Lebaran dan Tradisi Keliling Kota di Empang

Delman salah satu Hiburan Lebaran 
di Alun-Alun Empang

Lebaran merupakan hari besar umat Islam yang dirayakan dengan penuh suka cita diliputi oleh rasa bahagia sebagaimana arti dan makna dari kata Ied Saeed. Ied artinya Hari Raya dan Saed berarti bahagia. Di sejumlah negara dan bahkan diberbagai daerah di Nusantara perayaan rasa bahagia pada hari lebaran tersebut dilakukan dalam berbagai cara dan tradisi yang mengiringinya. Itu semua adalah sebuah ekspresi yang lahir dari gagasan hati dan tercipta oleh akibat asa atas ungkapan perasaan senang dan suka cita setelah sebulan penuh umat Islam melaksanakan Ibadah Puasa Ramadhan.

Lebaran kata ini merujuk kepada bahasa Sunda yang bersumber dari kata leubar yang maknanya adalah lapang dada seperti ungkapan pada kata hate anu leubar (hati yang lapang). Istilah lebaran populer pula dikalangan masyarakat Betawi dengan makna yang sama. 

Lebaran sudah beriringan dengan tradisi yang menyertainya dan ini sudah membudaya dihampir semua daerah dan bahkan dibelahan dunia manapun dalam bentuk corak dan ragam. Demikian halnya dengan di Empang sebagai bekas koloni Arab di Buitenzorg (Bogor), tradisi Lebaran yang menyertainya terbentuk oleh hasil akulturasi unsur adat istiadat Arab (baca: hadharim) dengan budaya setempat.

Jauh sebelum tekhnologi berkembang pesat dan maju seperti sekarang ini, sebelum ada sidang isbat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama dan disiarakan secara langsung oleh televisi. Kantor HoofdPenghoeloe yang berada disamping Masjid Agung Empang sebelum Kemerdekaan dan sesudahnya sampai dengan tahun 60an pernah menjadi tempat resmi pusat penentuan awal Ramadhan dan Hari Raya. Utusan atau perwakikan Umat Islam dari berbagai pelosok di kota Bogor pada zaman colonial Hindia Belanda akan datang ke Masjid Agung Empang pada siang hari menjelang sore menunggu keputusan dari para ahli ilmoe falaq kapan Lebaran akan tiba. Dari sanalah mungkin awal mula tradisi malam takbiran dikumandangkan karena sepulang dari Masjid Agung para rombongan utusan itu baik yang berjalan kaki, berkuda dan menggunakan kendaraan akan bertakbir disepanjang perjalanan pulang sebagai penanda esoknya akan jatuh tanggal 1 Syawal. Gema malam takbir itu menjadi syiar bagi umat Islam. Di daerah lain di Jawa dan di Melayu penanda itu ditandai dengan membunyikan meriam dari halaman keraton, Pendopo Bupati atau di Aloen-Aloen Masdjid Agoeng.

Masdjid Agoeng Empang dahoeloe menjadi satu-satunya tempat pelaksanaan shalat Ied yang bukan saja diikuti oleh para pemangku adat setempat dan masyarakat, juga oleh umat Islam disekitarnya baik dari arah Bondongan (jalan pahlawan sekarang), moeara, tjikaret, maupun dari arah Paledang dan dari tempat lainnya. Masdjid Agoeng Empang menjadi pusat kegiatan ibadah pada hari besar dan Hari Raya Oemat Islam di kota Bogor masa itu.

Di Masjid Noer Al-Attas atau yang terkenal sebagai Masjid Keramat Empang, pelaksanaan shalat Iedul Fitri dimulai setelah pukul 7 pagi. Umumnya jamaah Sholat Ied di Masjid ini adalah golongan kaum saadah atau allawien, sebagian kecil ada juga dari golongan Arab atau peranakan Arab non allawi yang disebut sebagai masyaikh wal muhibbien.

Sebagian warga peranakan Arab di kampumg Empang ada yang sejak dekade tahun tujuh puluhan sudah melaksanakan shalat Ied di lapangan halaman campus IPB Baranangsiang di Jalan Pajajaran. Umumnya dari kalangan Irsyadien atau mereka yang berafiliasi kepada pergerakan dakwah modernis yang di motori oleh organisasi kemasyarakatan Islam Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Pelaksanaan shalat Ied di tempat terbuka (lapangan) di Kota Bogor untuk pertama kalinya dilaksanakan di Lapangan Sempur pada tahun 1950 yang penyelenggaraannya atas ide gagasan tiga organisasi Islam yang disebut sebagai Trio Mujaddid yaitu Al-Irsyad, Muhammadiyah dan Persatuan Islam (PERSIS). Bertindak sebagai imam dan khatib pertamanya adalah ulama dan tokoh terkemuka Al-Irsyad dari Empang yaitu K.H Siddik Atmawidjaja. Akibat situasi politik dan bergejolaknya revolusi di Indonesia, demi keamanan sempat di pindahkan beberapa kali ke halaman Istana Bogor dan setelah kondusif baru kemudian dialihkan lokasinya ke lapangan halaman campus IPB hingga sekarang. Meski sekarang ini sholat di tempat terbuka lokasinya semakin banyak, tapi tempat yang paling ramai dikunjungi oleh peranakan Arab dari Empang adalah di IPB dan di dalam Kebun Raya Bogor.

Pada puncak Hari Raya sepulang dari shalat Ied dan hari sesudahnya, rumah-rumah keluarga warga Arab di Empang akan ramai oleh sanak keluarga yang datang dari berbagai tempat, baik dari yang berjarak dekat dalam satu kampung di sekitar Empang atau masih dalam satu kota di Bogor, maupun yang datang dari jarak jauh di luar kota. Mereka berkumpul terutama pada keluarga yang paling dituakan di rumah Jidd (dibaca enjit) dan Jiddah. Di rumah inilah yang akan paling ramai pada saat Lebaran tiba karena bukan saja keluarga inti yang berkunjung, tapi sanak familiy dari keluarga besar setiap qabilah (fam/marga) atau yang bertalian dengannya akan mengunjungi anggota keluarga yang dituakan atau tertua. Jidd dan jiddah adalah nama panggilan untuk kakek dan nenek dalam bahasa Arab, sebagaimana penamaan kota Pelabuhan Jeddah di Saudi Arabia yang muasalnya diambil dari penyebutan untuk Siti Hawa sebagai wanita pertama, ibu dan nenek umat manusia di muka bumi

Untuk melengkapi suasana Lebaran dan berkumpulnya sanak family dari keluarga besar masing-masing, disetiap rumah akan disajikan makanan khas peranakan Arab yang dibuat dari masakan olahan daging kambing seperti sayur marag dan masakan Nusantara lainnya dengan cita rasa khas peranakan Arab, diantaranya adalah sambal goreng daging kambing, sayur semur daging kambing, sayur gulai atau kari daging kambing dan sambel godog. Menu utama itu akan selalu ada disetiap rumah di Empang. Dan tentu saja tidak ketinggalan ketupat sebagai sajian utamanya yang asli khas Nusantara, meski dewasa ini sebagian sudah ada yang mengganti ketupat dengan lontong.

Selain sajian makanan  berat ada juga kue-kue khas lebaran yang sering dijumpai pada Hari Raya seperti kue nastar, ka'ak dan lapis legit serta kue-kue kering dan basah lainnya. Jika nastar dan lapis adalah diantara warisan resep kolonial, maka kue ka'ak adalah warisan leluhur peranakan Arab di Hadramaut. Kue Ka'ak memiliki rasa manis yang sama dengan kue kering lainnya hanya saja aroma dan sensasi rasanya di dominasi oleh rempah-rempah seperti kayu manis, kapulaga, jinten dan cengkeh.

Kue Ka'ak

Dahulu di Empang pada sore selepas ashar menjelang malam takbiran tiba, malam dimana esoknya hari lebaran ada tradisi "nganteuran". Diantara tentangga dan famili terdekat akan saling kirim hantaran masakan lebaran. Penulis mengalami suasana seperti itu membawa hantaran salah satu jenis olahan masakan lebaran buatan jidah dengan menggunakan panci enamel motif burik warna abu, sedangkan tutup pancinya dibalik dan diatasnya akan ditaruh dua atau tiga ketupat dengan penutup kain serbet warna hitam putih kotak-kotak kecil atau disebutnya motif cele.

Sebuah foto ilustrasi yang mewakili suasana kiriman masakan olahan lebaran kepada tetangga dan sanak famili

Suasana rumah-rumah di Empang menjelang hari lebaran dan pada puncak  lebaran akan tiba seolah memancarkan cahayanya tanda suka cita meraih sebuah kemenangan. Rumah-rumah bersih dan tertata apik serta semerbak harumnya bunga sedap malam dan dupa. Biasanya dipertengahan pada bulan puasa rumah-rumah ada yang kembali di cat sesuai pilihan warna yang disukai tapi dahulu dimasa yang lampau umumnya menggunakan cat dari bahan batu kapur kembang dengan sedikit menggunakan "bulao" agar putihnya terlihat tampak lebih bersinar kebiru-biruan.

Hari raya Iedul Fitri dijadikannya momen oleh warga Empang dari semua golongan sebagai ajang saling untuk silaturahmi dan maaf memaafkan dengan segala ucapan, baik hasil kreasi bahasa daerah seperti ungkapan "wilujeng boboran" maupun kalimat thayyibah seperti "minal'aidzin walfaidzin" ataupun yang dipandang sunnah "Taqobalallahu minna wa minkum, kullu Am wa Antum bikhair"

Halal bi Halal mulai menjamur pada era di tahun delapan puluhan atau mungkin sebelumnya. Halal bi halal pertama kali di populerkan oleh instansi pemerintah dan organisasi profesional. Dalam perkembangannya kemudian Halal bi Halal diselenggarakan oleh semua komunitas sosial masyarakat termasuk himpunan sebuah keluarga besar dalam kekerabatan. Peranakan arab di Empang sudah sejak lama memiliki tradisi serupa yang dinamakan U'ad yaitu yang diadakan pada setiap tanggal 2 syawal. Tradisi ini masih tetap eksis hingga kini. 

Dikalangan alawiyyien tradisi u'ad ini masih diselenggarakan dengan cara lama. Mereka berkumpul dipagi hari sejak pukul 8 pagi di kediaman yang paling dituakan, biasanya bermula di bekas rumah Sayyid Alwi Al-Haddad, sejak setelah wafatnya murid utama wali kutub Sayyid Abdullah Bin Muchsin Al-Attas. Usai lantunan sholawat nabi, mereka kemudian secara bersamaan melakukan ziarah qubur ke makam wali kutub di Qubah Al-Attas. Kemudian dilanjutkan bersilaturahmi memasuki satu persatu rumah yang dituakan/ditokohkan secara bergiliran tanpa duduk, dan hanya bersholawat serta mengucapkan tahni'ah Iedul Fitri yang ditujukan kepada sohibul bait. Dua rumah yang dipandang dituakan secara rutin dikunjungi, yang bukan dari golongan sadah (allawien) adalah kediaman Sjaich Abdul Kadir Basalamah dan Sjaich Ali Bafadhal.

sebuah cuplikan vidio U'ad Allawien
 saat mengunjungi kediaman keluarga
 alm Husein bin Ali Bafadhal 
2 Syawal 1441.H/25 Mei 2020
 di Gang Kerupuk

U'ad dikalangan irsyadi dikemas secara modern dan berlangsung sama sejak puluhan tahun silam, setelah pertama kalinya Al-Irsyad cabang Bogor didirikan pada tahun 1928. Dahulu dimulai pada pukul 9 pagi yang kegiatannya dipusatkan di gedung sekolah Al-Irsyad (jalan sedane). Rangkaian U'ad irsyadi diawali dengan pembukaan dan acara sambut menyambut diawali oleh ketua cabang dengan menyampaikan ucapan resmi Selamat Iedul Fitri bagi Keluarga Besar Al-Irsyad Bogor. Setelah penyampaian tausiyah Iedul Fitri, acara kemudian ditutup dengan membuat barisan sambung menyambung saling bersalam-salaman secara berurutan.

Selain istilah U'ad kalangan irsyadien menamainya dengan istilah Haflah Iedul Fitri yang maknanya tetap sama. Dewasa ini  Haflah sudah mulai bergeser dari tradisi awal, yaitu dengan menambah acara seputar laporan kegiatan organisasi yang dikemas dalam format interaktif.

Sejak puluhan tahun lamanya U'ad yang tidak pernah absen diselenggarakan, pada tahun ini (1441.H/2020.M) akibat pendemi Covid-19 untuk pertama kalinya tidak diselenggarakan. Kebijakan itu diambil karena  adanya aturan pemberlakukan pembatasan sosial oleh Pemerintah demi menghindari resiko penularan.

Susana usai U'ad warga Al-Irsyad Bogor tahun 50an

Tradisi lebaran di Empang yang khas lainnya sejak dahulu adalah adanya hiburan bagi anak-anak yang pusat keramainnya berada di depan masjid Agung atau disekeliling alun-alun Empang dengan tersedianya delman dan beca yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun pada setiap hari Lebaran tiba. Bisa berhari-hari dan terkadang hampir satu minggu berlangsung dimulai dari tanggal 1 syawal sejak bubarnya sholat Ied di Masjid Agung. Warga Empang menyebutnya keliling kota, padahal rutenya hanya mengitari jalan utama di kampung Empang, bahkan rute becak jarak yang dikayuhnya jauh lebih pendek.

Penyebutan istilah keliling kota mulai dipopulerkan sejak kendaraan wahon (truck) dan mobil bak terbuka (pick up) menjadi alternatif hiburan baru bagi anak-anak Empang selama Iedul Fitri. Belakangan pada tahun 70an ada juga bemo yang rute dilaluinya adalah dari alun-alun, tanjakan empang, jalan perniagaan (jl.suryakencana), nv sidik (jl.batu tulis), bondongan (jl.pahlawan) dan berakhir kembali di alun-alun Empang. Di jalur jalan Perniagaan yang dikenal sebagal kawasan pecinan, untuk melepas canda dan tawa mereka meneriakan ejekan pada warga cina yang dilaluinya dengan nada celotehan berulang-ulang "encek botak babah gendut". Ejekan itu bukan sinisme tapi sifat alami anak-anak Empang kala itu yang dikenal suka jail, tipe bengal bocah zaman dulu.

Ilustrasi keliling kota naik wahon (truk)

Pada pengemudi angkutan keliling kota itu juga mereka teriaki dengan ejekan serupa, terutama ketika rutenya sudah semakin mendekati akhir perhentian dengan nada celoteh dalam bahasa sunda "saperak suka ati, entong daek numpak deui ararateul liang tai".

Tentu saja setiap kata bernada itu terlontar, gelak tawa dan keceriaan mewarnai keliling kota mereka sebagai ekspresi rasa bahagia karena riang gembira. Sebuah hiburan diri yang terpadu dengan ekspresi kekonyolan yang lucu khas bocah kampung Arab di Empang.

jalan perniagaan (suryakencana)
 tahun 1975/1976
 (foto koleksi pribadi Chris Woodrich dari postingan Indonesia Tempo Doeloe)

Adapun kendaraan terbuka (pick up) dan wahon (truck), rute yang ditempuhnya cukup jauh. Pada sebelum tahun 50an ada yang rutenya hingga ke Cilincing di Batavia (Jakarta). Sesudah tahun 60an wisata lebaran perjalanan pulang pergi ini tujuannya adalah sampai ke Danau Lido di Cigombong dan pantai Pelabuhan Ratu di Sukabumi.

Hiburan Lebaran anak-anak yang terpusat di alun-alun Empang dan hingga kini masih ramai diminati merupakan warisan budaya yang tetap lestari sejak puluhan tahun silam, atau mungkin sudah ada lebih dari seratus tahun yang lampau. Adanya nyanyian lagu "saperak suka ati", menunjukan nilai tukar uang yang berlaku pada masa silam. Nyanyian itu kini sudah sirna, dan juga bemo yang tinggal menjadi kenangan karena sudah hilang ditelan zaman. Akankah suasana Idul Fitri di alun-alun Empang itu bertahan hingga waktu yang akan lama? wallahu'alam.

Ditulis pada tanggal 9 Syawal 1440 Hijriyah dan diperbaharui kembali pada 1 Syawal 1441.H/2020.M
Abdullah Abubakar Batarfie

Belum ada Komentar untuk "Lebaran dan Tradisi Keliling Kota di Empang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel