Islam di Kota Bogor dalam tempat terbuka. Lokasi yang paling populer  di laksanakan adalah dalam halaman kampus IPB Baranangsiang. Mayoritas dari mereka merupakan pendukung gerakan dakwah Islam modern yang dipimpin oleh tiga organisasi utama, dikenal sebagai trio mujaddid: Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (PERSIS).

Tradisi shalat Idul Fitri di tempat yang terbuka di kota Bogor, untuk pertama kalinya dilakukan di Lapangan Sempur pada tahun 1950, yang diselenggarakan dengan penuh tantangan atas inisiatif dari ketiga organisasi Islam tersebut. Imam dan khatibnya berasal dari kalangan ulama dan tokoh terkemuka Al-Irsyad dari Empang, yaitu K.H Siddik Atmawidjaja. Seiring dengan situasi politik yang bergejolak dan revolusi di Indonesia, demi keamanan, pelaksanaannya sempat dipindahkan beberapa kali, termasuk ke dalam halaman Istana Bogor, sebelum akhirnya stabil di halaman kampus IPB. Dalam waktu yang cukup lama, K.H. Soleh Iskandar, tokoh pejuang dan ulama terkemuka Bogor bersama Rektor IPB, Bapak Prof. DR. Andi Hakim Nasution, hingga akhir tahun 80-an, hampir setiap tahunnya secara rutin dan bergiliran, mereka menjadi khatib tetapnya. Meskipun kini shalat di tempat terbuka semakin populer, lokasi yang paling ramai dikunjungi oleh warga peranakan Arab dari Empang adalah di IPB dan Kebun Raya Bogor.

Pada puncak Hari Raya, suasana di rumah-rumah keluarga warga Arab di Empang menjadi begitu meriah dan penuh kehangatan. Setelah kembali dari shalat Idul Fitri, rumah-rumah tersebut menjadi pusat berkumpulnya sanak keluarga dari berbagai penjuru, baik yang tinggal dekat dalam satu kampung di sekitar Empang, maupun yang datang dari tempat jauh di luar kota. Momen ini menjadi saat yang dinanti-nantikan, di mana keluarga-keluarga tersebut bersatu kembali dalam kebersamaan yang penuh kebahagiaan. Terutama, perhatian tertuju pada rumah yang dihormati sebagai rumah Jidd (dibaca; enjit) dan Jidah, tempat di mana kehangatan dan keceriaan Lebaran benar-benar terasa. Di sana, suasana paling ramai terjadi, karena tidak hanya anggota keluarga inti yang berkunjung, tetapi juga sanak famili dari keluarga besar setiap qabilah (fam/marga) atau yang terhubung dengannya.

Nama panggilan Jidd dan Jiddah digunakan untuk menyebut kakek dan nenek dalam bahasa Arab, merepresentasikan kelembutan dan kehormatan terhadap mereka. Dalam tradisi tersebut, hubungan keluarga sangat dijunjung tinggi, dan momen Lebaran menjadi kesempatan untuk merajut kembali ikatan tersebut. Seiring dengan gelombang kunjungan dari sanak keluarga, rumah Jidd dan Jiddah menjadi tempat penuh cerita dan kenangan yang tak terlupakan. 

Bahkan, penamaan kota Pelabuhan Jeddah di Saudi Arabia, yang berasal dari nama Siti Hawa, wanita pertama, ibu, dan nenek bagi umat manusia, menggarisbawahi pentingnya peran nenek dan kakek dalam budaya dan tradisi keluarga Arab, yang turut memperkaya makna dari momen dalam setiap peristiwa penting.

Untuk merayakan suasana Lebaran dan menyambut kedatangan sanak keluarga dari seluruh pelosok, setiap rumah di Empang dipenuhi dengan aroma menggoda dari makanan khas peranakan Arab. Dibuat dengan cinta dan keahlian, hidangan-hidangan ini menghadirkan kelezatan masakan olahan daging kambing, seperti marag, sambal goreng, dan gulai atau kari, yang kaya akan cita rasa khas peranakan Arab. Tidak hanya itu, menu-menu Nusantara lainnya seperti semur dan sambel godog, juga turut meramaikan hidangan Lebaran, menambah keberagaman dan kelezatan bagi para tamu yang berkumpul. Namun, satu sajian yang tak pernah absen adalah ketupat, sebagai sajian utama yang menggambarkan keaslian budaya Nusantara. Meskipun, kini beberapa rumah telah beralih menggunakan lontong sebagai alternatif yang tak kalah lezat. Tradisi ini tidak hanya memuaskan lidah, tetapi juga menggambarkan kehangatan dan kebersamaan yang selalu terasa di momen Lebaran.

Selain hidangan makanan berat, meja Lebaran juga dipenuhi dengan berbagai kue khas yang selalu dinanti-nantikan, seperti kue nastar, ka'ak, dan lapis legit, serta berbagai jenis kue kering dan basah lainnya. Jika nastar dan lapis legit merupakan warisan dari resep kolonial, maka kue ka'ak menjadi warisan berharga dari leluhur peranakan Arab di Hadramaut. Kue ka'ak memiliki cita rasa manis yang khas seperti kue-kue kering lainnya, namun aroma dan sensasi rasanya didominasi oleh campuran rempah-rempah, seperti kayu manis, kapulaga, jinten, dan cengkeh, yang memberikan sentuhan khas yang tak terlupakan.


Kue Ka'ak

Di masa lalu, di Empang, menjelang malam takbiran, tradisi "nganteuran" mengisi suasana sore selepas Ashar hingga menjelang malam, menjelang kedatangan Hari Lebaran esoknya. Dalam tradisi ini, tetangga dan keluarga terdekat saling mengirimkan hantaran masakan khas Lebaran. Penulis masih mengingat dengan jelas momen tersebut, di mana salah satu hantaran yang dikirimkan adalah olahan masakan Lebaran yang dibuat oleh jidah, disajikan dalam panci enamel motif burik warna abu. Tutup pancinya diputar dan diletakkan di atas panci, sementara di atasnya ditaruh dua atau tiga ketupat yang diselimuti dengan kain serbet motif cele berwarna hitam putih. Suasana tersebut memberikan nuansa kehangatan dan kebersamaan yang tak terlupakan dalam menyambut kedatangan Hari Lebaran.


 ilustrasi hantara olahan lebaran


Suasana di rumah-rumah Empang menjelang Hari Lebaran dan saat perayaan mencapai puncaknya sungguh memikat hati, seolah-olah memancarkan cahaya kebahagiaan yang menandakan kemenangan. Rumah-rumah terlihat bersih dan teratur, dipenuhi dengan aroma harum dari bunga sedap malam dan dupa yang menguar. Biasanya, menjelang pertengahan bulan puasa, beberapa rumah dikejutkan dengan sentuhan baru ketika kediaman mereka dicat ulang dengan warna pilihan yang menyegarkan. Namun, pada masa lalu, cat yang umumnya digunakan terbuat dari bahan batu kapur kembang, dengan sentuhan "bulao" untuk memberikan kilau putih yang memancar dan nuansa kebiru-biruan yang mempesona.

Hari Raya Idul Fitri dijadikan momen istimewa oleh warga Empang dari berbagai lapisan masyarakat sebagai kesempatan untuk saling bersilaturahmi dan memaafkan satu sama lain. Segala bentuk ucapan, baik itu yang berasal dari kreasi bahasa daerah seperti "wilujeng boboran", kalimat thayyibah seperti "minal'aidzin walfaidzin", atau pun yang dianggap sunnah seperti "Taqobalallahu minna wa minkum, kullu Am wa Antum bikhair", digunakan dengan penuh keikhlasan sebagai ungkapan rasa maaf dan saling memaafkan di hari yang suci ini. 

Tren perubahan perilaku sosial di era digital tak terbendung lagi. Teknologi informasi dan komunikasi memberikan kemudahan dalam menyampaikan ucapan Lebaran dengan format teks, gambar, audio, dan video. Hal ini memunculkan beragam ide kreatif, seperti ucapan digital dengan kata-kata, meme, dan video religi, lucu, unik, dan menarik.

Tradisi Halal bi Halal mulai populer pada era tahun delapan puluhan atau bahkan sebelumnya, diperkenalkan pertama kali oleh instansi pemerintah dan organisasi profesional. Seiring perkembangannya, Halal bi Halal kemudian menjadi acara yang diselenggarakan oleh berbagai komunitas sosial, termasuk himpunan keluarga besar dalam hubungan kekerabatan. Di Empang, warga peranakan Arab telah lama memiliki tradisi serupa yang dikenal sebagai U'ad, diadakan setiap tanggal 2 Syawal. Tradisi ini masih berlangsung hingga saat ini, menunjukkan keberlanjutan dan kekayaan budaya yang tetap eksis.

Di kalangan Alawiyyien, tradisi U'ad masih dijalankan dengan penuh kekhidmatan dan kekhusyukan. Mereka berkumpul di pagi hari, mulai dari pukul 8 pagi, di kediaman yang paling dihormati, yang biasanya dimulai dari bekas rumah Sayyid Alwi Al-Haddad. Tradisi ini berawal setelah wafatnya murid utama wali kutub Sayyid Abdullah Bin Muchsin Al-Attas. Setelah membaca sholawat kepada Nabi, mereka bersama-sama melakukan ziarah ke makam wali kutub di Qubah Al-Attas. Selanjutnya, mereka melanjutkan dengan saling bersilaturahmi di rumah-rumah yang dihormati secara bergiliran tanpa duduk, hanya dengan menyampaikan salam dan sholawat serta ucapan selamat Idul Fitri kepada sohibul bait. Dua rumah yang secara rutin dikunjungi, meskipun bukan dari golongan Alawiyyien, adalah kediaman Sjaich Abdul Kadir Basalamah dan Sjaich Ali Bafadhal. Tradisi ini menjadi momen yang sangat berarti dalam memperkuat hubungan sosial dan spiritual di kalangan Alawiyyien.

sebuah cuplikan vidio U'ad Allawien
 saat mengunjungi kediaman keluarga
 alm Husein bin Ali Bafadhal 
2 Syawal 1441.H/25 Mei 2020
 di Gang Kerupuk

U'ad di kalangan Irsyadi telah mengalami transformasi modern yang tetap mempertahankan esensi tradisi sejak puluhan tahun yang lalu, sejak pendirian cabang Al-Irsyad Bogor pada tahun 1928. Dahulu, acara dimulai pukul 9 pagi dan dilaksanakan di gedung sekolah Al-Irsyad. Rangkaian U'ad "Irsyadi" dimulai dengan pembukaan yang diawali oleh ketua cabang yang menyampaikan ucapan resmi Selamat Idul Fitri bagi Keluarga Besar Al-Irsyad Bogor, disusul dengan tausiyah Idul Fitri. Acara kemudian ditutup dengan barisan saling bersalaman, menciptakan ikatan yang erat di antara anggota komunitas. Tradisi ini tidak hanya sebagai momen perayaan, tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial dan spiritual di antara anggota Al-Irsyad.

Selain dikenal dengan istilah U'ad, kalangan Irsyadien juga merujuk pada perayaan tersebut dengan sebutan Haflah Idul Fitri, yang tetap mengandung makna yang sama. Namun, dalam perkembangannya, Haflah telah mengalami perubahan dari tradisi awalnya. Saat ini, Haflah tidak hanya sekadar sebagai ajang perayaan, tetapi juga menjadi momentum untuk melaporkan kegiatan organisasi dalam format yang lebih interaktif.

Selama puluhan tahun, Haflah Idul Fitri di Al-Irsyad telah menjadi acara yang konsisten diadakan setiap tahunnya, kecuali satu kali pada bulan Syawal 1441 H/2020 M, ketika pandemi Covid-19 melanda dan Pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial untuk mengurangi risiko penularan. Hal ini menjadi satu-satunya tahun di mana Haflah tidak terselenggara. Meskipun demikian, semangat dan makna dari Haflah tetap terus dijaga dan dirayakan dengan cara-cara yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.


Suasana U'ad tempo doeloe

Tradisi unik Lebaran di Empang tak hanya terbatas pada ritual keagamaan, tetapi juga menyertakan hiburan yang khas, terutama bagi anak-anak. Pusat keramaian biasanya terletak di depan Masjid Agung atau di sekitar alun-alun Empang, di mana delman dan becak menjadi atraksi utama yang telah menjadi bagian dari tradisi sejak puluhan tahun lalu, setiap kali Hari Raya tiba. Acara ini sering kali berlangsung selama beberapa hari, bahkan hampir satu minggu penuh, dimulai dari tanggal 1 Syawal setelah sholat Idul Fitri di Masjid Agung. Meskipun disebut "keliling kota" oleh warga Empang, sebenarnya rutenya hanya mengitari jalan utama di kampung Empang, meskipun jarak yang ditempuh oleh becak tersebut lebih pendek. Tradisi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Lebaran di Empang, menciptakan momen keceriaan dan kenangan yang tak terlupakan bagi masyarakat setempat.

Penyebutan istilah "keliling kota" mulai populer sejak munculnya kendaraan wahon, yang saat ini dikenal sebagai truk dan mobil bak terbuka atau pick up, sebagai alternatif hiburan baru bagi anak-anak Empang selama Hari Raya Idul Fitri. Sejak tahun 60-an, bemo juga menjadi bagian dari tradisi ini, dengan rute yang meliputi alun-alun, tanjakan Empang, jalan perniagaan yang sekarang dikenal sebagai Jalan Suryakencana, Batu Tulis, Bondongan, dan berakhir kembali di alun-alun Empang. Di sepanjang rute jalan perniagaan yang juga dikenal sebagai kawasan pecinan, anak-anak sering melontarkan ejekan kepada warga Tionghoa yang mereka temui, dengan nada ceria dan berkali-kali mengucapkan "encek botak babah gendut". Meskipun terdengar seperti sindiran, sebenarnya itu adalah ekspresi alami dari anak-anak Empang yang suka becanda dan sering kali nakal, mencerminkan karakteristik masa kecil yang penuh dengan keceriaan dan keberanian untuk mengekspresikan diri, khas tipe bengal bocah di Empang zaman dulu yang dikenal suka jail.


keliling kota naik wahon


Para pengemudi angkutan keliling kota juga tidak luput dari ejekan serupa, terutama ketika mereka sudah mendekati akhir rute perjalanan, dengan nada ceria dalam bahasa Sunda, "saperak suka ati, ntong daek numpak deui ararateul liang tai". Setiap kata yang dilontarkan tersebut diikuti oleh gelak tawa dan keceriaan, yang mewarnai perjalanan keliling kota mereka sebagai ungkapan rasa bahagia dan kegembiraan yang tulus. Ini adalah hiburan sederhana namun menyenangkan, yang terpadu dengan ekspresi kekonyolan yang khas dari anak-anak kampung Arab di Empang. Tradisi ini mencerminkan semangat kebersamaan dan keceriaan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Empang.


jalan suryakencana 1975/1976

Kendaraan terbuka seperti pick up dan truk, biasanya menempuh rute yang cukup jauh. Pada masa sebelum tahun 50an, beberapa di antaranya bahkan sampai menjangkau hingga ke Cilincing di Batavia (Jakarta). Sementara itu, setelah tahun 60an, tujuan wisata perjalanan pulang-pergi ini berkembang, mencakup destinasi seperti Danau Lido di Cigombong dan pantai Pelabuhan Ratu di Sukabumi.

Hiburan tradisional Lebaran bagi anak-anak yang berpusat di alun-alun Empang, yang hingga kini masih menjadi daya tarik utama, merupakan bagian tak terpisahkan dari warisan budaya yang telah lestari sejak puluhan bahkan mungkin lebih dari seratus tahun yang lalu. Tradisi ini mengandung makna yang dalam, menandakan kesinambungan nilai-nilai kultural dari masa lampau hingga kini. Nyanyian lagu "saperak suka ati" menjadi simbol kebersamaan dan kegembiraan dalam momen perayaan tersebut, mencerminkan sistem nilai ekonomi yang berlaku pada masa tersebut. Namun, dengan berjalannya waktu, nyanyian itu telah menghilang, begitu pula dengan keberadaan bemo yang kini hanya menjadi kenangan. Pertanyaan muncul, apakah suasana meriah Idul Fitri di alun-alun Empang akan tetap bertahan dalam jangka waktu yang panjang? Ini menjadi tanda tanya besar, dan hanya Allah yang mengetahui jawabannya.

Ditulis pada tanggal 9 Syawal 1440 Hijriyah dan diperbaharui kembali pada 1 Syawal 1441.H. Diperbaharui untuk yang ketiga kalinya pada 25 Maret 2024. 



Abdullah Abubakar Batarfie

Belum ada Komentar untuk "Lebaran dan Tradisi Keliling Kota di Empang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel