Refleksi dalam rangka menyongsong Muktamar Ke-40; Al-Irsyad harus kembali kepada khittoh 1914


Syeh Muhammad Abduh

Gagasan pembaharuan Islam sesungguhnya muncul pada akhir abad 18 dan awal abad 19 Masehi. Tokoh yang disebut-sebut paling berpengaruh di dunia Islam dalam semangat pembaruan Islam ini adalah Syech Muhammad Abduh. Ia mampu menjadikan kebiasaan masyarakat yang awalnya statis menjadi dinamis.

Gagasan Pembaharuan Islam yang diusungnya adalah di bidang pendidikan. Bagi Abduh, penyebab utama kemunduran umat Islam adalah adanya penyimpangan pada sistem dan pengelolaan terhadap pendidikan seperti masalah kurikulum dan metode mengajar. 

Abduh sangat memperhatikan masalah kurikukum, menurutnya tanpa kurikulum yang sesuai dengan apa yang diharapkan, maka kualitas mutu pendidikan dan kualitas sumber daya manusia yang akan dicetaknya tidak akan terwujud dengan baik. 

Metode mengajar para gurupun menjadi perhatian Abduh. Salah satu perubahnya adalah metode hafalan yang digantinya dengan metode diskusi. 

Pemikiran Muhammad Abduh lainnya adalah tentang hak wanita yang juga harus mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Menurut Abduh, wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan, maka dari itu ia perlu diberikan pendidikan.

Faham dan pemikiran Abduh yang mendunia ini terserap dan berpengaruh terhadap lahirnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Tokoh yang disebut-sebut sebagai pembawa faham Abduh ke Indonesia tersebut adalah al allamah Syech Ahmad Soorkatty. 

Pijper menyebut Al-Irsyad yang didirikan oleh Surkati merupakan gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformasi di Mesir, sebagaimana dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rashid Ridho melalui Jam'iyat al-Islah wal Irsyad yang artinya Perhimpunan bagi Reformasi dan Pimpinan

Itu kemudian yang melatar belakangi ide dan gagasan Surkati mendirikan Jami'iyat al-Islah wa al-Irsyad al-Islamiyyah (sebelumnya al-Arabiyah) pada tanggal 6 September 1914. Tanggal pendirian ini mengacu kepada pembukaan madrasahnya yang pertama di Jati Petamburan, Batavia. 

Secara umum ide-ide pembaharuan pendidikan Ahmad Surkati  dapat dikategorikan ada beberapa aspek, yaitu aspek institusi (kelembagaan), kurikulum, metode dan pendidikan

Surkati lebih menekankan pemahaman dan penalaran dari pada hafalan. Kurikulum yang diterapkan dalam lembaga pendidikannya, tidak membedakan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum.

Ahmad Surkati berkeyakinan akan pentingnya pendidikan sebagai alat kemajuan suatu bangsa, serta peradabannya. Menurut Surkati, bangsa yang tidak memperdulikan pendidikan akan mengalami kemunduran dan akhirnya hancur menjadi fosil-fosil peradaban. 

Gagasan dan ide pembaharuan pendidikan Islam melalui organisasi  jum'iyah yang didirikannya teruji dan terbukti dengan berhasilnya mencetak manusia yang berkualitas. Kelak alumni sekolah Al-Irsyad dan kader-kader yang dibina oleh Surkati bukan saja telah menjadi pelanjut estafet perjuangannya, juga ikut mewarnai perjuangan bangsa Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari mereka ikut mendirikan republik ini, dan mengisi kemerdekaan diberbagai bidang.

Sebagaimana hal-nya Abduh, yang memberi ruang kepada wanita dalam gagasan pembaharuannya di Mesir. Al-Irsyad juga menaruh perhatian yang sama kepada kaum wanita, dan itu tercermin dari dua sayap dalam logonya yang melambangkan bahwa organisasi ini ditopang oleh pria dan wanita. 

Al-Irsyad pernah mengalami masa emas kejayaannya. Masa dimana jam'iyah (Perhimpunan) dan Pendidikan menjadi khittohnya.  majalah penuntun yang dikeluarkan oleh Direktorat Penerangan Agama menulis, "Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Syech Ahmad Surkati di Jakarta, seorang alim yang mengajak berfikir bebas serta meloloskan diri dari kejumudan serta taqlid, sekolah ini telah mengeluarkan lulusan yang agresif.

Setelah era kejayaan dilaluinya, Al-Irsyad pernah memasuki masa-masa kemunduran akibat degradasi terhadap sendi-sendi dasar organisasi. Sekolah-sekolah Al-Irsyad dengan keterpaksaan mematuhi sistem yang diberlakukan dengan menyesuaikan diri terhadap ketentuan-ketentuan Pemerinta. Situasi tersebut menjadikan sekolah-sekolah Al-Irsyad kemudiannya tidak berbeda dengan sekolah-sekolah umum yang ada. 

Sebuah gagasan dari konsep lama dan teruji ampuh yang diusung oleleh Surkati, muncul dan dikembangkan kembali melalui jaringan Sekolah Islam Terpadu. Dalam aplikasinya, JSIT sama-sama memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama menjadi satu rangkaian kurikulum, tidak ada dikotomi, tidak ada keterpisahan. Seluruh kegiatan sekolah memuat ajaran dan pesan nilai Islam sebagaimana sekolah-sekolah yang pernah dikelola serta dikembangkan oleh Syech Muhammad Abduh dan Syech Ahmad Surkati.  Tidak sedikit, sekolah-sekolah Al-Irsyad ikut bersinergi dalam jaringan sekolah Islam terpadu ini, dan tidak sedikit pula yang tetap bertahan dengan pola setelah era kejayaannya. Hal ini membuat ketidak seragaman mutu dan kualitas pendidikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang tersebar di berbagai cabang di hampir semua kepulauan Indonesia.

Bersyukur angin segar berhembus, semangat kebangkitan dapat dirasakan dengan munculnya kesadaran untuk menata sekolah-sekolah yang dimiliki dan kembali kepada khittohnya. Tidak hanya menerapkan standarisasi kurikulum dan peningkatan mutu, peneguhan kepada mabadi sebagai azas pendirian jam'iyah atau idiologi perjuangannya, juga menjadikan perhatian yang sangat serius. Terutama setelah adanya infiltrasi dari efek kemelut internal sejak terjadinya dualisme kepemimpinan pasca muktamar ke-36 di kota Pekalongan tahun 1996. Dan munculnya organisasi baru yang memiliki kemiripan "asli tapi palsu", baik nama maupun logonya.

Al-Irsyad Al-Islamiyyah cabang Purwokerto dan Karawang, disebut-sebut menjadi pionir kebangkitan pendidikan Al-Irsyad, dan disusul kemudian oleh cabang-cabang lainnya seperti Bandung, Jember, Cirebon, dll. Ma'had (pondok pesantren) di Bondowoso dan boarding school di Baturaden, Purwokerto milik Al-Irsyad Al-Islamiyyah, juga diharapkan akan menjadi mesin pencetak da'i dan lahirnya kembali ulama-ulama Al-Irsyad yang mumpuni.

Harapan itu tertumpu pada Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang dalam waktu dekat ini akan dilaksanakan. Aura kebangkitan yang akan menjadi isu central dalam Muktamar ke-40 sebagai perhelatan akbar jam'iyah tersebut, insya Allah berlangsung di kota hujan Bogor, pada tanggal 16 s.d 18 November 2017. 

Selain reformasi kepemimpinan dengan tampilnya figur-figur baru yang akan diwarnai oleh kader-kader terpilih yang berasal dari daerah, kembalinya kepada khittoh 1914 sepertinya hal yang mustahi untuk ditawar-tawar lagi, yaitu hanya ada satu kelembagaan (jam'iyah) dan fokus kepada penerapan kurikulum sendiri serta kualitas pendidikan. Dua hal ini adalah konsep awal berdirinya Al-Irsyad Al-Islamiyyah. 

Jam'iyah yang dalam bahasa belandanya Vereeniging atau berarti Perhimpunan didirikan sebagai bentuk resmi organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyyah, dan bukan muasasah (yayasan) atau yang dalam bahasa belandanya disebut stichting. Sejak berdirinya, al-Allamah Syech Ahmad Surkati (Soorkatty) dengan dukungan lima orang singa di Betawi sebagaimana yang dia sebut dalam sajaknya al-khawatir al-hisaan, yang dia dirikan adalah Jam'iyah (perhimpunan) dan madrasah. Ini merupakan adopsi dari konsep Pembaharuan Islam sebagaimana yang telah digagas dan diperjuangkan oleh Syech Muhammad Abduh dan Syech Rashid Ridha. Bahkan nama madrasah Al-Irsyad itu sendiri diambil dari nama madrasah "Ad-Da'wah wa Al-Irsyad" yang didirikan oleh tokoh reformis dunia Islam, Syech Rashid Ridha.


Pertemuan alumni madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah pada tanggal 25 September 1962, di Gedung Sekolah Al-Irsyad Jalan Kemakmuran No.27, Jakarta. Mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh pergerakan Nasional, Ulama dan cendekia yang mendapatkan didikan langsung dari Syech Ahmad Surkati, diantaranya adalah:

1.Prof.DR.K.H Farid Ma'ruf. Tokoh pejuang kemerdekaan RI ini adalah kelahiran Yogyakarta 1908. Aktif di Muhammadiyah dan pernah menduduki jabatan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Jabatannya dalam pemerintahan Republik Indonesia, adalah mantan Menteri Urusan Haji pada kabinet Dwikora tahun tahun 1966.

Kiprahnya sebagai seorang ulama dan cendikiawan muslim, ia ikut ikut mendirikan Sekolah Tinggi Islam atau yang sekarang berubah menjadi IAIN. Dan pernah mengajar di Universitas Darul Ulum, Cairo.

2.Kolonel K.H.Raden Muhammad Yunus Anis. Tokoh yang dikenal sebagai mubaligh ini, lahir di kampung kauman kota Yogyakarta pada 3 Mei 1903, putera sulung dari sembilan bersaudara anak pasangan Hadji Muhammad Anis dan Siti Saudah. Ia tercatat dalam Surat Kekancingan Keraton Ngayogyakarta sebagai keturunan ke-18 dari Raja Brawijaya V. Karenanya berhak menyandang gelar Raden.

Nama yang akrab disapa Kyai Yunus Anis ini, aktif di persyarikatan Muhammadiyyah sejak di Hizbul Wathan, hingga Ia diamanahi menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962.

Pada Tahun 1945, Tetara Nasional Indonesia menobatkan K.H.Yunus Anis sebagai Kepala Pusroh Angkatan Darat dan Ia berhak menyandang pangkat kolonel.

Pembubaran Partai Masyumi membawa implikasi buruk terhadap umat Islam, dan untuk mengisi kekosongan keterwakilan umat Islam di Parlemen, atas desakan tokoh-tokoh termasuk atas permintaan Jenderal Besar TNI Dr Abdul Haris Nasution, Kolonel K.H.Yunus Anis diangkat sebagai anggota DPRGR.

3.K.H Muhammad Agib, mantan Anggota Parlemen RI dan Kepala HUMAS DEPAG RI

4. Letnan Kolonel K.H.Iskandar Idris , tokoh pejuang dan perintis kemerdekaan Indonesia lahir di Kedung Halang Bogor pada tahun 1900. Ia adalah anak sulung dari dua bersaudara pasangan Alm Idris dan Ibu Marfu'ah.

Sejak dikeluarkannya pengumuman dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 23 Agustus 1945 dan disahkannya pembentukan Badan Keamanan Rakyat pada tanggal 30 Agustus 1945, Letnan Kolonel K.H.Iskandar Idris memimpin Badan Kemanan Rakyat meliputi eks karisidenan Pekalongan bersama Bapak Rochim Gondosuwito. Dalam masa revolusi tersebut, Ia menjadi Komandan Brigade Nusantara di Pekalongan. Kelak BKR yang dibentuk di eks Karisidenan Pekalongan ini merupakan cikal bakal terbentuknya Korem 071/Wijayakusuma.

Letnan Kolonel K.H Iskandar Idris, adalah guru pada madrasah Al-Irsyad cabang Pekalongan, dan pernah memberikan kesaksian terciptanya logo Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang dirancang oleh al Ustadz Muhammad Munif hasil suntingan dari kreativitas murid-muridnya.

Setelah pengunduran dirinya dari jabatan Kepala Dinas Agama sejak 31 Mei 1951.Letnan Kolonel K.H Iskandar Idris aktif kemudian aktif di Al-Irsyad. Dalam Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyyah ke-28 di Kota Surabaya tahun 1954, Ia diangkat sebagai wakil ketua umum Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Kolonel K.H.Iskandar Idris wafat di Jakarta pada tahun 1981. Ia adalah ayah dari Abdul Mun'iem Idris ahli forensik Indonesia dan Prof.DR.Dadang Hawari

5. K.H Muhammad Saleh Suaidy dilahirkan di Kampung Andalas Matur pada 1 Agustus 1913. Ia dilahirkan dari rahim bundanya yang bernama Adab, sedangkan ayahandanya orang-orang memanggilnya Bapak Suid,bergelar Datuk Madjo Nan Tinggi.

Menurut Jenderal ( Purn ) DR.A.H.Nasution, K.H.M.Saleh Suaidy turut merintis dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau tidak pernah absen berjuang sejak penjajahan Hindia Belanda, pendudukan fasis Jepang, kembalinya pemerintan Belanda yang bernaung dibelakang sekutu sampai berakhirnya perang dunia kedua sampai mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sumbangannya pemikirannya terhadap TNI secara kongkrit ditunjukan dengan turut membantu Pusat Rohani Angkatan Darat dan kemudian menjadi dosen tetap pada lembaga tersebut.

K.H Muhammad Saleh Suaidy bersama rekannya yang sama-sama anggota KNIP dari Karesidenan Banyumas, merupakan para pengusul pembentukan Kementerian Agama yang pertama kali diajukan kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat tanggal 11 November 1946.

Pada tahun 1948, K.H Muhammad Saleh Suaidy ditunjuk oleh pemerintah sebagai salah seorang rombongan Misi Haji Pertama Republik Indonesi ke Saudi Arabia. Misi Haji yang beranggotakan 6 orang ini sekaligus melakukan lawatan ke beberapa negara Timur Tengah untuk menggalang dukungan dan bantuan setelah tiga tahun Indonesia merdeka. Salah satu anggota dalam Misi Haji ini adalah Awab Syahbal, sahabat karib Surkati.

Di almamaternya, K.H.M Saleh Suaidy pernah menjadi kepala sekolah Al-Irsyad di cabang Purwokerto (1943-1947). Dalam muktamar ke-28 di Surabaya tahun 1954, beliau duduk sebagai salah seorang ketua PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Beberapa jabatan penting yang pernah didudukinya adalah Kepala Djawatan Penerangan Departemen Agama RI, Kepala Pemyiaran RRI seksi Bahasa Arab, Penasehat Kepresidenan bidang Zakat, Keluarga Berencana dan Kesehatan, Anggota Majelis Pusat Kesehatan dan Syara, Ketua I MUI Pusat, Ketua Pusat Kebudayaan Islam.

Kiprahnya dalam politik, beliau pernah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia kota Surabaya, Ketua cabang PENYADAR Bangkalan, berkiprah di Masyumi sejak menjadi ketua cabang Masyumi Purwokerto hingga Sekjen Majelis Syuro Partai Masyumi, Wakil Ketua KNIP Banyumas, dan Ketua Front Nasional Banyumas

K.H.M.Saleh Suaidy, mantan Sekretaris Jenderal Perintis Kemerdekaan ini wafat di Jakarta, 27 Agustus 1976

6. Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja, lahir pada tanggal 8 Februari 1894 di Serang, Banten. Ia merupakan empat bersaudara putera pasangan Toebagoes Ismail Sastradiwirja dan Ajoe Soewanda.

Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja adalah salah satu pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang dibentuknya pada 23 Oktober 1938 di salah satu Sekolah Dasar Jakarta di Gang Kaji, dan bubar karena dipaksa Jepang pada 1942.

Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja, bersama-sama dengan 13 orang tokoh Islam dan Pemuka masyarakat di Jakarta mendirikan Yayasan Pesantren Islam pada 7 April 1952 dan berhasil mendirikan Masjid Al-Azhar di Kebayoran Baru.Salah seorang pencetus gagasan pendirian yayasan ini adalah dr. Syamsuddin, Menteri Sosial RI ketika itu, yang didukung oleh Sjamsuridjal, yang pada waktu itu adalah Walikota Jakarta Raya. Sedangkan nama-nama pendiri yayasan selengkapnya adalah: Soedirdjo, Tan In Hok, Gazali Syahlan, H. Sjuaib Sastradiwirja, Abdullah Salim Basalamah, Rais Chamis Alkatiri, Ganda, Kartapradja, Sardjono, H. Sulaiman Rasjid, Faray Martak, Jacub Rasjid, Hasan Argubie dan Hariri Hady.

Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja, yang pernah duduk dalam kepengurusan Pimpinan Al-Irsyad Al-Islamiyyah ini wafat di Jakarta pada 1 September 1972.

Beberapa nama lain yang ada dalam foto diatas adalah Ustadz Ali Hubeis,Said Mangun,Muhammad Binnur dan Ustadz Muchtar Lutfi Al anshory. Masih banyak sederetan panjang alumni Al-Irsyad yang terlibat dalam gelombang perjuangan untuk kemerdekaan dan diantaranya kelak tampil di pentas nasional dengan ikut mewarnai bangsa Indonesia diberbagai kiprahnya seperti Prof.DR.HM Rasyidi, Abdurrahman (AR) Baswedan, KH Kahar Muzakkir, Ustadz Umar Hubeis, Prof.DR.TM Hasbi Asshidqy, Abdullah Salim Al Attas, dll. Tidak sedikit dari tokoh-tokoh pergerakan yang dibina dan di kader Surkati hingga mempengaruh terhadap dirinya seperti diantaranya A.Hassan, K.H Abdul Halim,Mr.Muhammad Natsir,Mr.Kasman Singodimedjo, Mr.Muhammad Roem, dan tokoh-tokoh lainnya yang terlibat dalam pergerakan nasional utamanya yang aktiv di Jong Islamieten Bond (JIB).

Oleh: Abdullah Abubakar Batarfie

Belum ada Komentar untuk "Refleksi dalam rangka menyongsong Muktamar Ke-40; Al-Irsyad harus kembali kepada khittoh 1914"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel